Rasid, Petani Desa di Probolinggo Si Pembawa Cahaya

Rabu, 7 Februari 2018 | 08:18 WIB
0
480
Rasid, Petani Desa di Probolinggo Si Pembawa Cahaya

Ini cerita yang menghangatkan hati. Bukan kisah fiksi, tapi karya nyata anak bangsa kita sendiri. Kenyataan bahwa di era serba canggih di mana cahaya lampu, keberadaan smartphone, atau nyalanya televisi kita anggap sebagai sesuatu yang biasa saja, di sebuah desa yang berjarak hanya 140 km dari Surabaya tidak demikian adanya. Listrik masih jadi impian bagi warga.

 

Memang tak seharusnya kita melulu mengandalkan pemerintah untuk membuat perbaikan bagi diri sendiri dan lingkungan. Pak Rasid, seorang petani dari Desa Andungbiru, Probolinggo, ini membuktikannya. Kerja Pak Rasid yang seperti akar, bekerja dalam senyap tanpa berharap mendapat tepuk tangan orang, telah menarik perhatian media Channelnewsasia untuk menuliskan perjuangannya.

[caption id="attachment_9823" align="alignleft" width="535"] Listrik untuk penerangan masjid (Foto: channelnewsasia.com)[/caption]

Potensi air yang begitu melimpah di desanya, ia manfaatkan untuk jadi sarana pembangkit tenaga listrik yang berhasil menerangi bukan hanya desanya, tapi juga 5 desa di sekitarnya.

Bayangkan ratusan anak yang bisa belajar lebih giat hingga malam hari, dan berbagai kegiatan masyarakat yang tak lagi terkendala karena ketiadaan listrik.

Masjid setempat pun kini bisa mengumandangkan adzan lewat pelantang (loud speaker) setiap masuk waktu salat.

Pak Rasid yang tak pernah kuliah, tak ada referensi buku atau jurnal ilmiah, dan tak punya akses Internet, bisa mewujudkan mimpinya membawa cahaya masuk desa. Inspirasinya? Kincir air peninggalan zaman Belanda!

Dari sana ia bekerja keras siang dan malam, memanfaatkan kayu untuk membangun kincir, dengan bantuan saudara dan warga desa, hingga listrikpun berhasil menerangi seantero desanya dan desa-desa tetangga dua tahun kemudian, tahun 1994.

Meski listrik sudah menyala bertahun-tahun atas hasil swadaya, Pak Rasid dan tim kecilnya tetap siaga bekerja bila ada masalah dengan pembangkit listrik desa. Ia bahkan pernah nyaris kehilangan nyawa akibat kesetrum listrik ribuan kilowatt dari trafonya. Sungguh dedikasi yang mengagumkan!

Sebagai penyedia tenaga listrik, berapa biaya yang dia kenakan pada warga? Hanya Rp7000 saja perbulan untuk tiap keluarga. Untuk fasilitas umum seperti masjid dan sekolah, tidak dikenakan biaya alias gratis.

Warga yang merasa berat membayar dengan uang, bisa membayar dengan pisang, kopi, hasil panen lain, ayam, bahkan daging ternak. Beberapa malah ia gratiskan sama sekali bila memang tak ada kemampuan untuk membayar dalam bentuk apapun. Alasannya? Ini bentuk empati Pak Rasid karena ia pernah mengalami hidup dalam kemiskinan yang sangat. Subhanallah!

Kini ia bermimpi untuk membangun laboratorium di sekolah. Juga menara listrik agar warga desanya dapat memperoleh akses Internet.

Di tengah carut-marutnya kinerja pemerintah yang sibuk dengan pencitraan dan janji manis, ini bukti bahwa masyarakat juga bisa bergerak sendiri. Hal ini seharusnya jadi semacam "wake-up call" buat kita semua.

Berbuat kebaikan sekecil apapun asal bisa membawa manfaat kebaikan bagi diri sendiri dan sekitarnya. Seperti waqaf diri Pak Rasid bagi warga desanya, yang kelak akan jadi amal jariyah yang berkekalan.

Karena "sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain" (HR. Ahmad).

***

Editor: Pepih Nugraha