Menjelang 2019, Indonesia bersiap melakukan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden secara nasional. Ada satu fakta menarik yang terus berulang. Partai-partai warisan Orde Baru, yakni partai-partai anak-anak dari Soeharto, kembali maju. Secara umum, mereka setidaknya membawa tiga program dasar, yakni stabilitas nasional yang dinamis, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan.
Kita harus kritis membaca ketiga program tersebut, terutama melihat sepak terjang Orde Baru selama 32 tahun di masa lalu. Pertama, konsep stabilitas nasional yang dinamis seringkali dipelintir menjadi pembungkaman suara-suara yang berbeda. Keberagaman pendapat ditindas demi kepatuhan pada penguasa pusat. Suasana memang stabil, namun ketakutan dan kebencian terpendam tersebar di berbagai tempat.
Ini memang ciri khas penguasa otoriter. Indonesia mengalami ini selama 32 tahun, dan juga berbagai negara lainnya. Pemerintah otoriter memang takut pada kritik. Oleh karena itu, mereka melakukan kekerasan untuk membungkam kritik yang pada akhirnya membuahkan kebencian, dan menumbangkan penguasa otoriter tersebut.
Dua, pertumbuhan ekonomi memang menjadi tujuan banyak negara. Namun, konsep ini seringkali dipelintir menjadi pertumbuhan ekonomi yang berpijak pada utang. Selama masih batas wajar dan dapat dikelola, utang memang diperlukan di dalam pembangunan. Namun, ketika jumlahnya tak masuk akal, dan penggunaannya tak dikelola dengan baik, maka ia akan menjadi beban negara, tidak hanya di masa kini, tapi juga di masa depan.
Bukan rahasia lagi, jika Orde Baru banyak berutang. Beberapa analis bahkan menyatakan, sebagian besar hutang tersebut menjadi obyek korupsi. Pemerataan pembangunan pun berubah menjadi pemerataan korupsi. Ini semua lalu menciptakan pertumbuhan ekonomi semu yang justru menghambat pembangunan ekonomi negara secara menyeluruh.
Tiga, sebuah bangsa tidak boleh melupakan sejarahnya. Dari sejarah, kita bisa belajar soal nilai-nilai berharga di dalam kehidupan. Dari sejarah, kita bisa belajar untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Kita tidak boleh lupa tentang bagaimana Orde Baru menciptakan pertumbuhan ekonomi semu dan menyebarkan teror serta penindasan selama puluhan tahun di seluruh penjuru Indonesia.
Partai-partai yang berkembang di era reformasi sebenarnya juga bermasalah. Korupsi amat luas, yang mencengkram birokrasi pemerintahan sampai perwakilan rakyat, dan juga pembuatan berbagai kebijakan politik yang bermasalah, juga adalah buah dari tindakan mereka. Sepak terjang mereka pun harus diamati secara kritis.
Jangan melupakan sepak terjang partai-partai korup dari masa lalu. Jangan pula melupakan sepak terjang partai-partai intoleran garis keras yang ingin menghancurkan semangat keberagaman dan Pancasila di Indonesia. Jangan beri kesempatan pada mereka untuk memerintah, atau memegang kekuasaan di ruang publik. Biarlah mereka lenyap tertelan waktu, karena tak lagi sesuai dengan perkembangan jaman.
Lagi pula, ada satu partai baru yang terlihat menjanjikan. Program-program mereka jelas dan cocok untuk perkembangan masyarakat demokratis majemuk seperti Indonesia di abad 21. Isinya juga anak-anak muda, dan relatif muda, yang bersih dari jaring-jaring korupsi, kolusi dan nepotisme yang begitu akut di partai-partai lainnya. Mengapa mereka tidak diberi kesempatan?
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews