Negara dan Agama

Selasa, 23 Januari 2018 | 20:04 WIB
0
198
Negara dan Agama

Negara sebagai organisasi kekuasaan pastinya mempunyai hukum. Hukum yang berlaku dalam negara yaitu hukum kepemeritahan atau hukum positif, tapi dalam sebuah masyarakat yang berbudaya dan beragama hukum terbagi tiga bagian; pertama hukum adat, kedua hukum agama, ketiga hukum positif.

Mayoritas masyarakat Indonesia adalah masyarakat berbudaya dan beragama seharusnya bagaimana negara bisa melindungi ketiga hukum itu sehingga tidak terjadi disintegritas bangsa.

Masuk ke dalam ranah yang sensitif dan selalu seksi untuk dibicarakan meskipun itu hal yang sering didialogkan namun susah diaplikasikan, yaitu simbiotik Negara dan Agama di Indonesia yang belum selesai. Agama adalah sebuah pedoman setiap manusia dalam menjalani hidupnya, isu yang penulis ambil adalah isu agama Islam di Indonesia.

Islam sebagai agama mayoritas masih dalam perdebatan yang intensif dalam memahami Din dan Daulah. Karena memang Islam pada dasarnya mengatur semua aspek kehidupan. Maka tak heran di Indonesia sendiri banyak dari kalangan Islam yang mempunyai gerakan-gerakan sparatis dan berbahaya bagi kedaulatan NKRI.

Ada beberapa hal yang menarik, Islam sebagai agama dinamis bisa dipandang dalam berbagai aspek sosial, politik dan budaya, Islam yang terlalu luas tapi disempitkan dalam satu aspek saja sehingga menjadi Islam yang bersifat ekslusif dan tak moderat, perdebatan yang berlangsung sampai saat ini dalam tubuh Islam sendiri belum selesai.

[irp posts="8580" name="Mengapa 6 Golongan Ini Selalu Menuding Jokowi Anti Islam?"]

Makin maraknya pemahaman teokrasi dalam masyarakat muslim Indonesia menjadikan NKRI dalam ancaman, berbagai elemen masyarakat muslim yang tak sepaham dengan tujuan bangsa dan ingin mengobrak abrik negara dan menggantikannya dengan Islamic State, pandangan pesimis melihat Islam masa depan inilah yang kadang-kadang orang menganggap demokrasi hanya angan-angan belaka dan uforia saja. Beginilah orang-orang yang pesimis terhadap demokrasi.

Proses modernisasi merupakan proses alamiah sejalan dengan naluri manusia yang selalu berkembang dan berubah yang umumnya menuju ke arah kemajuan (Masykuri, 2013:247). Modernisasi bukan lah hal yang patut kita jauhi dan juga bukan hal yang patut kita takuti, saya melihat modernisasi pada saat ini meskipun katakanlah kondisi bangsa kita saat ini semakin terpuruk dikarenakan kita adalah hasil dari pendidikan yang tidak berbudaya dan tidak agamis, akhlak dan etika bangsa kita semakin hilang, namun kita tak pernah sadar dengan semua itu.

 

Pendidikan Indonesia yang semrawut dari pasca orde baru yang mana pendidikan di Indonesia menciptakan kapitalisme-kapitalisme baru dan kapitalisme sendiri itu muncul dari masyarakat pribumi.

 

Menurut Freire dalam (Wahyu, 2001:262), tujuan utama dari pendidikan adalah membuka mata peserta didik guna menyadari realitas ketertindasannya untuk kemudian bertindak melakukan transformasi sosial. Mengacu kepada pemikiran filsafat pendidikan Paulo Fiere, saya berpendapat bahwa pendidikan Indonesia inilah yang sudah rusak pada masa orde baru sampai sekarang karena pendidikan Indonesia yang terlalu menitik beratkan terhadap Pancasila dan ekonomi pembangunan.

Bagi saya pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menitik beratkan terhadap character building (pembangunan karakter). Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup kemanusiaan.

[irp posts="5597" name="Dilema Negara Menghadapi Khilafah"]

Dampak atau akibat dari pendidikan yang tidak bisa menjaga budaya dan identitas bangsa sehingga mudah tergerus arus modernisasi, globalisasi sehingga terjadi eksploitasi di mana-mana, bahkan posisi agama sebagai banteng etika manusia pun tak mampu melawan arus modernisasi yang semakin marak sehingga yang terjadi adalah disintegrasi antara agama dan negara dikarenakan tidak ada pembenahan pendidikan yang benar di Indonesia, pendidikan dijadikan pusat kapitalisme, dari pendidikan muncul kapitalis-kapitalis pribumi asli yang menindas saudaranya sendiri ini lah hasil dari modernisasi.

Untuk mengawal modernisasi dan globalisasi bahkan kapitalisme global masyarakat Indonesia terutama kalangan intelektual harus mempunyai paradigma menggiring arus bukan paradigma terbawa arus. Paradigma menggiring arus memposisikan dirinya pada pergerakan civil society untuk menciptakan interaksi yang lebih setara (simetris) antara negara dan masyarakat.

Dalam konsepsi yang demikian, maka demokrasi dan penegakkan Hak Asasi Manusia menjadi syarat empiris yang mesti dihadirkan terlebih dahulu. Singkatnya, daulat rakyat mesti melampaui daulat negara. Gerakan advokasi sosial dan Free market Idea’s (FMI) menjadi konsekuensi logis yang mesti dilakukan untuk mewujudkan mimpi civil society itu.

Filsafat pendidikan Fiere, Ki Hajar Dewantara, dan paradigma menggiring arus adalah hal yang menjadi jawaban pada masa kini, masa yang telah bobrok, akal manusia hilang, akhlak entah kemana, kemanusiaan tak lagi jadi tujuan, penindasan yang jadi bantalan. Sekiranya kondisi agama dan negara yang terjadi saat ini tak lebih dari itu.

Penulis berargumen bahwa orang-orang yang membentuk gerakan-gerang sparatis Islam adalah orang yang pemikirannya konservatif, tidak optimis terhadap modernisasi zaman dan tidak mempunyai paradigma menggiring arus.

Pemikiran yang konservatif inilah yang ingin mengembalikan Islam ke zaman dawlah dan khilafah pada masa dinasti-dinasti Islam berjaya. Sebuah pemahaman literal yang tak mau mengikuti perkembangan zaman sedangkan Islam sendiri Shalihiyyatun Fii Kulli Zamaan.

Sumber tulisan: rikaldikri.com

***