Haji Mabrur dan Kesalehan Sosial

Rabu, 18 Juli 2018 | 05:08 WIB
0
552
Haji Mabrur dan Kesalehan Sosial

Haji bukan semata-mata berkunjung (hajja) ke Arab Saudi lalu napak tilas perjalanan spiritual para nabi yang sejauh ini terangkum dalam praktik manasiknya. Tak sulit menjelaskan, kenapa dulu Nabi Ibrahim membangun kembali Ka’bah dan mengelilinginya (thawaf), atau saat istrinya, Hajar, harus berjalan bolak-balik antara Shafa dan Marwah (sa’i), atau melawan simbol perlawanan setan dengan melempar (jumrah).

Keseluruhan ritual haji ini, memberikan banyak pelajaran berharga dalam konteks sosial-kemanusiaan. Thawaf, memberikan ibrah yang sedemikian besar bagi kehidupan manusia, karena seluruh kehidupan manusia berotasi tak pernah berhenti sedetikpun, meskipun dalam kondisi tidur, seluruh elemen tubuh manusia bergerak, berotasi tanpa henti.

Yang lebih menarik, simbol melawan setan yang ditunjukkan melalui kegiatan jumrah, bahkan dilakukan hingga tiga kali, bahkan ada yang diulang salah satunya, yakni ‘aqabah. Setan benar-benar dipersepsikan sebagai musuh nyata dan paling abadi dalam kehidupan manusia, sehingga tak cukup hanya satu kali mengusirnya, karena keberadaan setan tentu saja “bergerak” dan mengalir selaras dengan aliran darah kita sendiri.

Setan adalah simbol kerakusan, kejahatan, bahkan senantiasa menjungkirbalikkan akal sehat manusia agar terjerumus mengikuti langkah-langkah mereka yang justru selalu dianggap “baik” oleh nafsu kita sendiri. Musuh satu-satunya bagi manusia hanyalah setan yang tanpa disadari justru dipersonifikasikan oleh diri kita sendiri.

Waktu pelaksanaan jumrah tentu saja paling panjang dibanding ritual haji lainnya. Simbol perlawanan terhadap setan ini semakin mempertegas, dimana setan hanya satu-satunya musuh nyata manusia di muka bumi yang tak mudah dijinakan. Selaras dengan salah satu ayat al-Quran, “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu)” (QS Fathir: 6).

Oleh karena itu, permusuhan terhadap setan harus benar-benar dikobarkan, “melempar” setan yang senantiasa hadir dalam diri kita sendiri setiap waktu. “Assyaithaanu tarjumuun wa millata abiikum ibroohima tattabi’uun” (setan itu terlempar/terkutuklah dan agama moyang kita Ibrahim ikutilah), demikian salah satu atsar Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi.

Kehidupan manusia terus bergerak, berputar, tak hanya secara fisik—berpindah dari satu titik ke titik lainnya—namun juga secara mental-spiritual. Manusia terus memperbaharui seluruh potensi dirinya yang ada, mengaktualisasikannya demi suatu kehidupan dan perubahan. Hampir seluruh dimensi kehidupan manusia tercermin dalam seluruh aktivitas haji: thawaf, sa’i, jumrah, semuanya bergerak, berpindah dari satu titik ke titik yang lain.

Namun, ada kalanya manusia berhenti sejenak, sekadar merenungi seluruh aktivitas hidupnya, apakah sudah selaras dengan tujuan dirinya diciptakan Tuhan. Momen wuquf dan mabit di satu titik, merupakan wujud pengosongan jiwa, lalu mengisinya dengan energi spiritual melalui muhasabah (introspeksi) menilai diri kita sendiri.

Bukan suatu kebetulan, ketika Rasulullah menempatkan wuquf sebagai puncak dari seluruh aktivitas haji yang tak bisa ditawar-tawar. Peristiwa wuquf seperti titik balik bagi seluruh kehidupan manusia untuk introspeksi menyeluruh atas segala aktivitasnya, yang baik maupun yang buruk. Tak ada pengecualian dalam hal ini, sesulit apapun keadaan dan kondisi seseorang, berdiam diri (wuquf) harus tetap dilakukan.

