Bom

Selasa, 2 Agustus 2016 | 05:27 WIB
0
628
Bom
Ilustrasi bom waktu (Foto: Radar Karawang)

Cerpen: Pepih Nugraha

MUNARSIH dan anak semata wayangnya, Tole, menunggu kedatangan Maknun di senja yang indah. Gugusan langit jingga masih bertaburkan sekawanan kalong yang terlambat pulang, membentuk noktah-noktah hitam yang bergerak. Akan tetapi, senja yang kemerahan sama-sekali tidak menggugah minat ibu dan anak ini. Keduanya diam termangu menunggu kedatangan Maknun, kadang saling berpandangan, saling pelukan seperti menumpahkan kegelisahan, tetapi tidak tahu harus berbuat apa.

“Bapak kemana, Mak, kok belum juga pulang?”

“Sebentar lagi Bapakmu pasti datang, Nak.”

“Sudah dua hari Bapak tak pulang!”

“Kita doakan Bapak segera datang.”

Dua senja pun turun dalam kurun waktu berbeda, kemarin dan hari ini. Adzan maghrib dari surau sudah terdengar. Maknun, lelaki itu, belum juga tiba menemui anak-istrinya yang biasa menyambutnya dengan suka-cita.

“Ha-ha-hari i-i-ni…Bap-bap-bak menang ta-ta-taruhan, ki-kita bisa mak-makan enak!”

Kerap Maknun menyapa anak-istrinya seperti itu, apa adanya, setiap kali mendapat rezeki.

Maknun memang gagap sejak lahir. Bicaranya tidak jelas, tetapi pikirannya cerdas, otaknya encer. Dengan kecerdasan itulah ia menghidupi anak-istrinya. Kerap Maknun meminta anak dan istrinya itu berkumpul di tengah rumah. Lalu ia mengeluarkan uang ribuan, lima ribuan, sepuluh ribuan, bahkan kalau sedang beruntung uang lima puluh ribuan. Semuanya hasil dari taruhan: taruhan bermain catur!

Begitulah, Maknun menafkahi anak-istrinya dengan satu-satunya kemampuan yang ia miliki: bertanding catur.

Maka modalnya kemana ia pergi, dan itu modalnya yang paling berharga, adalah jam catur serta beberapa papan catur lipat lengkap dengan pion-pionnya. Ia tahu, ulama di desanya sudah mengharamkan permainan catur yang disertai taruhan. Untuk itulah ia pergi ke kota kabupaten yang belum mengharamkan adu strategi perang di atas papan itu. Entah kalau ulama kabupaten pun sudah mengharamkan catur dan lapak catur taruhan di pinggir-pinggir jalan sudah disapu organisasi massa yang bertindak selaku “polisi syariah”, mungkin ia tidak bisa lagi menghidupi anak-istrinya.

Setiap hari ia naik angkot dari desanya ke kota kecamatan, dari kota kecamatan lanjut naik bus ke kota kabupaten. Di kota inilah Maknun biasa mengadu nasib dengan berjudi catur, kadang menggelar teka-teki catur untuk pejalan kaki yang lewat.

Semenjak Maknun muda dan belum menikah, ia sudah terbiasa bermain catur. Tarafnya master nasional, tetapi ia tak sanggup bersaing dengan para pecatur-pecatur muda di Jakarta. Di kota kabupaten tidak pernah ada turnamen catur besar, tetapi hidup harus terus berjalan. Maka ia memanfaatkan kemahirannya itu untuk bermain catur dengan taruhan. Namanya taruhan, kadang kalah, kadang menang. Namanya menggelar teka-teki catur, kadang ada pejalan kaki yang hebat dalam bermain catur, sehingga berbungkus-bungkus rokok sebagai modal lenyap.

Tetapi Tuhan maha adil bagi Si Gagap Maknun, ia selalu saja membawa rezeki pulang untuk dimakan anak-istrinya, terlepas rezeki itu halal atau haram.

