Harusnya Pikiran sebagai Hak Asasi Seseorang Tak Bisa Dipidanakan

Senin, 11 Desember 2017 | 17:49 WIB
0
428
Harusnya Pikiran sebagai Hak Asasi Seseorang Tak Bisa Dipidanakan

Dari berbagai pengalaman mengajar ilmu menulis, jurnalistik, dan literasi media sosial di berbagai tempat, saya sudah biasa menerima pertanyaan yang aneh-aneh. Dari yang sulit dimengerti sampai yang nyeleneh. Saya biasa menghadapinya dengan "amunisi" referensi yang sudah saya siapkan dari rumah.

Tetapi, menerima pertanyaan seorang siswi kelas 10 SMA Plus Pembangunan Jaya, Pondok Aren, Bintaro, saya cukup terhenyak juga. Terhenyak, karena kids zaman now yang saya anggap berpengetahuan cetek karena jarang membaca buku itu punya daya nalar, bahkan imaji tak terduga, yang sangat tinggi, "beyond" sekadar opini.

Senin, 11 Desember 2017, saya berada di depan sekitar 150-an anak-anak kelas 10 itu. Sebelum saya menyampaikan materi "literasi media sosial", para guru atau ketua kelas mereka mengumpulkan gawai berupa ponsel dalam empat keranjang, sehingga tidak ada satu pun yang memegang gawai saat saya berbicara. Rupanya ini prosedur yang sudah biasa apalagi saya berada di depan aula sekolah itu sebagai pembicara tamu yang mereka undang.

Nah, saat sesi tanya-jawab setelah kurang lebih saya menyampaikan materi selama 60 menit tanpa henti, tibalah giliran siswa bertanya. Ada lima siswa yang bertanya, tetapi saya mencatat dalam ingatan hanya dua pertanyaan siswa saja, Andika dan Fira yang ingin saya ceritakan.

Sebelumnya, saya menyampaikan keharushati-hatian dalam bersosial media. Bukan bermaksud menak-nakuti, tetapi memang media sosial, dalam hal ini Internet, terdapat banyak ranjau yang tak terlihat, yang jika pelatuknya terinjak, maka ia siap meledak, mencederai dan bahkan bisa sampai membunuh si penginjak.

[caption id="attachment_5638" align="alignright" width="460"] Netiket (Ilustrasi: Pepih Nugraha)[/caption]

Saya menyampaikan satu dari 10 poin kewajiban pengguna Internet memahami sopan-santun berinternet, yaitu "Lurk before leap". Dalam satu slide, saya menggambarkan seekor katak yang sedang melayang terbang dan kalimat tadi saya sematkan di dalam gambar katak itu. Siswa karena terbiasa menggunakan bahasa Inggris, ada yang menebak dengan tepat makna harafiah arti kalimat itu, yakni "Ancang-ancang sebelum melompat".

Dalam paparan berikutnya saya jelaskan, jika orang lalai dengan Basic Netiquette  yang satu ini, yakni tidak cukup ancang-ancang saat melompat, maka nasibnya akan sama dengan Alexander Aan di Sumatera Barat sana.

Bagi pemerhati media sosial, nama ini tentu tidak asing lagi, khususnya beberapa tahun lalu saat fanspage "Atheis Minang" di Facebook sedemikian ramai diperbincangkan ratusan-ribu orang. Di sana berkumpul orang yang bertuhan dan tidak bertuhan (atau setidak-tidaknya simpatik dengan Atheis) saling berdiskusi, tetapi lebih tepatnya saling bertengkar dan menghujat sih.

Yang percaya Tuhan mempertahankan argumennya secara militan, demikian yang tidak percaya Tuhan bisa menyampaikan argumen tak kalah sengitnya. Di luar itu semua, ternyata simpatisan atau bahkan orang-orang Atheis itu hidup di Indonesia!

