Politik Dua Kaki

Kamis, 22 Februari 2018 | 09:11 WIB
0
220
Politik Dua Kaki

Silakan kecewa bila kita berharap bahwa pemerintah serius memberantas radikalisme dari akarnya. Apa itu akarnya? Sebenarnya akarnya bukan terletak pada pelakunya, apalagi korbannya, namun terutama adalah sponsor atau penyandang dananya.

Apakah mereka "funding"-nya termasuk organisasi radikal atau fundamentalis. Inilah yang jadi masalah!

Mereka adalah orang-orang yang dalam piramida kemanusiaan, justru adalah orang-orang yang berada di puncak paling tinggi. Mereka yang disebut sebagai konglomerat, kelompok orang terkaya, atau dalam bahasa hari ini mereka-mereka yang ingin menjadi "King Maker".

Mereka ini di atas kertas adalah para pembayar pajak yang tertib bahkan terbesar, mereka ini filantropis yang suka "nyah-nyoh" memberi bantuan sosial, bahkan dalam beberapa hal sangat dekat dengan seniman/budayawan yang juga selalu berstandar ganda itu. Bersuara sangat kritis dan idealis, tetapi bergaya hidup pragmatis dan hedonis. Artinya sindikasi demikian terjalin sedemikian rapi dan kuat di negeri ini, sehingga ketika kita mengetahui realitas sesungguhnya kita akan semakin meyakini bahwa "dunia memang panggung sandiwara".

Apa yang terjadi di dalam negeri kita, sebenarnya tak lebih proyeksi dari apa yang terjadi di tingkat global. Kegilaan-kegilaan yang sungguh tak terperikan. Dari waktu ke waktu, bahkan rakyat Amerika sendiri mulai terbuka matanya, bahwa otak sesungguhnya yang berada di balik pemboman Menara Kembar WTC, yang terkenal sebagai Tragedi 11 September adalah kalangan CIA sendiri. Yang merencanakan, melatih dan mendanai kelompok-kelompok teroris dari Timur Tengah.

Setelah bumdyar terjadi, maka terbukalah kemungkinan mereka melakukan penyerangan terhadap negara-negara Arab yang menjadi seterunya. Bahkan hal tersebut terus berlanjut dengan pembentukan ISIS, yang dilatih, didanai, dan dipersenjatai oleh mereka. Dalam salah satu diskusi beberapa hari yang lalu di Kementrian Sekretariat Presiden (KSP) diputar sebuah video bagaimana AS mengirimkan ratusan truck-kecil sekelas Toyota Hi-Lux baru yang masih kinyis-kinyis, dan sudah dipersenjatai dengan senapan mesin M-18 yang bahkan hanya digunakan oleh pasukan khusus AS.

[irp posts="10770" name="Benar, ISIS Itu Memang Ciptaan Amerika Serikat dan Israel"]

Eloknya pengiriman senjata ini dikawal oleh Helikopter Blackhawk, yang nyata-nyata hanya dimiliki oleh USAF. Sial, ketika mereka mulai kalah oleh Suriah dan Rusia, tiba-tiba AS ikut-ikutan nimbrung menghancurkan mereka. Inilah yang dulu disebut politik standar ganda (double standard), hari-hari ini lebih populer sebagai politik dua kaki.

Di Indonesia, hal demikian juga sudah lama digunakan bahkan di hari-hari ini semakin nyata bentuk dan wataknya. Dimulai ketika Pemerintah dulu semasa Panglima ABRI-nya di bawah Wiranto membentuk Pamswakarsa (Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa), saat terjadi krisis pada masa awal Orde Reformasi di tahun 1998. Organisasi tanpa bentuk ini digunakan terutama di samping untuk menghindari preseden pelanggaran HAM, juga terutama membenturkan rakyat yang satu dengan rakyat yang lain.

Mereka inilah yang menjadi cikal bakal FPI, yang hari-hari ini pemimpinnya sedang kabur justru karena kasus asusila, yang sama sekali tidak berhubungan dengan radikalisasi.

