Memahami Tiongkok dari Dalam, Masihkah Ia Negara Komunis?

Jumat, 6 Oktober 2017 | 22:30 WIB
0
328
Memahami Tiongkok dari Dalam, Masihkah Ia Negara Komunis?

Saya pernah tinggal beberapa saat di daerah Guangzhou untuk melihat Tiongkok dari dalam. Sebenarnya Guangzhou ini hanya "kulit terluar" dari Tiongkok, provinsi ini hanya sekitar dua jam dari Shenzhen, yang dapat dianggap cuma nempel dengan Hongkong: sisi real kapitalis dari Tiongkok.

Di kedua kota ini, saya nyaris tidak melihat adanya suasana "komunis" sama sekali di jalanan, pertokoan, atau di rumah tinggal. Semua berjalan sebagaimana "wajar"-nya sebuah kota kapitalis lainnya. Bahkan gak ada bedanya dengan di Hongkong.

Tapi cobalah masuk ke beberapa bangunan tinggi agak di luar kota. Di kejauhan kita akan menganggap itu sebuah apartemen belaka. Baru ketika kita masuk, akan mengerti bahwa itu sebuah pabrik. Bisa pabrik apa saja, tetapi terutama yang berkaitan dengan konfeksi. Pokoknya yang ada proses potong memotong (apapun) dan kemudian jahit-menjahit.

Itu bisa apa saja: pakaian, tas, topi, tenda, sepatu, payung atau apapun. Nyaris tak ada satu pun yang memiliki ciri bahwa itu sebuah industri. Tanpa plang, tanpa alamat, nomer bangunan, kumuh dan tidak nyaman. Intinya anonim dan nothing!

Tapi jangan remehkan dengan apa yang ada di dalamnya. Setiap lantai, penuh manusia yang semuanya bekerja nyaris sama mekanis dengan mesin yang dijalankannya. Semua nyaris tanpa ekspresi, tidak murah senyum, dan selalu memandang curiga setiap bertemu orang asing. Beda dengan mereka yang kerja di pertokoan yang ramah dan semanak.

Bagaimana mau ramah? Mereka bekerja nyaris tanpa fasilitas kenyamanan apa pun. Di bangunan setinggi itu, mereka harus naik turun tanpa lift, tanpa fasilitas pendingin, dan barangkali dengan tuntutan kualitas dan jam kerja yang sedemikian tinggi.

Di sebuah pabrik tas, mereka menerima order dari seluruh dunia, dengan harga yang pasti akan bikin bengong. Contohnya: sebuah tas Rip Curl, yang di oulet resminya harus kita tebus di angka 500 ribu. Di sini, barang jadi itu hanya berharga sepersepuluhnya saja. Artinya, di luar harga tenaga kerja yang murah, mereka juga memiliki kualitas maupun ritme kerja yang nyaris tak mungkin tertandingi di belahan jagad manapun.

Pertanyaan dasarnya: apakah mereka komunis? Dilihat dari jenis pakaian, hape yang mereka genggam, dan pilihan musik yang mereka dengar, tampaknya bukan!

Dalam skala global, hal inilah yang menyebabkan mungkin semua negara berkembang (bahkan negara maju dengan etos kerja rendah) pada akhirnya harus berhenti tak lebih sebagai "daerah pasar". Kalau mujur, mereka akan menjadi pemasok bahan baku bagi negara seperti Tiongkok ini, yang skala ekonominya akan terus membesar tanpa akan dapat dilawan oleh negara apa pun.

Negara Eropa pada akhirnya hanya akan menjadi tujuan turisme orang Tiongkok, pun demikian Amerika akan berhenti menjadi tempat mereka kuliah sambil mencuri teknologi terkini. Hal ini menjelaskan kenapa orang seperti Donald Trump bisa terpilih sebagai Presiden AS dengan memberi janji palsu untuk lebih melindungi kepentingan domestiknya.

Hal ini pula menjelaskan, kenapa kunjungan terakhir Raja Saudi ke Indonesia, berlama-lama liburan di Bali. Boro-boro bawa duit investasi ke Indonesia. Mereka melakukan negosiasi yang alot dengan pemerintah dan swasta Tiongkok.

Agenda terpenting mereka cuma dua: jualan saham Aramco (karena mereka sendiri lagi kesulitan likuiditas), sembari menggagas kemungkinan investasi bagi para pangerannya. Karena tentu saja akan memberikan revenue yang lebih cepat dan tinggi. Cocok bagi para pangeran Arab yang hedonis.

Tanpa bermaksud membela (apalagi jadi jubir) Gatot Nurmantyo, inilah yang disebut bahaya neo-kapitalisme dan neo-imperialisme sesungguhnya. Cap aslinya memang negara komunis, tapi perilakunya lebih kapitalis dan imperialis dari negara manapun.

Tiongkok ini nyaris bisa jualan apa saja dengan harga yang lebih ekonomis. Jangankan kebutuhan harian masyarakat, senjata dan teknologi tinggi pun bisa mereka jual sangat murah.

Komunis di Tiongkok itu (sudah) beberapa waktu "dimatikan", walau mereka tetap membonsainya di Korea Utara, terutama sebagai alat tawar dengan Amerika Serikat yang kerap memang jadi terlalu arogan itu.

Saya termasuk yang tidak percaya dalam waktu dekat akan terjadi Perang Dunia III, yang ada perang dagang dan perebutan pengaruh yang tak kunjung selesai!

***