Kita Samua Basudara... Maksudnya?

Minggu, 12 Agustus 2018 | 12:02 WIB
0
588
Kita Samua Basudara... Maksudnya?

Suatu hari saya merasakan kengerian luar biasa. Meskipun bukan bagian dari pengambil keputusan, saya dan beberapa teman sering melakukan simulasi bagaimana jalan keluar menyelesaikan masalah.

Ketika itu masalah yang kami diskusikan soal banyaknya anggota masyarakat yang terpapar radikalisme. Virus itu menyebar sampai ke kalangan akademisi, termasuk mahasiswa. Sampai ke anak-anak, bahkan yang masih di bawah usia dewasa secara hukum.

Perang melawan paham, pikiran. Ingatan langsung melayang ke masa kelam tahun 1965. Siapakah yang bisa memenangkan perang melawan pikiran? Sebuah paham? Apakah pemenjaraan, penghilangan nyawa, bisa memenangkan perang pikiran dan pemahaman? Saya menggeleng kencang. Tidak mungkin. Bahkan bisa membakar kekuatan.

Menjelang pendaftaran pasangan calon presiden-wakil presiden untuk Pemilu 2019, perasaan dan pikiran rakyat Indonesia diharu biru akrobat pilihan calon presiden dan wakil presiden.

Kalau benar hanya ada dua pasang calon, dua-duanya menimbulkan kontroversi. Saya hanya ingin melihat pemilihan KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres untuk Jokowi.

Kesaksiannya di pengadilan membuat Ahok langsung masuk penjara. Kenapa Jokowi sebagai kawan baik Ahok tega melakukan itu?

Dengan memahami rasa sakit yang sama dengan yang dirasakan Ahoker, saya merasa Jokowi melihat potensi ancaman yang bisa dihentikan. Apa itu? Merangkul semua musuh didasarkan pemahaman “kita samua basudara”.

Si radikal, si pembenci, si galau, si penyebar hoax, dan sebagainya, mereka adalah saudara sebangsa. Ada yang harus dikalahkan agar suhu politik menjadi adem.

Ada perdebatan tentang politisasi agama, politik identitas, dan lain sebagainya. Jokowi sebagai politisi mengikuti arus, arus politisasi agama. Tapi saya yakin dia tidak akan hanyut karena kekuatan prinsipnya sudah teruji empat tahun ini.

Saya juga percaya Jokowi meyakini peperangan yang dihadapi bukan perang melawan musuh dari luar tetapi keluarganya sendiri. Ia memangku lawan, seperti filosofi huruf Jawa. Dipangku, maka mati.

Bersama beberapa teman saya memilih untuk tidak ikut dalam ingar bingar bullying. Toh mereka semua saudara kita juga. Sindiran, nyinyiran, bahkan caci maki tidak akan bisa memenangkan perang pikiran, perang pemahaman.

Kasihilah sesamamu manusia, seperti kamu mengasihi dirimu sendiri.

Saya tidak mau diinjak-injak ketika sedang terjatuh karena yang dibutuhkan saat tak berdaya adalah uluran tangan. Beri pelukan bagi yang sedang papa. Jangan lupa beri pelukan buat saya juga.

***