Bila dahulu radikalisasi ini dilawan dengan dukungan dana negara, kemudian mereka ini terus dipelihara bahkan dibesarkan oleh banyak kepentingan politik. Dan mereka, terutama digunakan untuk mencapai tujuan politik tertentu, misalnya seperti dalam Pilkada DKI 2017 lalu. Namun, terutama juga untuk mengamankan banyak kepentingan bisnis yang terutama dibesarkan oleh apa yang disebut kleptokrasi yaitu sindikasi berbagai kepentingan bisnis yang pada intinya memperoleh keuntungan terbesarnya dari mencuri hak milik negara.

Hal ini menjelaskan, kenapa FPI tak pernah dibubarkan. Lah wong pendirinya saja adalah Menkopolhukam. Yang saat ini, pelindung dan pengguna jasa terbesarnya adalah kelompok partai keluarga Presiden yang lebay itu, yang sebeananya merupakan representasi keluarga mantan Presiden yang berkuasa selama 32 tahun. Yang dihari-hari ini dari 14 partai yang lolos ikut Pemilu, setengah-nya tak lebih dari perpanjangan tangan mereka.

[irp posts="10700" name="Radikalisme Sudah di Meja Makan Kita"]

Di titik inilah, sebenarnya harus dipahami menjadi bagian terberat dari beban Jokowi, yang dalam periode 5 tahun pertamanya kenapa ia lebih memilih memfokuskan diri pada pembangunan infrastruktur, dibanding misalnya memberangus radikalisme yang anti Pancasila dan NKRI. Dia tahu betul siapa-siapa mereka yang ada di belakangnya. Walau di hari-hari ini juga mengalami ujian tak kalah berat, ia sangat rapuh diserang oleh isu radikalisme, yang sebenarnya modusnya tak pernah berubah dan gak ada yang baru sama sekali.

Jangan salah, di lingkaran terdekatnya terdapat orang-orang yang terindikasi di balik isu-isu radikalisasi ini. Mulai dari Wapres, Menkopolhukam, dan sebagainya. Kasus resuffle Kabinet yang melibatkan Anis Baswedan dan Sudirman Said menunjukkan betapa mudahnya mereka berubah muka dan posisi, menjadi supporter, atau minimal pengguna jasa kelompok radikal tersebut.

Dalam kondiisi demikian pun, Jokowi tetap berani mulai menata ulang dengan sangat hati-hati kekayaan negara yang dianeksasi kelompok-kelompok mereka. Kasus Petral, Freeport, Tataniaga Beras & Daging, Sindikat Pelindo, Jalan Tol, dst dst. Di sini, Jokowi tampak sekali tertatih, sendirian bahkan berkali-kalo dijegal oleh partai induknya sendiri.

Sebenarnya kalau mau tunjuk hidung, musuh terberat dalam selimut Jokowi itu ya anggota parlemen dan keluarga pemilik partai berlambang banteng ini. Situasi ini makin diperburuk, dengan ia masih diancam-ancam oleh para pendukung begonya yang selalu gagal membaca situasi. Huh!

Ingin dengar kata pemerintah, yang kemarin diwakili oleh Jendral Moeldoko, tentang bagaimana cara mereka memberantas radikalisasi. Pemerintah lebih memilih menggunakan prosperity approach (pendekatan kesejahteraan), dibanding security approach (pendekatan keamanan) yang dianggap sudah tidak zamannya. Alih-alih menempuh jalan tengah bersikap menegakkan hukum dengan legal approach, pemerintah lebih memilih memberikan bantuan kepada pesantren-pesantren di seluruh penjuru tanah air.

Apakah pesantren adalah sarang radikalisasi? Tentu bukan!

Di sinilah letak absurdnya, di satu sisi seolah memberi perhatian pada kelompok Islam, di sisi lain pemerintah sedang mencari sekutu, bala bantuan pada kelompok Nahdlatul Ulama (NU) yang realitasnya adalah benteng tertangguh menghadapi radikalisasi.

Mangkanya jangan salah mengerti terhadap isu-isu intoleransi yang sering dinyinyirkan sebagai sikap abai pemerintah. Preseden intoleransi harus juga dipahami sebagai bagian dari proyek yang akan terus menerus dilakukan oleh berbagai kelompok kepentingan yang sebenarnya tak lebih perpanjangan tangan sindikasi konglomerasi dan kleptokrasi untuk mengamankan bisnisnya!

***

Editor: Pepih Nugraha