Madura In Memory (4): Madura Kaya Migas, Tapi Masih Tetap “Miskin”

Rabu, 18 Juli 2018 | 13:15 WIB
1
1101
Madura In Memory (4): Madura Kaya Migas, Tapi Masih Tetap “Miskin”

Data dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) menyebutkan, Pulau Madura memiliki sekitar 104 blok sumber minyak dan gas bumi (migas). Dan baru 12 blok diantaranya yang dieksploitasi. Blok ke-12 ini terletak di Kecamatan Raas, Kabupaten Sumenep.

Blok ini dari Lapangan Terang-Sirasun-Batur atau lebih dikenal dengan Blok Raas. Blok Raas mulai produksi sejak Mei 2012, dan dikelola oleh PT Kangean Energy Indonesia (KEI). Rata-rata operator migas di sana mampu memproduksi hingga 240 juta kaki kubik/hari.

Sedianya, hasil migas ini dialirkan melalui pipa bawah laut ke Bali, seperti gas Blok Kangean yang dialirkan ke Jawa melalui Porong. Produksi gas Lapangan Pagerungan Besar, Kecamatan Sapeken, Sumenep itu 1,174 miliar kaki kubik dan lifting kondensat mencapai 13,2 juta barel.

Ini baru terungkap setelah terjadi ledakan pipa gas di Jalan Tol Surabaya-Gempol Km 38 pada 22 November 2006. Melalui pipa sepanjang 350 km (di bawah laut) dan 80 km (di darat), setiap harinya mengalir 200 juta kaki kubik (BCF) gas dari Blok Kangen ke Gresik.

Blok Kangean dikelola PT Arco Bali North (ABN), PT Arco Blok Kangean (ABK), PT Bayound Petroleum Indonesia (BPI), dan PT Energi Mega Persada (EMP) Ltd. Gas ini disuplai untuk 25 industri di Gresik, seperti PT Petrokimia, PT Gas Negara, dan PT PLN Distribusi Jawa-Bali.

“Tapi, berapa nilai keuntungan hasil eksploitasinya tidak ada masyarakat Madura yang tahu. Mereka hanya tahu, hasil sumber migas itu disedot dan dialirkan ke Pulau Jawa,” ungkap Ketua Dewan Pembangunan Madura (DPM) H. Achmad Zaini MA kepada Pepnews.com.

Karena itu, kali ini pihak DPM tak mau kecolongan dengan Blok Raas. Pada Selasa, 6 November 2013, pengurus inti DPM (Achmad Zaini MA, KH Nuruddin A. Rachman, KH Djakfar Shodiq, HM Rawi, Laksamana Purn Achmad Soetjipto) menemui Menko Perekonomian (Hatta Rajasa).

Para tokoh asal Madura ini menyampaikan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) perihal Penetapan Pulau Raas Madura sebagai Landing Point Blok MDA-MBH Milik HCMK-Husky (pada 23 Oktober 2013).

Surat kepada Presiden SBY itu ditandatangani oleh 17 ulama, sesepuh, tokoh masyarakat, dan akademisi asal Madura. Antara lain: KH Nuruddin A. Rachman (Ketua MUI Jatim, Jubir Ulama Madura), HR Ali Badri Zaini (Ketua Umum HIPASBI-Himpunan Persaudaraan Antar Suku Bangsa Indonesia, HM Rowi (Ikatan Keluarga Madura-Ikamra).

Juga, Prof. Soedarso Djojonegoro (mantan Rektor Universitas Airlangga), Letjen TNI (Purn) Arie Sudewo (mantan Ka-BAIS), Laksamana TNI (Purn) Achmad Soetjipto (mantan KSAL, Ketua Umum Persatuan Purnawirawan AL), dan Drs. H. Harun Al-Rasyid, MSi (Pemuda Madura dan Ketua Forum Komunikasi Cendekiawan Madura-FKCM).

Menurut Haji Zaini, dari 12 blok migas yang ada di Madura, sampai sekarang tidak ada yang landing di Madura, tetapi dibawa ke mana-mana. Kalau Presiden tidak perhatikan, masyarakat Madura akan berontak. Setidaknya, 40 ribu penduduk Raas akan bergerak. “Kita sudah cukup dibodohi, diabaikan, dan tidak diperhatikan,” tegasnya kala itu.

Sekarang, Pemerintah Pusat harus memperhatikan soal ini. “Katanya, merdeka. Kalau diginikan terus dan tidak diperhatikan oleh Pemerintah Pusat, Madura mau berontak. Bahkan, mungkin lebih baik merdeka saja,” ungkap Haji Zaini dengan nada keras.

Sudah sejak 1978, ratusan triliun rupiah kekayaan migas Madura disedot ke Jakarta, seperti Blok Kangean. “Kurang sabar apa orang Madura, minyaknya diambilin, tapi listrik tidak dialiri. Orang Madura terpaksa kerja jadi TKI segala meninggalkan daerahnya,” ujar Haji Zaini.

