Megawati Dipolisikan, Upaya Ulangi Sukses Pilkada DKI di Level Nasional

Jumat, 10 November 2017 | 18:56 WIB
0
232
Megawati Dipolisikan, Upaya Ulangi Sukses Pilkada DKI di Level Nasional

Kepolisian Daerah Jawa Timur, Rabu 8 November 2017 kemarin, kedatangan tamu dari Pondok Pesantren Al Ishlah Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Kedatangan Ulama tersebut untuk melaporkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri atas dugaan penodaan agama yang dilakukannya saat HUT ke-44 PDI Perjuangan pada bulan Januari 2017.

Laporan itu disampaikan Moh. Ali Salim yang konon mewakili seluruh umat Islam dan Ulama dari pulau Madura, yakni Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Kabupaten Sumenep.

Adapun perkara yang dilaporkan itu adalah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 156 KHUP yang berbunyi, “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Laporan tersebut ditandatangani oleh Kepala Siaga A SPKT Polda Jatim, Kompol Daniel Hutagalung dengan nomor pelaporan TBL/1447/XI/2017/UM/JATIM.

"Ya, saya melaporkan tadi siang pukul 14.00 WIB ke Polda Jatim. Saya mewakili ulama se-Madura," kata Moh. Ali sebagaimana diberitakan Kumparan.com, Rabu hari itu juga.

Menarik untuk digarisbawahi bahwa, setelah selesainya kasus penodaan agama yang terjadi kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kini muncul kembali kejadian yang hampir sama tetapi beda objek. Yang mengherankan, kejadian tersebut terasa tidak tepat lantaran sudah melewati beberapa bulan ke belakang. Seandainya saja pelaporan itu pada hari yang sama, mungkin masih bisa dipahami.

Mengapa para ulama baru melaporkan peristiwa yang terjadi 10 atau 11 bulan lalu dan baru sekarang ini digulirkan ke permukaan? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab para ulama Madura itu sendiri.

Apakah pelaporan itu ada kaitannya dengan Pilkada Jatim 2018 nanti di mana PDI Perjuangan yang tidak punya jagoan telah secara resmi memberikan dukungan kepada pasangan Saifullah Yusuf dengan Abdullah Azwar Anas?

Hal tersebut menjadi masuk akal saat juru bicara pelapor, Ustad Saifudin mengatakan bahwa ‘mengapa’ kasus lama itu (Januari) baru dilaporkan hari ini (November), 11 bulan kemudian. "Kyai di Madura melaporkan sekarang, setelah mereka mendengar dan mendapatkan laporan dari umat Islam dari santrinya. Akhirnya membuka YouTube, walau agak terlambat," kata dia, seperti dilansir Detik.com pada hari yang sama.

Namun demikian, aparat kepolisian di Polda Jawa Timur harus ekstra hati-hati menerima laporan yang mengatasnamakan para kyai atau para ulama Madura ini. Selain berpotensi membenturkan Islam versus nasionalis di tingkat nasional, cara ini bisa dimanfaatkan pihak tertentu untuk mengulang sukses Pilkada DKI Jakarta dengan menggulirkan isu soal SARA, khususnya agama.

Politik untuk kemaslahatan

Sementara, politisi PDI Perjuangan Eva K. Sundari beranggapan apa yang disampaikan Ketua Umum PDI Perjuangan itu adalah sebuah ajakan untuk berpolitik secara santun, baik, dan berwawasan luas. Sebab, kata Eva, pidato itu tidak mengandung penodaan (hate speech) sama sekali, melainkan ingin merangkul komponen masyarakat dalam bingkai Pancasila.

"Saya berada di sana, dan tidak ada hate speech sama sekali, malah sebaliknya menyesali hate speech karena membuat masyarakat terkoyak. Jadi pidato harus dilihat secara keseluruhan, yaitu ajakan untuk inklusif, tidak eksklusif karena Pancasila itu ada kesetaraan. Jadi isi keseluruhan adalah ajakan untuk menjalankan doktrin persatuan dari Pancasila," kata Eva.