Dua senja dua malam ini Maknun belum kembali ke rumahnya di mana anak-istrinya menunggu. Tak pernah biasanya ia tidak pulang selama itu. Tidak ada yang tahu, Maknun selama kurun waktu itu sebenarnya telah meringkuk di penjara kota atas tuduhan berat yang menimpanya: Maknun diduga teroris yang akan membom kota! Naudzubillah...

Dua hari yang lalu tatkala Maknun berdesak-desakan di atas bus yang akan membawanya pulang ke kota kecamatan, ia lupa mematikan jam caturnya. Tik-tak-tik-tak-tik-tak….. demikian bunyi jam catur yang lupa tidak ia matikan. Seorang polisi berpakaian preman langsung meringkusnya. Terjadi keonaran di dalam bus yang sedang melaju itu. “Bom, awas bom!!!” teriak polisi berpakaian preman mengingatkan penumpang.

Penumpang berhamburan turun bahkan sebelum bus benar-benar berhenti. Beberapa penumpang mencoba meringkus Maknun yang sangat ketakutan sampai-sampai celananya basah. Kencing. Tidak pernah Maknun yang gagap mendapat perlakukan yang mengagetkan dan sekejam itu.

“Bu-bu-bukan…. i-i-ini bukan b-b-bom!” katanya berusaha menjelaskan, tapi polisi berpakaian preman itu menubruknya, meringkus Maknun seperti tikus di lantai bus, membuatnya menjadi pesakitan seketika. Jam catur yang ada di dalam tasnya melayang ke udara, dan bruakkk!!!

Jam catur yang berbunyitik-tak-tik-tak itu terempas, kandas.

Tidak sampai hancur berantakan. Tetapi polisi membawa jam catur itu dengan sangat hati-hati sebagai barang bukti. Di pikirannya sudah terbayang ia bakal naik pangkat dalam satu upacara minggu depan. Sedangkan Maknun diseret dengan tangan terbelenggu ke belakang. Beberapa orang berteriak, “Teroris, teroris, teroris bawa bom waktu!”

Sejak siang itu Maknun harus meringkuk di penjara yang dingin untuk pemeriksaan. Ia disangkakan bukan karena main judi catur, tetapi karena terduga teroris berbahaya yang akan meledakkan bus yang ditumpanginya dengan bom waktu, dengan bom bunuh diri. Wajah Maknun sempat nampang di sejumlah stasiun televisi. Sialnya, tidak ada teman sesama pecatur yang mengenali wajahnya. Mungkin karena wajahnya lebih tua dari usianya yang baru menginjak 40 tahun.

Sudah dua senja Maknun meringkuk di penjara tanpa bisa menjelaskan apa-apa kepada aparat. Dia menderita shock yang luar biasa, yang membuatnya kehilangan akal sehat. Aparat kepolisian mengira Maknun sedang berpura-pura dan tetap menganggapnya sebagai orang berbahaya, sementara televisi dan koran-koran gagal mengungkap kegagapan Maknun ini. Pengacara belum berminat membela kasus unik ini, mungkin karena tidak akan menghasilkan apa-apa, baik reputasi bagus maupun fulus. Biarlah, berapa banyak orang menyandarkan hidup dengan berpura-pura yang sekarang terkena batunya. Buat apa dibela?

Sudah dua malam berlalu, Maknun tetap meringkuk di jeruji besi.

“Mak, apa tidak lebih baik aku menyusul saja Bapak ke kota?”

“Tidak usah, Nak, bapakmu sebentar lagi datang!”

Nun jauh di sana, pada malam yang berlentera itu ibu dan anak tetap mengharap kedatangannya, berharap Maknun segera tiba di rumah.

Mungkin kelak akan tiba pada waktunya, tetapi tidak malam ini.

***

Catatan: Cerpen ini terinspirasi dari pengalaman tragis seorang pecatur tangguh Indonesia dengan bakat alam yang kini entah di mana, yang konon mengalami peristiwa sebagaimana saya gambarkan berdasarkan cerita Pak Kristianus Liem beberapa waktu lalu.