Saat Pilkada DKI Jadi Panggung Dangdut Segolongan Warga

Jumat, 28 Oktober 2016 | 03:13 WIB
0
467
Saat Pilkada DKI Jadi Panggung Dangdut Segolongan Warga

Salah satu televisi mengusung tagline bahwa mereka memang beda. Menarik, hingga beberapa kali disemprit komisi penyiaran, mereka tetap berani tampil beda. Agaknya sisi beda itu juga melekat pada perhelatan Pilkada DKI Jakarta. Lantaran di sini ada sebuah front pembela keyakinan tertentiu yang bikin Pilkada di Jakarta jadi beda.

Bagaimana tidak, front itu dapat diibaratkan sebagai grup dangdut yang selalu saja punya cara agar pesta nikahan terasa lebih berirama. Terkadang, mereka itu memainkan lagu mendayu-dayu di tengah kalangan sendiri, tapi di saat lainnya mereka menepikan soal merdu tidaknya suara mereka. Yang penting teriak. Soal apakah itu sudah mirip sebuah lagu atau bukan, yang penting sudah teriak.

Begitulah cara mereka bernyanyi.

Tak perlu peduli, teriakan-teriakan mereka itu akan bikin kuping para undangan lain di pesta nikahan itu mendadak terganggu atau tidak. Yang penting teriak.

Tapi, ya begitu, selayaknya grup dangdut, terpenting dapat meramaikan dan bikin meriah, pasti akan ada yang bersedia mengorder mereka untuk "bernyanyi".

[irp]

Konon lagi, berembus kabar bahwa ada yang bersedia menggelontorkan uang hingga miliaran agar mereka terus bernyanyi. Tak peduli suara penyanyinya merdu atau cempreng, si pemesan grup dangdut ini pastilah akan menyemangati mereka, "Suara ente merdu sekali!"

Ya, sontak saja, makin semangatlah mereka bernyanyi dan bernyanyi sampai lupa diri. Terkadang mereka bergoyang, meski agak malu-malu, meniru seperti apa Inul Daratista memainkan pinggang dan bawah pinggang belakang terayun dan memutar sampai orang-orang mabuk. Karena tak profesional, mereka buang angin saat bergoyang.

Lagi-lagi karena mereka suka keramaian, dan suara letupan angin dari sela-sela dua belahan daging di bagian belakang bawah pinggang tak terdengar. Yang dapat mencium aroma khas dari liang sana itu hanya orang-orang terdekat saja.

Menariknya, kalangan dekat itu pun sangat lihai menyemangati. "Kentut ini wangi sekali!"

Ah, sebegitulah parahnya jika orang-orang hanya berkepala namun lupa mengisinya. Tak ada kejujuran, bahkan aroma kentut pun bisa terasa layaknya bau swargaloka.

Jika pemilik suara cempreng dikatakan merdu, dan aroma busuk disamakan dengan swargaloka, jelas saja menjadi petunjuk adanya ketidakberesan pada indera pendengaran dan penciuman.

Tapi begitulah yang terjadi, hingga Bang Rhoma Irama pun teriak, "Yang buta! Yang Buta! Mata hatinya. Yang tuli! Yang Tuli! Kesombongannya..."

Tariklah napas sejenak. Putarlah lagu-lagu Bang Haji sejenak. Saya sendiri sudah sangat hafal lagu itu meski sepotong-sepotong, dan sering konser di kamar mandi disaksikan para cicak dan kecoa yang setia di bawah panggung pertunjukan.

Walaupun, iya, konser yang dapat ditampilkan grup dangdut milik front jauh lebih diminati. Ada yang sampai merasa bahwa membelanya tak beda dengan menegakkan rukun iman dan rukun Islam, yang menjadi pondasi masyarakat muslim. Jika Anda mengatakan suara dangdut gaya mereka itu buruk, Anda dapat saja dituduh tidak beriman dan tidak berislam --alhamdulillah saya sering dapet label itu dari fanmania mereka.

Dengar-dengar, mereka akan mentas lagi Jumat ini. Entahlah.

[irp]

Tapi jika mereka betul-betul mentas, dan membawa rombongan terlalu banyak lagi, akan sangat buruk sebenarnya. Mereka hanya merusak citra Bang Haji Rhoma dan Soneta.

Rhoma sudah mengangkat harkat dan martabat dangdut lewat posisinya sebagai raja di dunia kerajaan musik Nusantara itu. Tapi front ini sepertinya alergi pada hal-hal yang berbau Nusantara, dan gatal-gatal jika ada yang menyebut Islam Nusantara. Padahal mereka seharusnya dapat ke Puskesmas untuk memulihkan gatal-gatal itu, murah dan cepat lagi.

Pada pementasan dangdut pekan-pekan lalu, mereka sempat marah gara-gara ada polisi yang memutar salawat di depan balai kota. Polisi saja berani mereka teriaki, walaupun institusi itu adalah alat negara. Entah karena mereka  mengira sebagai "Alat Tuhan", jadi leluasa saja berteriak-teriak.

Ah, andai saja pemimpin front bersedia belajar pada Bang Haji Rhoma, bagaimana dapat berdangdut dengan merdu dan menarik, dan tak lagi ditipu oleh para pengikutnya yang  menyebut betapa merdu suaranya. Sayangnya sang "big boss" sepertinya memang merasa tak perlu lagi mengejar ilmu apa-apa, setelah paripurna tiba di bab fadhilah marah. Ia merasa tak penting mendalami fadhilah-fadhilah lainnya.

Jadi, sebagai salah satu umat yang bersyahadat, saya sih menganjurkan pada sang imam ini agar "lebih dangdut" saat berorasi besok, besok-besok, atau besok-besoknya lagi. Jika perlu putar mp3 semalam suntuk agar lebih dapat feel saat berteriak-teriak dalam demo kapan pun.

Jadi, sekarang kembali ke sang imam, jika bersedia di sela-sela belajar dangdut, agar juga membayangkan bagaimana jika kelak ditanyakan Tuhan begitu. Pengikutnya jugalah, begitu juga saya. Sudah saatnya lebih awas, dan memerhatikan nada-nada paling tepat saat ingin berdangdut.

Terlebih ini berkaitan dengan Pilkada DKI. Pesta kali ini mungkin akan meriah dengan teriakan-teriakan itu, apalagi dilakukan di pinggir-pinggir jalan, tapi jika seluruhnya yang berteriak tidak memiliki suara merdu dan cenderung cempreng, plus aroma mulut yang tak enak, Jakarta hancur!

Ya, bagaimana tidak hancur, jika yang buruk-buruk dibiarkan begitu saja leluasa menyebar keburukan di mana-mana. Padahal kali-kali sudah dibersihkan biar tidak menyebarkan aroma busuk, masa septic tank harus diplagiasi oleh aroma mulut lagi.

***

[irp]