Tekno-Demokrasi, Mungkinkah?

Rabu, 17 Januari 2018 | 06:31 WIB
0
156
Tekno-Demokrasi, Mungkinkah?

Tak sampai setahun Ahok meninggalkan kursi kepemimpinan ibu kota, semua seolah kembali seperti semula. Saya mengurus surat di kelurahan. Suasana begitu kacau. Puluhan orang berdiri, tanpa ada pelayanan dan pengaturan yang jelas. Kursi-kursi pegawai kelurahan tampak kosong, dan semua tampak bingung dengan pelayanan yang tak efektif dan efisien.

Semua ini dibarengi dengan tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme yang amat dalam mencengkram birokrasi pemerintahan negeri ini. Mulai dari tender pengadaan barang, pembangunan serta perawatan infrastruktur, sampai dengan proyek KTP-el, semua dipenuhi dengan unsur kecurangan yang merugikan rakyat.

Tak dapat disangkal, bahwa korupsi merupakan tantangan terbesar di Indonesia sekarang ini. Beragam program pembangunan menjadi kotor dan terancam gagal, sehingga rakyat terjebak di lingkaran kemiskinan yang akan melahirkan beragam masalah lainnya.

Beragam upaya dilakukan. Namun, hasilnya yang dicapai tetap tak memuaskan. Dunia hukum masih cenderung tak dapat diandalkan, dan justru mengundang ketidakpercayaan masyarakat. Pendidikan anti korupsi dilahap habis oleh formalisme agama yang mengajarkan nilai-nilai agama dengan cara yang salah dan merusak. Kita memerlukan jalan keluar yang lain

Filsafat, sains dan teknologi

Kita hidup di jaman perkembangan teknologi yang pesat. Semua ini dimungkinkan, karena kelahiran dan perkembangan filsafat serta ilmu pengetahuan modern. Hidup manusia dimudahkan dengan beragam penemuan dan pola berpikir yang berkembang dari filsafat dan ilmu pengetahuan modern, yakni kemampuan berpikir logis, rasional, sistematis dan kritis tentang dunia. Kita harus memanfaatkan semua ini untuk perkembangan demokrasi, sekaligus memerangi korupsi di Indonesia.

Perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan modern dan teknologi berjalan berbarengan dengan perkembangan kesadaran demokrasi di Eropa Barat. Intinya adalah bahwa semua tata kelola yang terkait dengan hidup bersama dibuat oleh, dari dan untuk sepenuhnya kepentingan rakyat, dan bukan sekumpulan kelompok elit semata di masyarakat. Kita tentu bisa memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan mutu demokrasi di Indonesia. Ini juga disebut sebagai tekno-demokrasi. Ada enam hal yang kiranya perlu diperhatikan.

Tekno-Demokrasi

Pertama, di dalam tekno-demokrasi, birokrasi dan kepemimpinan politik diganti dengan mesin dan komputer. Semua ini dirancang untuk memberikan pelayanan yang paling efisien dan efektif kepada rakyat. Semua kemungkinan korupsi, kolusi dan nepotisme ditumpas habis. Orang tak perlu lagi antri berjam-jam di kelurahan atau di kecamatan hanya untuk mengurus selembar surat. Orang juga tak akan lagi mendengar soal kebodohan dan mental korup politikus di media.

Dua, beragam kebutuhan dasar rakyat, seperti pangan, sandang dan rumah, diurus sepenuhnya oleh mesin dan komputer. Pertanian, distribusi pangan, sandang dan pembangunan perumahan dibuat sepenuhnya otomatis.

Peran manusia dibuat sekecil mungkin, hanya jika sungguh diperlukan. Hal ini akan membawa perubahan besar di dalam hidup sehari-hari.

Tiga, uang pun tidak lagi digunakan. Semua orang mendapatkan apa yang diperlukannya untuk hidup layak sebagai manusia. Mereka pun bisa memilih pekerjaan yang sungguh terhubung dengan minat dan bakat yang mereka punya. Kerja menjadi bagian dari pengembangan pribadi, dan bukan lagi menjadi budak dari sistem ekonomi kapitalis yang merusak, seperti sekarang ini.

Empat, peran manusia tentu masih diperlukan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan dan hukum. Ketiga bidang ini membutuhkan pertimbangan manusiawi yang tidak bisa dilakukan oleh mesin. Tentu saja, mesin dan komputer akan tetap mendampingi. Namun, keputusan tertinggi di dalam ketiga bidang ini tetap memerlukan peran manusia yang memiliki nalar kritis untuk mempertimbangkan berbagai keadaan dengan tata nilai yang ada.

Lima, yang amat perlu diperhatikan adalah mutu perangkat lunak maupun keras yang menopang beragam sistem komputer dan mesin yang ada. Peran seluruh rakyat amat diperlukan disini. Di dalam masyarakat tekno-demokratis, rakyat harus memantau kinerja sistem komputer dan mesin yang ada, supaya tetap bersih, efektif dan efisien. Tugas ini tentu lebih mudah, daripada memantau jutaan pekerja birokrasi dan politisi busuk, seperti yang sekarang ini terjadi.

Enam, semua ini dimulai dengan membangun budaya berpikir krits, logis, sistematis dan rasional di dalam keluarga dan semua jenjang pendidikan yang ada. Ini semua dibarengi dengan pembangunan infrastruktur yang memadai untuk menjalankan fungsi-fungsi tekno-demokrasi. Indonesia tentu perlu bekerja sama dengan bangsa lain yang lebih maju dalam soal filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini pun perlu dilakukan terlebih dahulu di kota-kota kecil, kotamadya, propinsi, baru diterapkan secara nasional.

Beragam tantangan tentu ada. Namun, kita tak boleh menyerah. Penerapan pola tekno-demokrasi amat mungkin dilakukan di abad 21 ini, terutama karena perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang amat pesat. Hanya dengan begini, kita bisa menciptakan hidup bersama yang dikelola secara adil, efektif dan efisien. Bukankah ini yang kita semua inginkan?

***