Bambang Sulistomo dan IP-KI Berjuang Berlakukan Kembali UUD 1945

Kamis, 5 Juli 2018 | 17:14 WIB
0
574
Bambang Sulistomo dan IP-KI Berjuang Berlakukan Kembali UUD 1945

Pada Kamis, 5 Juli 2018, adalah Peringatan ke-59 Dekrit Presiden RI, 5 Juli 1959: kembali ke UUD 1945. Pasca Reformasi, pada 2002, UUD 1945 itu diamandemen oleh DPR-MPR, dan jadilah UUD 2002, bukan lagi UUD 1945.

Untuk itulah Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) telah mengajukan surat pada Pimpinan Mahkamah Konstitusi (MK) guna memohon audiensi. “Khususnya membicarakan tata-cara perubahan Konstitusi yang seharusnya dilakukan,” ujar Bambang Sulistomo.

Menurut Ketua Umum DPP IP-KI itu, kedatangannya ke MK pada 5 Juli 2018 itu “bukan” untuk menguji materi UU apapun. “Tapi, ingin tahu tata-cara perubahan UUD 2002 hasil amandemen UUD 1945,” lanjut putra Pahlawan Nasional Bung Tomo ini.

Organisasi IP-KI yang dilahirkan pada 1954 itu sebagai Ormas Kebangsaan para pejoang kemerdekaan 1945, sejak awal memang berjuang agar bangsa ini kembali menggunakan UUD 1945 dan Pancasila sebagai Dasar Negara.

Oleh sebab itu, kata Bambang Sulistomo, IP-KI sangat terlibat aktif dalam lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. “Hari ini adalah peringatan ke 59 dari Dekrit Presiden pada tahun 1959 tersebut,” ungkapnya kepada Pepnews.com, Kamis (5/7/2018).

IP-KI berdiri pada 20 Mei 1954 yang dipelopori para pejuang kemerdekaan, baik yang masih aktif maupun non aktif dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan diantaranya tercantum dalam Manifest III IP-KI untuk mewujudkan masyarakat Pancasila dan UUD 1945, seperti tercantum dalam Manifest I dan II IP-KI.

“Dalam proses perjuangan Nasional yang terus-menerus berlangsung dengan perkembangan serta kemajuan zaman, IP-KI menyelenggarakan kegiatan Organisasi Kemasyarakatan yang non politik praktis,” lanjut Bambang Sulistomo.

IP-KI bertekad bulat hendak meningkatkan keikutsertaan secara aktif dalam pembangunan mengisi kemerdakaan dengan berusaha mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat, menegakkan Demokrasi Pancasila dan nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945 dengan berpegang teguh kepada Bhinneka Tunggal Ika.

Bambang Sulistomo menyebutkan, dalam Manifest IP-KI Pertama (20 Mei 1954) ditulis, “Maka dari itu kami berkeyakinan bahwa pejoang, pembela, dan pendukung kemerdekaan Indonesia itu tidak boleh berdiam diri melelewarkan taraf yang maha penting itu, melainkan mereka harus bangkit bersatu serentak kembali memelopori rakyat seperti telah mereka lakukan dalam perang kemerdekaan umumnya, selama perang gerilya khususnya”.

“Kami yakin bahwa semangat proklamasi itulah yang dapat mendukung negara dalam segala percobaan dan pejoang-pejoang itulah pula seharusnya inti pendukung negara selanjutnya. Dan kami yakin bahwa semangat dan jiwa Konstitusi 1945 itulah yang mampu menjamin kestabilan politik negara”.

Dalam Manifest IP-KI Kedua (5 Oktober 1954) ditulis, “Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia dipelopori oleh para pembela, pejoang-pejoang dan pendukung-pendukung kemerdekaan Indonesia dan yang bersikap non-partai mengundang dan mengajak rakyat seluruhnya turut menyokong gerakan baru ini untuk mengembalikan semangat dan arah revolusi dan proklamasi dalam membela dan menuju kepada cita-cota nasional 1945, Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”.

Menurut Bambang Sulistomo, keprihatinan IP-KI pada terjadinya penyimpangan anggota masyarakat pada sistem nilai dan norma hukumnya, disebabkan oleh interaksi sosial untuk mengejar ukuran-ukuran keberhasilan dalam mencapai keuntungan materi itu tadi.

“Tindakan penyimpangan yang berwujud sebagai kejahatan masyarakat seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, ketimpangan sosial ekonomi akibat praktik jual-beli hukum dan kebijakan publik, yang mengakibatkan kemiskinan, pengangguran, jual-beli jabatan, adalah wujud dari semakin jauhnya keadilan sosial dan semakin lemahnya kekuatan spiritual bangsa itu,” lanjut Bambang Sulistomo.

“Akibatnya adalah bahwa keadilan, nilai, dan norma hukum masyarakat yang sebenarnya berbasiskan pada kekuatan spiritual masyarakat, semakin terpisah oleh kekuatan material,” ungkapnya.

Catatan Dekrit Presiden

Editor Pustaka Al-Kautar dan Dosen STID Mohammad Natsir Jakarta Artawijaya menulis, suatu hari di awal bulan Juli 1959. Waktu menunjukkan pukul 01.30 dinihari. Telepon di rumah KH Saifuddin Zuhri berdering. Dari ujung telepon, suara KH Idham Chalid, menyampaikan kabar penting.