Wajar, jika kemudian momen ini paling penting dari seluruh ritual haji, karena wuquf hampir tak ada aktivitas, kecuali pengosongan jiwa dari seluruh keterikatan duniawiyah yang membelenggu dan memenjarakan kita, seraya melepaskannya berpasrah diri dan berkeluh kesah hanya pada sang Khalik.

Haji, erat sekali kaitannya dengan kesalehan sosial. Hal ini mulai dapat dirasakan ketika seseorang akan menjalankannya. Aktivitas kehidupannya sehari-hari cenderung lebih menghindari segala hal yang bersifat negatif. Bahkan tak jarang, tradisi seperti syukuran (selametan), doa bersama, dan memohan maaf kepada masyarakat ramai dilakukan para jamaah yang hendak berangkat.

Momen “walimatussafar” (pesta keberangkatan) dalam rangka berhaji, hampir ditemukan di seluruh lapisan masyarakat. Sangat tepat ketika Rasulullah menggambarkan ketika ditanya mengenai apa itu haji mabrur, ia menjawab: “Haji mabrur adalah mereka yang gemar bersedekah (ath’imu ath-tho’am) dan selalu menebarkan kedamaian (afsyu as-salaam)” [HR Ahmad].

Hampir tak ada ibadah yang dipublikasikan secara luas, kecuali haji. Bahkan di era milenial seperti saat ini, media sosial bahkan seringkali dimanfaatkan untuk momen publikasi kepada khalayak dimana seseorang kerap kali memohon restu kepada masyarakat. Rasa bersyukur kemudian diimplementasikan melalui cara sedekah, mengundang sanak kerabat terdekat, dengan tujuan utama tentu saja menebarkan kedamaian.

Haji memang momentum yang tak bisa dilepaskan dari beragam nilai tradisi dan budaya, sebagaimana yang digambarkan dari setiap ritual yang dijalankannya. Tidak salah jika kemudian haji mabrur lekat dengan kenyataan kesalehan sosial, sebab sejak sebelum keberangkatan dan kepulangannya, sarat makna kedekatan sosial.

Seluruh rangkaian manasik haji merupakan “sekolah” yang mendidik setiap orang menggapai manifestasi kesalehan. Larangan untuk berbuat rafats (berkata buruk), melakukan dosa dan kemaksiatan (fusuq), dan berbantah-bantahan atau berselisih pendapat (jidal), seharusnya tetap dijalankan tidak hanya sebatas ketika berhaji, namun tetap melekat pada diri sendiri dan diaktualisasikan terus menerus setelah kepulangannya.

Dengan demikian, yang boleh dilepas atau diganti hanyalah sebatas pakaian ihram (yang terdiri dari dua helai kain putih tak berjahit), adapun larangan rafats, fusuq, dan jidal akan terus berlaku bagi siapa saja—terutama bagi mereka yang selesai menjalankan ibadah haji.

Kesalehan sosial yang melekat dalam pribadi seseorang, tidak saja menguntungkan bagi kehidupan dalam dimensi “kedisanaan” karena didalamnya sarat nilai-nilai kedekatan (taqarrub) kepada Tuhan, namun juga bermanfaat sekaligus menguntungkan dalam dimensi kehidupan kekinian.

Tepat ketika Rasulullah menggambarkan seseorang yang menjalankan haji dan umroh karena keduanya dapat menutup kefakiran dan kekurangan (sisi duniawiyah) dan juga sebagai penghapus dosa (sisi ukhrawiyyah) sebagaimana besi yang sanggup dilelehkan oleh api (kamaa yunaffi al-kairu khabitsa al-hadidi).

Sungguh haji merupakan ibadah yang memberikan kemanfaatan di dunia sekaligus di akhirat yang hampir tak ditemukan dalam dimensi ibadah-ibadah lainnya. Jika boleh dirangkum, semua elemen ibadah tercakup seluruhnya dalam nilai-nilai ibadah haji, sehingga wajar dimana tak ada lagi pahala selain surga yang dijanjikan kepada para haji mabrur. Wallahu a’lam.

***