Amien Rais Paket Komplit; Intelektual, Politikus, Ulama, dan Demonstran

Minggu, 3 Juni 2018 | 16:28 WIB
0
566
Amien Rais Paket Komplit; Intelektual, Politikus, Ulama, dan Demonstran

Judul tulisan ini tidak muncul secara tiba-tiba dari kepala saya. Kemarin, saya sempat mengikuti perbincangan dengan Muhammad Qodari, Direktur Indo Barometer di Metro TV. Di acara tersebut, Qodari mengatakan:

Amien Rais memiliki latar belakang yang istimewa di kancah politik nasional. Secara intelektual dia seorang Doktor Ilmu Politik. Sebagai politikus yang membidani lahirnya Partai Amanat Nasional dan sekaligus sebagai ulama karena pernah menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah. Namun demikian, orang sering dibuat bingung karena berbagai pernyataannya selalu mengundang polemik. Misalnya, di sebuah acara dia mendefinisikan Partai Setan dan Partai Allah. Pernyataan tersebut dia lontarkan dalam kapasitasnya sebagai ulama. Dan pernyataan-pernyataan lain yang dia tujukan pada Presiden Jokowi yang menurutnya lebih pas diucapkan oleh seorang demonstran.”

Tahun 1997, saya bekerja sebagai karyawan sebuah BUMN di Jember. Tetangga kamar kos saya sebagian besar mahasiswa Unej. Di saat senggang, saya sering berdiskusi dengan mereka. “Indonesia sudah saatnya direformasi,” kata salah seorang dari mereka. “Reformasi? Reformasi macam apa?” tanya saya.

Ketika itu kata reformasi masih asing di telinga kita.  “Ya perubahan secara menyeluruh. Di segala bidang,” jawabnya mantab. “Itu kan tidak mudah,” jawab saya, “Lagipula, siapa yang mampu menggantikan Presiden Soeharto?” Sebelum saya berhenti bicara, dia menjawab dengan keras,”Amien Rais.”

Akhirnya, saya mulai menyukai Amien Rais. Tahun 1998 demontrasi yang terjadi di Jakarta juga merebak ke berbagai daerah.  Saya  berada tepat di depan Kantor DPD Golkar Surabaya yang ada di Jalan  A. Yani saat masa membakar gedung itu. Di Jember, mahasiswa melakukan demo di depan Kodim. Mereka hanya bisa orasi di jalan karena pagar ditutup rapat. Di halaman kantor, beberapa tentara terlihat berjoget diiringi musik dangdut. Para pendemo meradang tapi mereka tak berani berbuat apa-apa. Selain menuntut turunnya Soeharto, demo yang marak ketika itu juga menjadikan militer dan Golkar sebagai pihak yang dipersalahkan.

Saat ke Malang, saya mampir ke Unibraw, almamater saya.  Di sepanjang jalan  banyak mahasiswa menjajakan kaos Partai Amanat Nasional. Saya beli beberapa buah dan saya kenakan setiap hari. Di Jember belum ada yang punya kaos PAN; kaos putih berlogo matahari berwarna biru dengan 32 pancaran cahaya. “Itu menggambarkan kebangkitan pasca tertindas 32 tahun era orde baru,” kata desainer logo PAN saat diwawancarai Koran Jawa Pos.

Tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan mundur dari kursi Presiden karena sudah tak sanggup lagi melawan kerasnya desakan mahasiswa. Kemudian dia menunjuk BJ Habibie untuk menggantikannya sebagai Presiden ketiga RI selama masa transisi. Dalam sebuah wawancara dengan Associated Press, Amien Rais, Sang Lokomotif reformasi  berkata: "I think we have to wait for a couple of months until the situation is stable and everything is back to its good shape and then we have confidience enough to start investigasting Mr. Soeharto in a true, fair and just process.” Bikin saya makin kagum dengan Amien Rais.

Sementara itu, di kosan hampir tiap hari ada mahasiswa yang mendeklamasikan bait puisi:  “Mahasiswa takut sama dosen. Dosen takut sama Rektor. Rektor takut sama Menteri. Menteri takut sama Presiden. Presiden takut sama mahasiswa.”

Tergulingnya Soeharto telah memicu euforia sangat besar di kalangan mahasiswa. Saat itu, saya merasa sangat yakin Amien Rais akan jadi presiden. Pada tanggal 23 Agustus 1998, Amien Rais mendeklarasikan berdirinya PAN (Partai Amanat Nasional), tiga bulan setelah saya beli kaos PAN di Malang.

Karir Amien Rais di bidang akademis tak kalah moncer dengan kecemerlangannnya di pentas politik tanah air. Tanggal 11 Apr 1999 dia mendapat anugerah gelar Profesor dari UGM. Sebagai pendukung setia, kala itu saya sempat tersulut emosi manakala ada beberapa pihak yang merasa keberatan dengan pemberian gelar tersebut dengan dalih Amien Rais sudah tak pernah datang ke kampus pasca terjun ke dunia politik.