Ia meminta kepada KH Saifuddin Zuhri untuk datang ke rumahnya di Jalan Jogja 51 Jakarta Pusat, dini hari itu juga. “Ada hal penting terkait rencana kedatangan dua orang pejabat,” ujar KH Idham Chalid, dari ujung telepon.

Tak menunggu lama, Kiai Zuhri kemudian bergegas menuju rumah Kiai Chalid. Pukul 02.00 lebih sedikit, ia sampai di kediaman tokoh senior Nahdhatul Ulama (NU) itu. Tidak berapa lama, dua orang pejabat penting.

Kedua pejabat itu tidak lain adalah Jenderal Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat/Menteri Keamanan dan Pertahanan ditemani dengan komandan Corp Polisi Militer (CPM) Letkol R. Rusli datang.

Kedua petinggi militer itu meminta saran kepada dua orang tokoh NU tersebut terkait dengan rencana keberangkatan mereka menemui Presiden Soekarno yang sedang berobat di Jepang. Dari kalangan militer saat itu mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar UUD 1945 diberlakukan kembali lewat Dekrit Presiden.

Terkait hal itu, Jenderal Nasution dan Letkol Rusli meminta masukan kepada dua tokoh tNU tersebut untuk memberikan apa saja yang akan dimasukkan dalam dekrit. “Isinya terserah pemerintah, tapi hendaklah memperhatikan suara-suara golongan Islam dalam Konstituante,” ujar KH Idham Chalid memberi masukan.

“Apa kongkretnya tuntutan golongan Islam itu?” tanya Jenderal Nasution. “Agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai menjiwai UUD 1945,” jawab KH Saifuddin Zuhri menimpali.

“Bagaimana sikap NU apabila presiden menempuh jalan dekrit?” tanya Jenderal Nasution lagi. “Kami tidak katakan, itu hak presiden untuk menempuh jalan menyelamatkan negara,” jawab KH Idham Chalid.

Kisah mengenai sikap NU, Jenderal Nasution, dan tentang rencana Dekrit Presiden ini ditulis oleh M. Ali Haidar dalam buku “Nahdhatul Ulama dan Islam Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik.”

Soal keterlibatan Jenderal Nasution dalam menggagas upaya kembali ke UUD 1945 dengan syarat Piagam Jakarta diakui sebagai bagian dan rangkaian kesatuan dari UUD, dan sikap NU yang menerima usulan tersebut dengan syarat Piagam Jakarta diposisikan seperti itu, juga ditulis oleh pengamat NU, Andree Feillard dalam buku ”NU vis-a-vis Negara”.

Sikap para aktivis NU terhadap Piagam Jakartajuga terlihat dalam pawai-pawai di Jakarta ketika memperingati 40 tahun hari lahirnya NU. Dalam pawai-pawai tersebut, tuntutan untuk mengembalikan Piagam Jakarta sebagai bagian dari UUD 1945 bertebaran dalam spanduk yang dibawa di jalan-jalan.

Pada 22 April 1959, Soekarno yang menganggap sidang konstituante terlalu bertele-tele dan alot. Ia kemudian menyampaikan pidato berjudul “Res Publica, Sekali Lagi Res Publica” di Majelis Konstituante yang meminta para anggota majelis untuk segera kembali kepada UUD 1945, seperti yang dirumuskan pada 18 Agustus 1945.

Kemudian pada 2 Juni 1959 majelis mengadakan pemungutuan suara dalam rangka kembali ke UUD 45, dengan dua pilihan yang diajukan: Pertama, kembali kepada UUD 1945 seperti dirumuskan pada 18 Agustus 1945. Kedua, kembali pada UUD 1945 dengan memasukkan anak kalimat Piagam Jakarta ke dalamnya.

Voting itu menghasilkan 263 suara setuju kembali ke UUD 1945 seperti dirumuskan tanggal 18 Agustus 1945 dan 203 mendukung UUD 1945 yang di dalamnya berisi tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang mewajibkan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Karena pemungutan suara tidak menghasilkan pemenang mutlak, maka Soekarno melakukan langkah drastis dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran konstituante dan menetapkan berlakunya UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, yang ia sebut sebagai rangkaian kesatuan dengan konstitusi.

Dekrit ini dikeluarkan karena perdebatan di Sidang Majelis Konstiuante yang cukup alot dan memakan waktu cukup lama, dari tahun 1956 sampai 1959. Masing-masing kelompok tanpa tedeng aling-aling mengemukakan gagasan-gagasannya.

Mohammad Natsir menyebut suasana saat itu dengan istilah masa-masa konfrontasi dalam suasana toleransi. Masing-masing menyampaikan aspirasi untuk mengajukan ideologi yang akan dijadikan dasar dalam bernegara.

Kelompok Islam dimotori M Natsir, Hamka, Kasman Singodimejo, dan lain-lain, serta tokoh NU, sepakat mengajukan Islam sebagai dasar negara. Mereka mempersilakan kelompok lain untuk menyampaikan gagasannya secara terbuka, jika memang mereka mempunyai konsep yang jelas soal kenegaraan.

Perdebatan itu akhirnya berujung pada Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959. Dekrit dirumuskan di Istana Bogor, pada 4 Juli 1959, dan dibacakan di Istana Merdeka, Jakarta, pada Ahad, 5 Juli 1959, pukul 17.00 WIB.

***