Apa Yang Bisa Kita Pelajari dari Kasus First Travel?

Kamis, 31 Agustus 2017 | 19:09 WIB
0
737
Apa Yang Bisa Kita Pelajari dari Kasus First Travel?

Jika ada pertanyaan; apa yang bisa kita pelajari dari kasus First Travel? Jawabannya; tidak ada!

Masalah terbesarnya justru kita tidak pernah bisa berkaca dari kasus-kasus kecil yang terjadi sebelumnya. Kasus First Travel hanya sebuah bom besar, setelah sekian lama Pemerintah (cq Departemen Agama) sesungguhnya menganggap bahwa urusan ibadah umrah (juga kemudian haji) adalah urusan semata bisnis, berorientasi pasar, dan ibadah yang bersifat personal.

Sebenarnya dalam kasus-kasus yang jauh lebih kecil, sudah banyak perusahaan lain, melakukan malpraktik yang sama. Bahkan tidak melulu dengan delik biaya murah, tapi juga dengan biaya standar. Biasanya dengan pola cicilan atau diangsur, yang ketika sudah jatuh tempo, dana yang sudah disetor lenyap raib entah kemana.

Ketika diusut, umumnya si pengelola menganggap bahwa perjanjian awalnya adalah bisnis investasi dengan bonus umroh (haji). Jadi ketika gagal berangkat, mereka menganggap bahwa itu kegagalan bisnis belaka.

Bila sedikit mau berepot ria, sebenarnya ibadah haji sudah sejak lama, sejak masa kolonial bahkan, telah dijadikan lahan bisnis di mana mekanismenya melibatkan sedemikian banyak pihak, yang merasa harus ikut mengatur. Dulu Snouck Hourgronje, seorang orientalis yang kerap disebut "Bapak Devide et Empire", justru yang merekomendasikan Pemerintah Kolonial Belanda untuk ikut mengakomodasi perjalanan haji. Hal ini untuk mencari simpati kelompok Islam dan meredakan kemungkinan pemberontakan.

Modus ini diteruskan oleh Pemerintah Indonesia dari masa ke masa. Akibatnya adalah minat haji menjadi sangat tinggi, bahkan tertinggi di dunia. Contoh pada 1921 sebanyak 28.795 jamaah Indonesia menunaikan ibadah haji dari 60.786 jamaah seluruh dunia.

Saat resesi ekonomi yang disebut zaman Malaise) pada 1928 jamaah Indonesia ke Tanah Suci justru meningkat menjadi 52.412 orang, dari 123.052 jamaah seluruh dunia. Artinya minat haji orang Indonesia itu memang tinggi sejak dulu, jadi bukan tren akhir-akhir ini saja.

Biaya untuk naik haji saat itu terbilang sangat mahal, rerata 225 gulden per orang. Perbandingan gaji seorang guru atau pegawai mapan hanya 18 gulden per bulan. Nilai ini setara dengan harga satu buah rumah tembok layak huni. Bahkan saking besarnya biaya haji, dana yang disisihkan dari para jemaah itu bisa dibelikan kapal khusus pada masa pasca kemerdekaan, dengan mendirikan perusahaan pelayaran PT Arafah.

Program haji swakelola ini, kemudian justru dirusak sendiri oleh pemerintah dengan memberikan lebih kemudahan melalui angkutan udara, yang menyebabkan manajemen PT Arafah mulai kesulitan dan akhirnya gulung tikar. Artinya apa?

Pemerintahlah di awal 1970-an yang gagal mentransformasi dana umat itu, ke dalam kebijakan yang lebih kontinyu. Dana-dana haji yang mengendap dan makin besar dari waktu ke waktu inilah, yang kemudian dincar oleh pemerintah saat ini untuk digunakan secra lebih baik. Karena bukan rahasia lagi, bahwa sumbangan dari para mukminin ini dari waktu ke waktu tidak pernah jelas penggunaannya.

Kasus First Travel ini sebenarnya menunjukkan bahwa biaya umrah, saat ini sudah sangat murah dibandingkan masa lalu. Biaya yang sudah relatif terjangkau, itu dibikin makin murah lagi dan sebenarnya tidak masuk akal oleh para "penjahat travel".

Bayangkan biaya 14,3 juta yang bisa dicicil, tentu memberi mimpi bagi nyaris semua orang. Hanya dengan menabung 50 ribu rupiah sehari dalam setahun, semua orang bisa pergi ke tanah suci. Dan kalau pasangan tengik itu, bisa menipu 70 ribu orang, ia sama sekali tidak cerdas. Keduanya adalah typical pebisnis hedonis hari ini, yang jeli "maling" peluang.

Jika ada yang lebih pantas disalahkan: saya setuju pemerintahlah yang abai dan jahat, membiarkan malpraktek seperti ini bisa terus terjadi. Dan mereka cuci tangan bersih sekali!

***