Eva menjelaskan, dalam sebuah pidato, masyarakat jangan hanya mendengar sepotong-sepotong yang kemudian menjadi lepas dari konteks sebenarnya. Pidato, kata dia, harus dipahami secara keseluruhan agar tak keluar dari makna sebenarnya dan kemudian menggelinding jadi bola panas dan dikonsumsi oleh publik.

"Aneh saja menyeru persatuan kok dituduh memecah belah. Mengajak berpolitik berkeadaban kok dituduh sektarian, apalagi Bu Mega sendiri muslim," tegas Eva.

Tak saja kali ini, beberapa waktu lalu anak Presiden RI pertama itu juga pernah dilaporkan oleh sebuah lembaga terkait pidato yang sama pada 23 Januari 2017 lalu.

PepNews.com menelusuri bagian pidato yang mana yang menjadi awal pelaporan tersebut dan menemukan di berbagai media online sebuah kalimat, “Mereka dengan fasih meramalkan kehidupan setelah dunia fana, padahal mereka sendiri tentu belum pernah melihatnya”.

Sebagai orang yang berada pada masa “kids jaman now”, seharusnya kita kembali lagi merenungkan apa sebenarnya pengertian politik. Politik sebagai “rel” perjalanan hidup masyarakat dan negara apakah saat ini masih berfungsi? Atau, politik menjadi komoditi yang terus dijual dengan harga murah sambil memberikan stempel keagamaan?

Prof. Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik (1992) menulis, politik dapat diartikan dalam berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan. Dalam politik, kata dia, sebuah kekuasaan harus seusuai dengan norma hukum, kaidah demokrasi, dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara luas, politik tidak semata mata diartikan sebagai proses kekuasaan pemerintahan, baik di lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif (suprastruktur politik),” tulisnya.

Proses politik, kata Miriam, juga terjadi dalam proses-proses kekuasaan yang ada pada lembaga-lembaga non pemerintahan, seperti partai politik dan organisasi kemasyarakatan, sebab lembaga-lembaga tersebut secara langsung maupun tidak langsung ikut terlibat dan berpengaruh terhadap proses kekuasaan di dalam negara (infrastruktur politik).

Namun, jika politik berada dalam tangan yang salah dan mempermaikan negara, bagaimana negara akan tumbuh dan berkembang? Sebab, masyarakat terus menerus disuguhi dengan praktik-praktik perlawanan ‘siapa salah dan benar’, yang akhirnya membentuk sekte-sekte dan kelompok-kelompok yang kemudian membuat stabilitas negara menjadi goyang dengan berbagai masalah yang ditimbulkannya kemudian?

Mari kita merenung sejenak dan melihat kembali, sejauh mana negara ini berlari dan maju dari negara-negara lain. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan seorang guru besar politik bisnis internasional di Universitas George Washington, Hossein Askari menurukan laporan yang mengejutkan.

Dalam laporannya yang kemudian di publis Kompas.com pada Selasa,6 Oktober 2017 Hossein mengatakan, dari 208 negara yang menjadi tujuan studinya, tak satupun negara yang berpenduduk Islam ada pada 25 besar peringkat dalam menentukan nilai-nilai Islami, baik secara ekonomi, politik, dan kemajuan negara.

Saat itu, Askari mendapatkan Irlandia, Denmark, Luksemburg, dan Selandia Baru yang menjadi negara dengan penerapan nilai Islami (ekonomi, politik, dan negara) yang paling kuat. Ada pun negara lainnya yang menerapkan ajaran Islam adalah Swedia, Singapura, Finlandia, Norwegia, dan Belgia.

Lalu, apakah di antara negara-negara itu, ada nama negara-negara Islam? Ada, Malaysia yang hanya mampu berada pada peringkat ke-33, disusul dengan negara Islam lain di posisi 50 besar, Kuwait di posisi 48, Arab Saudi 91 dan Qatar pada posisi 111. Indonesia? Tidak ada!!!

Jadi, pertanyaannya, sudahkah sumber daya manusia Muslim di Indonesia benar-benar berjalan di atas jalan yang lurus untuk memajukan bangsa dan negara dalam perpolitikannya?

Wallahualam. 

***