Nah, usai saya menjelaskan semua konsep Netiket itulah Fira bertanya. Mula-mula ia mempertanyakan mengapa Alexander Aan ditahan. "Bukankah dia mempertahankan argumennya? Dan, bukankah tidak mempercayai Tuhan itu hak seseorang? Kenapa hak itu tidak dihormati dan bahkan dipersoalkan?"

[irp posts="5380" name="Denny Siregar, TV One, Media Sosial dan Politik"]

Fira siswa berbadan mungil dan dengan ekor mata saya melihat, saat saya menyampaikan paparan dia tidak tekun-tekun amat. Tetapi sekali melempar tanya, benar-benar bikin terhenyak. Saya sudah terbiasa menerima pertanyaan seperti ini dan harus menjelaskan argumen saya sebagai seorang pemateri.

Pertama saya jelaskan bahwa ditangkap dan bahkan sampai dipenjarakannya Alexander Aan karena adanya pengaduan dari pihak lain yang menganggapnya menyebarkan ajaran "anti-Tuhan" atau dengan kata lain mengajak orang lain tidak mempercayai agama yang dianggap cuma omong kosong belaka. Jadi, polisi bergerak menangkapnya karena adanya aduan masyarakat, siapapun dia atau mereka.

Kedua, mengapa kemudian Alexander Aan sampai harus menghabiskan waktunya di tahanan selama beberapa tahun, karena hakim memvonis-nya bersalah. Jadi, hakim membenarkan aduan masyarakat tadi, bahwa Alexander Aan bersalah karena didakwa mengajak orang lain tidak mempercayai Tuhan atau dengan kata lain mengajak orang lain tidak beragama. Padahal, belum tentu demikian.

Ketiga, Konstitusi negara mewajibkan semua warga negara Indonesia tidak terkecuali, memeluk satu dari enam agama yang diakui Negara. Kata wajib artinya harus dilakukan dan Konstitusi kedudukannya lebih tinggi dari sekadar Undang-undang. Ketika Alexander Aan mengajak orang untuk tidak percaya Tuhan dan menganggap agama hanya bualan, maka jelas sudah melanggar Konstitusi. Bahwa dia dijerat sekian tahun penjara, itu karena Undang-undang yang mengenakan pasalnya harus demikian.

[caption id="attachment_5639" align="alignnone" width="1706"]

Saya saat menyampaikan materi (Foto: Zhaffran NM)[/caption]

Barulah dengan  tiga argumen yang saya sampaikan, Fira memahami jawaban saya.

Poin saya di sini bukan pada jawaban saya. Apalah itu, belum tentu benar juga kok. Poinnya ada pada keberanian dan kebebasan berpikir anak zaman sekarang macam Fira yang memperkarakan "keharusan manusia berpikir bebas sebagai hak asasinya". Dia bertanya mengapa Alexander Aan harus menerima hukuman di mana yang divonis hakim adalah pikirannya sebagai hak yang dimilikinya!

Saya tidak tahu dan tidak sempat bertanya buku apa yang dia baca atau siapa orang di baliknya yang memberi asupan gizi pemikiran yang demikian kritis, seolah-olah ia melawan arus berpikir anak-anak remaja seusianya yang cenderung menjurus agamis dan relijius, yang sedang ngetrend sekarang inilah.

Saya menaruh hormat pada Fira, demikian juga kepada Andika yang paham betul istilah "tahun politik" dan bagaimana publik harus mempercayai media arus utama sedangkan informasi dari media sosial tidak kalah cepat dan menariknya, juga bagaimana mengantisipasi keterbelahan warga di tahun politik 2019 saat menghadapi Pilpres sedangkan yang Pilpres 2014 pun belum rekat lagi.

Dua pertanyaan yang terlalu "tinggi" bagi anak-anak seusia Fira atau Andika yang barangkali masih 16 atau 17 tahun. Tetapi dari dua kasus ini, saya pribadi sebagai pemateri berpandangan, tidak perlulah menganggap remeh atau under estimate terhadap anak-anak alay atau kids zaman now itu.

Mereka punya nalar tinggi kok, serius!

***