Hindari Gesekan Peran dan Tugas TNI-Polri di Lapangan!

Rabu, 22 November 2017 | 08:07 WIB
0
340
Hindari Gesekan Peran dan Tugas TNI-Polri di Lapangan!

Tim gabungan TNI dan Polri akhirnya berhasil menyelamatkan warga yang disandera di Kampung Banti, Kimbeli, dan area longsoran Distrik Tembagapura oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pada Jumat, 17 November 2017 lalu. Sebanyak 344 sandera diselamatkan oleh tim gabungan dalam operasi penyelamatan tersebut.

Proses penyelamatan tersebut digambarkan sebagai sangat dramatis sebab KKB terus menembaki aparat dan warga meski dari jarak jauh. Operasi penyelamatan yang harusnya dilaksanakan Kamis, sehari sebelumnya, batal akibat KKB yang membaur dengan warga sehingga menyulitkan operasi.

"Kadang keselamatan diri diabaikan demi untuk menyelamatkan masyarakat," kata Kepala Penerangan Daerah Militer XVII/Cenderawasih Kolonel Inf Muhammad Aidi di Timika, Sabtu , 18 November 2017 seperti dikutip Tirto.id.

Tim penyelamat ini terdiri dari Kopassus 13 personel, 20 personel dari Batalyon 751/Rider, dengan tugas khusus merebut Kampung Kimbeli dari KKB. Sementara menaklukkan kampung Banti ditugaskan kepada Peleton Intai Tempur Kostrad bersama Batalyon Infanteri 754/Eme Neme Kangasi dengan personel masing-masing 10 orang.

[irp posts="1425" name="Komunikasi Politik Presiden Jokowi; dari Papua, FPI sampai Natuna"]

Disebutkan pula, saat penyergapan itu KKB lari terbirit-birit ke hutan, sehingga langsung dilakukan evakuasi terhadap warga sipil yang disandera.

Terlepas dari apakah operasi penyergapan tersebut benar-benar terjadi seperti yang dilaporkan banyak media, usaha TNI/Polri membebaskan sandera patut diapresiasi. Sebab, media daring yang sama melaporkan bahwa operasi tersebut "hanya rekayasa" demi menutup bisnis ilegal militer untuk melindungi kepentingan Freeport.

Laporan ini ditulis berdasarkan laporan dari Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Victor Yeimo, yang mengatakan pemberitaan soal pembebasan sandera ini hanya kebohongan belaka. Ia menyebut baku tembak yang terdengar hanyalah tembakan yang dibuat sendiri antaranggota TNI/Polri. "Sama seperti film-film action Amerika Serikat," sindirnya.

Benar atau tidaknya, hanya mereka yang ada di sanalah yang tau apa yang sesungguhnya terjadi. Media yang tidak berimbang dan independen memang membuat masalah makin buruk. Tetapi, meninggalkan perkara benar-salah, keberanian prajurit TNI/Polri memang patut diapresiasi.

Sehari setelah peristiwa itu atau  Sabtu 18 November 2017, sebanyak 57 personel dari 62 personel TNI yang terlibat pembebasan sandera di Papua diberikan kenaikan pangkat. Sedangkan 5 lainnya menolak.

Panglima TNI bersama sejumlah pejabat teras Mabes TNI secara khusus datang ke Tembagapura, Timika, dalam rangka menganugerahkan kenaikan pangkat luar biasa kepada 57 prajurit TNI yang terlibat langsung dalam tim penumpasan KKB-TPN OPM.

[irp posts="3778" name="Antara Kekayaan Bumi, Separatisme dan Kerawanan Pilkada Papua"]

Para prajurit TNI yang mendapat kenaikan pangkat luar biasa itu berasal dari kesatuan Batalyon Infanteri 751 Rider Jayapura, Komando Pasukan Khusus (Kopassus), dan Peleton Intai Tempur (Tontaipur) Kostrad.

Upacara penganugerahan kenaikan pangkat luar biasa kepada puluhan prajurit TNI itu berlangsung di Kampung Utikini Lama, Distrik Tembagapura, Minggu pagi, di mana harusnya dilaksanakan di Kimbeli atau Banti, namun perihal akses ke sana tidak memadai sebab KKB beberapa waktu lalu menghancurkan jalan menuju desa tersebut.

Jenderal TNI Gatot Nurmantyo menyebut tindakan tegas berupa operasi penyergapan itu harus segera dilakukan mengingat berbagai upaya pendekatan telah dilakukan oleh Kapolda Papua Irjen Polisi Boy Rafli Amar bersama para tokoh tapi tidak juga meluluhkan hati para anggota kelompok separatis bersenjata itu.

"Pak Kapolda sudah menggunakan berbagai macam cara untuk negosiasi, baik melalui tokoh gereja, tokoh masyarakat, Pemda dan semua upaya dilakukan," kata Gatot.

Ungkapan tersebut bermakna seolah mengirim pesan bahwa Polri tidak mampu menangani konflik yang terjadi sejak 1 November itu dan perlu turun tangan TNI untuk memastikan penyanderaan tersebut berakhir. Publik bisa saja menilai, ada tendensi seolah-olah TNI lebih superior di banding Polri. TNI turun tangan, selesailah masalah,  warga sipil yang menjadi sandera pun bisa diselamatkan.

Ini berkaca dari sejarah panjang dua institusi aparat negara TNI/Polri yang awalnya bersatu lalu kemudian dipisahkan dengan tugas masing-masing saat reformasi bergulir.

Bahwa TNI merasa lebih superior dari Polri, sebab Polri merupakan pisahan dari ABRI saat itu. TNI bertugas menjaga ketahanan negara, sementara Polri lebih kepada menjaga keamanan negara.

Di lapangan, kedua tugas ini bisa saling melengkapi tetapi juga menyimpan potensi saling tumpan tindih. Sebab terkadang masalah keamanan yang harusnya ditangani Polri, sering melebar hingga berpotensi mengganggu ketahanan dan mengancam negara. Jika kondisi ini terjadi, TNI bisa mengambil alih sebagai upaya pencegahan dini.

Karena situasi "tumpang tindih" atau saling beririsan ini, di lapangan kedua institusi ini seperti ingin menunjukkan diri siapa yang lebih kuat dan mumpuni mengurus keamanan sekaligus keselamatan negara.

Namun, apapun itu, sekali lagi kita harus mengapresiasi dan berterima kasih atas upaya dan usaha kedua institusi, baik TNI maupun Polri sehingga 344 warga sipil itu bisa kembali dari penyekapan.

***