Film Paling Jelek 2017

Minggu, 7 Januari 2018 | 19:17 WIB
0
478
Film Paling Jelek 2017

Kalau ditanya film apa yang paling bagus 2017, saya bisa bilang cukup banyak. Minimal meninggalkan kesan baik, baik untuk dikenang dan didiskusikan. Tapi kalau ditanya film paling jelek, saya akan lebih gampang menjawabnya. Saya nonton film ini, juga karena provokasi teman-teman (yang itu tidak sedikit) baik dari pergaulan dunia nyata maupun maya.

Dunia yang gila, di zaman begini bahkan orang saling memprovokasi untuk nonton film hanya untuk membuktian bahwa pendapatnya itu tidak salah (bukan berarti benar loh!) bahwa ada film yang harus ditonton hanya sekedar untuk diolok-olok. Bahkan kadang olok-olok itu hingga pilihan kata jelek atau buruk yang lebih tepat.

Bila mengacu terminologi Hollywood, pilhan kata buruk lebih tepat, sebab kita orang Jawa cenderung, kalau tidak suka pakai istilah super nyinyir: jelek saja belum.

[irp posts="1795" name="Mengakrabi Toleransi lewat Film-film Yang Menginspirasi"]

Baiklah, marilah kita petani atau dedah satu persatu "keburukannya". Film tersebut, diangkat dari buku atau novel yang selalu di covernya baik jilid 1 maupun 2, mendaku sebagai karya "novel mega best seller". Apa ukurannya? Tentu di luar jumlah cetak resmi, juga jumlah cetak bajakannya. Cacat awal dimulai "riya" dari sononya, memang bermodal "sombong".

Film sequel kedua ini, tak beda dengan jilid pertamanya. Yang saya pikir merupakan wujud dari mimpi bawah sadar atau ideologi hedon penulisnya, sebagai "lelaki sempurna" yang di luar dia pintar, gigih, juga digilai wanita. Dalam seri pertamanya, ketika harus memilih salah satu, "keadaan" memaksanya harus mendapat dua. Edyan keturuan!

Pada sequelnya, yang tiba-tiba dengan ajaib ia berpindah plot lokasi di Edinburg, Skotlandia. Ia selain sudah menjadi dosen, juga pengusaha sukses minimarket. Ia digambarkan sebagai laki-laki yang sukses secara intelektual, dan juga sukses sebagai pengusaha ritel. Saya gak tahu, apa itu mungkin di dunia nyata. Setahu saya, aturan ketenagakerjaan di Inggris Raya sana, sangat ketat mengatur bisnis ganda seperti ini (apalagi gak nyambung begini), bagi orang asing.

Ini kritik kedua. Selanjutnya, dalam plot diceritakan ia telah "kehilangan" istrinya, yang di tengah-tengah cerita justru menyamar bercadar, melamar dan kemudian diterima menjadi pembantu rumah tangganya. Dalam situasi inilah, ia bisa dekat lagi dengan suaminya. Jelas gagasan ini mencuri ide dari film Mr. Doubtfire yang diperankan dengan luar biasa bagus oleh alm Robin William. Mudah diduga, akhir film ini akan seperti apa. Ini kritik ketiga.

Dalam plot cerita secara keseluruhan, si tokoh ini (sebut saja namanya Fachri, eh memang itu kali namanya) berkelindan dengan banyak wanita baik yang mengejar-ejar untuk dapat perhatiannya atau setengah mati membencinya. Sepanjang film kita dapat menyaksikan "manusia setengah dewa" dengan kebaikan-kebaikannya yang nyaris muskil dalam dunia nyata.

Diceritakan ia menolong Oma Catarina untuk membeli kembali rumahnya. Selain itu ia juga mengirim guru biola legendaris untuk mengajar Keira privat. Membiayai tesis sahabatnya Misbah, mempekerjakan dua orang asisten (satu sopir dan satu pembantu), mengizinkan Jason mengambil apapun yang dia mau di mini-market miliknya, dan menyewa aktor untuk membuat Keira insaf.

Keira ini adalah figur orang Yahudi yang sejak awal digambarkan sangat membencinya. Tapi di ujung cerita, ketika ia menyadari ketulusan Fachri: maka dari mulutnya muncul satu kalimat yang akan menjadi inti dari seluruh tujuan film ini yaitu: "Kawini aku, Fachri".

Persoalannya adalah plot cerita ini mencuri dongeng klasik Nabi Muhammad yang setiap hari rajin menyuapi seorang Yahudi buta, walau ia tak henti memaki-makinya. Lagipula, bagi kalangan feminis hal ini ianggap sangat merendahkan wanita. Saya tidak tahu itu benar atau salah, bila justru di balik bukankah ini wujud wanita yang berdaya. Wis embuh! Kritik yang entah nomor ke berapa.

Cara paling mudah memahami film ini, konon menurut Kyai Isni Wahyudi adalah ada segmen pasar para penonton baru. Mereka yang baru pertama kali datang ke bioskop, utamanya anak-anak ABG yang seselesai mereka ujian akhir semester apalagi di akhir tahun pengen punya pengalaman nonton rame-rame.

Di Jogja, bahkan disediakan slot khusus jam 4 sore dengan tiket hanya Rp10.000. Mereka ini tentu butuh mimpi-mimpi, baik anak laki-lakinya maupun perempuan. Apalagi poster film sungguh luar biasa, seorang pria dikelilingi oleh 4 wanita, sungguh pas sebagai ideologi keluarga masa depan.

Maaf saya tak tega menyebut judul film ini, saya hanya ingin sekali lagi mengatakan ini pendidikan visual dalam wujud film yang buruk, sejak dari gagasan, produksi, pemasaran, hingga penjualan.

Jika ada yang membanggakannya: sungguh perlu dikasihani!

***