Ternyata Ini Makna di Balik Harus Ada Izin Presiden-nya Setya Novanto Itu

Senin, 20 November 2017 | 08:44 WIB
0
479
Ternyata Ini Makna di Balik Harus Ada Izin Presiden-nya Setya Novanto Itu

Ketua DPR sekalugus Ketua Umum Partai Golkar Setya Novantu sudah resmi menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi dan sudah mengenakan rompi oranye pula. Namun jangan dilupakan semua cara Setya dan pengacaranya dalam upaya melawan senjata penegakan hukum yang digunakan lembaga antirasuah itu.

Seluruh rakyat Indonesia pasti setuju jika kasus korupsi yang diduga melibatkan Setya Novanto, Ketua DPR RI, segera diselesaikan dan dengan resmi menjadi tahanan KPK, harapan itu sebentar lagi akan segera diwujudkan. Apalagi dengan kehebohan 'sandiwara' yang sempat dimainkan oleh Setya dan pengacaranya, perasaan publik menjadi galau; antara harus sedih, muak, atau kesal dengan ini semua.

Yang jelas, untuk sementara ini, KPK sudah bertindak tegas dan tetap harus konsisten melakukan upaya pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya jika tidak ingin kehilangan kepercayaan dari publik.

Terlepas dari kegeraman dan kejenuhan akan drama ini yang selama ini dipanggungkan, juga terlepas dari 'kesaktian' Setya Novanto yang kini sudah setengah lumpuh, mari kita lihat apa yang hilang dari fokus banyak orang selama ini, yakni apa yang ada di balik layar yang tidak ditampilkan ke permukaan.

Jika dicermati, dalam kasus Setnov ini, Presiden dan Wakil Presiden seolah bertindak kontradiktif. Jokowi yang tidak banyak komentar dan JK yang seperti bersemangat agar kasus korupsi ini segera diselesaikan. Ada apa?

Setya Novanto yang kembali ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus korupsi KTP Elektronik, yang katanya merugikan negara hingga 2,3 Triliun rupiah pada 10 November 2017 lalu, berkali-kali mangkir dari panggilan penyidik KPK baik itu kapasitasnya sebagai saksi maupun sebagai tersangka.

[irp posts="4225" name="Jokowi Panik Bila Titiek Soeharto Gantikan Setya Novanto"]

Alasan yang mengemuka, Setnov baru akan datang jika KPK sudah mendapat izin dari Presiden RI. Hal tersebut bertumpu pada pasal soal hak imunitas anggota dewan yang terdapat dalam Undang-Udang MD3.

"Menyampaikan 5 poin yang pada pokoknya menyatakan Setya Novanto tidak dapat memenuhi panggilan KPK sebagai saksi karena menurut surat tersebut panggilan terhadap Setya Novanto harus dengan izin tertulis dari Presiden RI," kilah Febri seperti dikutip dari Detik.com, Senin 6 November 2017 lalu.

Dalam pasal 245 ayat 1 UU nomor 17 tahun 2014 yang dimaksud, berbunyi, "Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden." Jika dicermati, ada dua makna dalam kalimat 'minta izin kepada presiden dulu'. Bermakna denotatif dan konitatif.

Bermakna denotasi karena memang Setya dan kuasa hukumnya memaknai pasal mengenai hak imunitas pada Undang-undang MD3 itu bahwa wakil rakyat, MPR-DPR-DPD-DPRD, kebal hukum sehingga harus mendapat izin dari Presiden terlebih dahulu. Padahal kenyataannya ada pengecualiaan untuk tindak pidana khusus sebab ini merupakan kasus korupsi. Sudah jelas ini merupakan pamaknaan yang mengada-ada bagi banyak pakar hukum.

Lalu bagaimana tanggapan Jokowi sendiri?

Seperti dikutip dari laporan media yang sama, Presiden meminta agar Setya membaca kembali Undang-Undang. "Buka undang-undangnya semua. Buka undang-undangnya. Aturan mainnya seperti apa, di situlah diikuti," kata Presiden Joko Widodo seperti yang tertulis dalam siaran pers dari Biro Pers Istana, Rabu 15 November 2017.

Hanya itu. Jika dimaknai lagi, Presiden dalam hal ini tidak mengambil tindakan konkret dan tegas; menyatakan apakah perlu atau tidak izin tertulis darinya. Bukan hanya sekadar jawaban diplomatis seperti itu.

Sedangkan makna konotasi dari permintaan Setya tersebut adalah benar-benar meminta izin kepada presiden Jokowi. Setya baru akan mendatangi KPK untuk diperiksa jika sudah mendapat 'OK' dari Jokowi. Mengapa?

[irp posts="4282" name="Jokowi Sebenarnya Butuh Figur Seperti Setya Novanto, Mengapa?"]

Begini. Golkar di bawah kepemimpinan Setya Novanto berhasil mendapatkan suara Golkar untuk mendukung Jokowi maju di Pilpres 2019. Sejak bergabung dengan pihak pemerintah, sebagai Ketua DPR RI Setya dinilai 'memanjakan' pemerintahan Joko Widodo.

Seperti yang diucapkan Fahri Hamza kepada awak media saat di Kompleks Senayan Jumat, 17 Nopember 2017 lalu. "Terutama di bawah kepemimpinan Pak Nov (Setya Novanto), Pak Jokowi dibikin manja. Minta tax amnesty dikasih, minta ini dikasih, APBN dimudahkan, semua dimudahkan. Tapi di luar sana ribut Presidennya bilang gak mau ikut campur."

Setya Novanto sejatinya merupakan 'kekuatan' besar milik Jokowi dalam menjalankan pemerintahan saat ini serta mewujudkan keinginan besarnya untuk kembali menduduki kursi RI 1 periode kedua (2019-2024) mendatang.

Jadi wajar Setya meminta sebentuk 'imbalan jasa' kepada Jokowi agar menyelamatkan dia dalam kasus ini. Sebagai bentuk balas budi atas pertolongannya selama ini. Namun, Jokowi yang dielu-elukan publik atas tindakannya yang tidak ada toleransi dalam pemberantasan korupsi sebenarnya berada dalam keadaan yang dilema.

Anak jaman now bilang galau. Mau nyelamatin Setya ntar malah dimusuhin rakyat. Secara kita tahu kekuatan terbesar milik Jokowi ya dukungan rakyat. Mau tegas minta KPK segera mengusut dan menangkap Setya Novanto juga bukan opsi tepat bagi Jokowi. Bisa-bisa ambisinya untuk jadi presiden di 2019 gagal.

Dukungan rakyat tanpa kendaraan politik dari partai besar sama saja bohong. Dukungan dari Partai Golkar yang meraih suara terbanyak kedua saat Pemilu 2014 silam sangat diperlukan presiden Jokowi. Hm.... Pilihan yang susah ya, Pak!

***