Di Pemilu 99, saya mencoblos PAN. Saat hasil Pemilu 99 diumumkan, saya sempat sock karena PAN hanya mampu meraih 7% suara. Jauh di bawah Golkar yang mampu meraup 24% suara dan bertengger di posisi runner up setelah PDIP. Hati ini makin sakit saat Amien Rais dibantai Akbar Tanjung dalam sebuah acara debat televisi. Saat itu, Amien Rais menggugat Golkar sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas krisis yang terjadi saat itu. Dengan enteng Akbar menjawab: “Pak Amien ini maunya apa? Lihat saja. Rakyat Indonesia lebih mempercayai Golkar dibanding PAN.”

Saya terhibur manakala Amien Rais dengan 7% suara PAN ternyata mampu menjadi ‘King Maker’ berdirinya poros tengah sekaligus berhasil membawa Gus Dur menggunguli perolehan suara Megawati. Sebagaimana kita tahu,  PDI-P sebagai pemenang Pemilu dengan perolehan suara 33% sangat memungkinkan bagi Megawati untuk memenangkan jabatan RI 1 pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) saat itu.

Saya sangat optimis Indonesia akan segera keluar dari krisis yang berkepanjangan. Presidennya, Abdurahman Wahid. Wakilnya, Megawati. Ketua DPR, Akbar Tanjung dan Ketua MPR, idola saya Amien Rais. Demokrasi berkibar-kibar.

Pada proses selanjutnya, Amien Rais yang berhasil menduduki jabatan Ketua MPR berhasil menjadi motor penggerak Sidang Umum MPR yang membahas amandemen UUD 1945 pada 12-19 Oktober 1999.

Masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid tidak berumur panjang, 20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001. Gus Dur dilengserkan dengan pemakzulan atas persoalan hukum kasus Brunei dan Bulog, dua tuduhan yang hingga kini tak terbukti. Selanjutnya, posisi Gus Dur Digantikan oleh Megawati.

Hasil amandemen UUD 45 mulai diterapkan pada Pemilu 2009. Dan yang istimewa, ini kali pertama Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Sebagaimana pemilu lalu, saya tetap pada dukungan saya, PAN dan Amien Rais. Saat itu, saya mendeklarasikan diri sebagai jurkam Amien Rais independen. Dengan merogoh kocek dari kantong pribadi, saya mencetak kaos Amien-Siswono lebih dari 1.000 buah. Itu belum termasuk brosur yang memuat profil Amien Rais sebagai keturunan Pangeran Diponegoro (tentang itu saya lupa dapat referensi dari mana), puluhan ribu eksemplar.

Kaos Amien-Siswono saya distribusikan sendiri lewat beberapa teman Muhammadiyah di wilayah Kertosono, Nganjuk dan Kediri. Saya terkejut saat mendatangi kantor DPC PAN Kediri. Saat itu sedang ramai-ramainya kampanya. Kantor masih tutup. Sementara itu, jam menunjukkan pukul 10.00. “Ada orangnya kok, Mas,” kata ibu yang rumahnya persis di sebelah Kantor PAN. Pagar tidak terkunci. Saya bergegas masuk dan mengetuk pintu. Setelah menunggu agak lama, pintu dibuka oleh seorang penjaga malam yang bangun kesiangan. Dengan agak ragu, saya serahkan padanya beberapa bendel brosur dan kaos padanya.

Hasil Pemilu 2009 sungguh mengejutkan. Partai Demokrat melejit bersama SBY. PAN hanya berhasil meraih suara 6.4% dan pasangan Amien-Siswono hanya meraih 14.6%. Hingga kini, saya tak habis pikir, kenapa perolehan suara Amien Rais dan PAN tidak signifikan dengan perannya sebagai motor reformasi. Pendeknya, dia yang mengamandemen Pilpres secara langsung tapi rakyat lebih memilih SBY. Dari sisi legislatif, rakyat tetap percaya Golkar dibanding PAN.

Amien Rais memang sudah tidak menakodai PAN lagi. Namun, posisinya sebagai Ketua Dewan Kehormatan masih memiliki pengaruh besar pada arah dan garis besar partai. Di usianya yang sudah memasuki senja, dia masih terus mewarnai panggung perpolitikan tanah air. Di Pilpres lalu, dia mendukung Prabowo yang akhirnya kalah oleh Jokowi.

Sekarang, suasana politik sudah mulai panas menjelang Pemilu 2019. Amien Rais tetap setia mendukung Prabowo yang mendapat dukungan penuh dari kelompok Islam Radikal, PKS, PAN dan Gerindra). Amien Rais juga tampak mesra dengan Habib Rizieq.

Selain itu, sikap Amien Rais terhadap Soeharto juga mencair. Dalam acara 20 tahun refleksi reformasi dia berkata: “Penyebab Presiden ke-2 RI Soeharto dikaitkan dengan citra diktator, justru bukan berasal dari diri Soeharto itu sendiri. Melainkan dari anggota DPR yang waktu itu semuanya kompak bertingkah layaknya dagelan atau tokoh lawakan yang penuh sandiriwara.”

Akankah semua itu bermakna di Pemilu 2019?

***