Selama ini, hasil migas Madura hanya dinikmati orang luar Madura. Terkait dengan surat kepada Presiden SBY yang dikirim tersebut, menurut Haji Zaini, Hatta Rajasa mendukung langkah para tokoh Madura ini.

Dan, “Pak Hatta akan segera lapor presiden tentang migas Blok Raas itu,” ungkapnya. Adakah kedatangan Presiden SBY ke Madura selama 3 hari (menginap dua malam) terkait dengan surat tersebut?

“Semoga kedatangan Presiden SBY ini membawa kebaikan bagi Madura. Apalagi jika terkait dengan migas Madura,” kata Haji Zaini. Pada Rabu hingga Jum’at, 4-6 Desember 2013, Presiden SBY secara mendadak mengadakan kunjungan ke Madura.

Selama 3 hari kunjungan itu presiden menginap di Pamekasan dan Sumenep. “Selama bumi ini ada, belum pernah terjadi presiden nginap di Madura sampai 2 malam,” ujar Haji Zaini. Karena itu, ia dan keluarga besar masyarakat Madura mengucapkan terima kasih atas kunjungannya.

Jelas, dalam hal ini, Presiden SBY telah memberikan perhatian penuh, utamanya soal migas Madura. Kalau mau konsisten dengan Suramadu yang disiapkan untuk membangun industri Madura, mengapa itu tidak dibangun di Madura?

Mengapa harus ditarik ke Bali. Kalau di Madura bisa untuk membangun pembangkit listrik, sehingga listrik Madura tidak bergantung dari Jawa. Ini juga untuk membangun industri seperti pabrik pupuk dan sebagainya.

Kalau dibeginikan terus, berarti Pemerintah memancing dan mengkondisikan rakyat di Madura akhirnya tidak mengindahkan Pemerintah. Sama saja dengan memilihara benih-benih sparatisme di Madura, seperti Aceh yang pernah diperlakukan tidak adil. Di sana awalnya juga soal minyak.

Masyarakat Madura berharap, Pemerintah Provinsi dan Pusat nantinya mengawal kepentingan masyarakat secara proporsional. Mereka harus memimpin dengan nurani. Perlu dicatat, industri bagi masyarakat Madura sebenarnya sudah tidak asing lagi.

Di Madura pernah mempunya industri tekstil (Maduratex). Bangunan bekas industri tekstil itu pun hingga kini masih tampak teronggok di Jalan Raya Kamal yang menuju Pelabuhan Kamal, Madura. Hingga kini, Madura juga masih punya industri garam yang berpusat di Kalianget.

Industri Garam Madura

Seperti Inggris yang memonopoli garam di India, Belanda juga melakukannya di Nusantara. Termasuk garam dari pulau garam: Madura. Seperti dicatat dalam beberapa tulisan, riwayat garam di Madura, terkait sosok Pangeran Anggasuta.

Dia yang memperkenalkannya kepada orang-orang di Madura. Sebagai penghasil garam, petak-petak tambak pembuatan garam hingga kini masih terlihat di sekitar pantai-pantai Kalianget, Sumenep, Madura bagian tenggara.

Pantai selatan Madura yang kering memang dianggap baik untuk memproduksi garam. Menurut Danys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia (1996), rupa-rupanya di Madura penghasilan (garam) itu tidak terlalu tua.

“Jika J. Crawfurd boleh dipercaya, prinsip tambak garam pada masanya hanya dikenal di pantai-pantai utara Jawa dan daerah Pangasinan di Pulau Luzon (Filipina).” Saat itu, garam-garam yang dikonsumsi di Indonesia di masa lalu juga datang dari Kocin Cina, Siam, dan Koromandel.

Soal tambak-tambak garam di pantai-pantai utara Jawa yang disebut Danys Lombard, Reid menyebut,banyak tambak-tambak garam di pantai utara Jatim. Di kala musim penghujan, saat garam tak dihasilkan, tambak-tambak itu akan berisi ikan. Ini nampaknya tak terjadi di Madura.

Catatan historis menyebutkan, Madura memang sempat jadi sumber serdadu Kolonial Belanda. Ada yang namanya Barisan Madoera atau Barisan Tjakra. Tapi, secara umum tadinya Madura tidak dianggap penting oleh pemerintah kolonial Belanda.

“Pulaunya tidak begitu subur, dan pada mulanya hanya memiliki nilai ekonomi yang kecil bagi Belanda. Hasil utamanya adalah manusia, yang melakukan migrasi besar-besaran ke Jawa Timur dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik,” tulis Marle Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).

Barulah di paruh kedua abad XIX, terutama setelah Sistem Tanam Paksa dihapus pada 1870, Madura punya nilai ekonomis besar bagi Belanda. Pulau ini, menurut Ricklefs, adalah “pemasok utama garam ke daerah-daerah yang dikuasai Belanda di seluruh nusantara.”

Itulah fakta nilai ekonomis Madura yang selama ini kurang diperhatikan oleh Pemerintah Pusat. Hasil sumber migasnya disedot ke Jakarta hanya untuk mengisi kantong segelintir pengusaha, bukan kembali ke Madura. Sehingga, faktanya, Madura tetap “miskin”.

***