Balada Topeng Monyet

Senin, 5 Februari 2018 | 07:38 WIB
0
522
Balada Topeng Monyet

Bagi saya tak ada profesi "seni" yang paling saya benci, tapi sekaligus kadang membuat hati saya tersayat-sayat, kecuali topeng monyet. Kenapa saya harus menyebut seni, karena memang dibutuhkan ketrampilan khusus sejak mulai dari berburu monyet, memilihnya, melatihnya, hingga ia siap tampil di muka publik.

Dan di satu kala, ketika saya masih suka "lapangan", saya mengikuti semua proses itu. Mulai dari "golek munyuk nang alas", mencari monyet di hutan, yang saya pikir sangat tidak berperi-kebinatangan. Bagaimana monyet-monyet kecil yang kadang belum bisa disapih induknya dijaring pakai jala dan ditangkapi. Biasanya monyet muda lebih disukai, karena di samping ia lebih mudah "diakrabkan" (baca: dijinakkan), juga lebih mudah dilatih.

Tapi sedemikian pula, saking mudanya, prosentase kematian pasca ditangkap juga tinggi. Biasanya 10 hari sejak ditangkap, sangat menentukan keberlanjutan hidupnya. Karena itu, saya melihat makin lama usia monyet yang tampil di publik ukurannya juga semakin kecil. Dalam beberapa foto yang saya peroleh, misalnya karya Charles Breijer pada era awal kemerdekaan (sekira 1946-1948), ukuran monyet yang layak tampil, nyaris sebesar anak-anak kecil yang menontonya.

Oh ya, menurut sejarahnya topeng monyet ini mulai muncul di Indonesia, sekira tahun 1890-an saat politik etis mulai dijalankan Pemerintah Hindia Belanda. Sependek ingatan saya, ia hanya ada di Pulau Jawa, entah saat ini. Saat sirkus mulai masuk, saat itu pula banyak dibangun soos, social club, atau tempat-tempat pertunjukan yang umumnya hanya bisa diakses para ndoro meneer. Lalu para "ndoro-ndoro lokal" yang sempat ikut menontonnya, mulai menyuruh para abdi dalem-nya menirunya. Artinya proses evolusi topeng monyet ini juga sama dengan proses berkesenian rakyat lainnya.

Dulu wayang orang hanya bisa dinikmati di lingkungan kraton, lalu masyarakat karena dilarang menonontonnya lalu bikin ketoprak. Dari pertunjukan di pendopo kabupaten lalu bergerak menjadi bisnis kelilingan. Di masa lalu pula, monyet tidak menjadi "aktor" yang main "one man show" (eh lebih tepat one monkey show), tetapi juga bersama anjing atau ular atau burung.

Karena itu dalam pertunjukannya si pawang (untuk menyebut si manusia pencari makan itu), tidak sendirian. Minimal mereka berdua atau bertiga. Karenanya kendang atau tepatnya tambur yang dibawanya cukup besar. Sekarang tambur-nya pun semakin kecil, bahkan si pawang tidak lagi berjalan kaki tapi naik sepeda.

Biasanya profesi si penangkap (sadisnya suka disebut pemetik, mirip maling motor) dan pelatih monyet itu berbeda. Padahal mereka dulunya satu, karena itu hubungan emosional keduanya juga sangat akrab dan lebih berperi-kebinatangan. Saat ini, tidaklah demikian!

Pemetik hanya sampai menangkap, dari puluhan yang ia tangkap, lalu dipilih oleh si pelatih. Tentu saja, tidak semua terpilih, hanya 3-5 ekor saja. Selebihnya dijual di pinggir jalan atau di pasar burung. Di sepanjang jalan di pinggir hutan Ngawi sampai Saradan (Jawa Timur), mudah dijumpai para penjual monyet anakan ini. Kalau tidak laku juga, ya disate!

Si pelatih, biasanya memilih monyet, tidak sekedar dari tampilan fisiknya, tetapi terutama dengan melihat sorot matanya. Pelatih yang trampil, akan mudah membedakan mana monyet yang bisa di-training, mana yang bisa dipekerjakan. Apa yang disebut "monyet yang bisa dimanusiakan" dilihat dari sorot matanya. Dan setelah 3-5 bulan dia dilatih, biasanya ia sudah siap ditampilkan di depan publik.

Terdapat dua sistem, yang ditetapkan para pelatih ini yang memiliki banyak koleksi. Bisa beli putus, bisa juga sewa. Bahkan saking jalan "otak bisnis"-nya mereka juga memberi garansi. Artinya, kalau sampai seminggu ia mogok main atau bahkan mati, ia bisa diganti yang lain. Jadi ini semacam perdagangan budak di masa lalu!

Melihat sistem perekrutan, training, hingga bagaimana ia diperlakukan oleh para "mandor"-nya, dari rasa senang mulailah saya menjadi pembenci topeng monyet. Jangan harap ada sisi manusiawi lagi dari kalimat legendaris "Sarimin Pergi Ke Pasar". Jangan lagi bicara disini tentang peri kebinatangan. Babar blas tak ada!

Oh ya, titip pesan kalau ada topeng monyet yang dipertunjukkan dengan naik motor-motoran di perempatan jalan, lalu digeser-geserkankan oleh pawangnya itu: Ini bentuk topeng monyet paling jahat dan menyiksa. Tolong dimaki-maki dan dihentikan. Biasanya itu monyet KW2, yang tidak bisa diajari pertunjukan ala Sarimin. Umur monyet yang kelas ini lebih pendek lagi, karena rantai yang melilit lehernya itu betul-betul mencekik mereka saat di-dlosor-dlosor-kan di jalanan aspal panas.

Cara berpikirnya coba sekali-kali dibalik, justru dengan cara itulah kita menolong para pawangnya. Bagian yang tidak banyak diketahui publik: apakah dengan jadi penjaja topeng monyet, hidup mereka bahagia karena berhasil jadi entertainer?

Suatu saat saya akan bercerita, bagaimana nelangsa dan menderitanya ketika mereka tidak lagi menjalankan profesi jahatnya itu.

Hidup yang dihantui para monyet yang telah "disiksa dan dibunuhnya".

***

Editor: Pepih Nugraha