Andrea Hirata, Novelis Kebanggaan Indonesia

Senin, 12 September 2016 | 21:07 WIB
0
738
Andrea Hirata, Novelis Kebanggaan Indonesia

Tahun 2005, rekan jurnalis Kompas Irin Khairina bertanya saat saya masih menjadi wakil editor di desk investigasi; bisakah Andrea Hirata dijadikan sosok di Harian Kompas? Karena kebetulan sedang membaca "Laskar Pelangi" dan saya terombang-ambing atas narasi Andrea, maka saya jawab, "Boleh, silakan temui orangnya!"

Irin bersama Amir Sodikin kemudian menemui Andrea untuk sebuah wawancara dan bedah novelnya. Novel Laskar Pelangi belum mendapat predikat best seller saat itu, mega best seller, apalagi international best seller. Orang pun belum banyak tahu.

Tidak lama kemudian sosok Andrea Hirata pun muncul pertama kalinya di Harian Kompas, di saat namanya belum berkibar-kibar di media.

Tadi pagi, jauh sebelum menunaikan sholat Jumat, saya berkomunikasi lewat "chat room" dan mengusulkan tulisan karya Damar Juniarto berjudul "Pengakuan Internasional Laskar Pelangi: Antara Klaim Andrea Hirata dan Faktanya" agar ditempatkan sebagai Headline di halaman muka Kompasiana. Alasan saya, tulisan itu sangat komprehensif dan referensial dan mungkin saja luput dari perhatian Admin.

Admin yang bertugas mengatakan bahwa tulisan itu sudah lewat dua hari , tetapi saya mengatakan untuk tulisan yang bukan peristiwa seperti ulasan atau opini dan sifatnya "timeless", ya tidak ada masalah di-HL-kan, toh tulisan itu sangat kuat dari sisi konten, kredibel, dan tidak bertendensi "menghabisi" Andrea Hirata.

Admin setuju dan tidak lama kemudian tulisan Damar Juniarto pun muncul di Headline Kompasiana. Saat postingan ini ditayangkan, tulisan itu sudah dibaca oleh 19.500-an orang, suatu jumlah pembaca yang cukup besar!

Saya paham isi tulisan itu yang ingin mendudukkan persoalan yang sebenarnya, ingin menjelaskan duduknya persoalan yang dalam tulisan itu Andrea dikesankan "menyombongkan" diri dengan mengatakan "Hampir seratus tahun kita menanti adanya karya anak bangsa mendunia, tapi Alhamdullilah hari ini semua terbukti setelah buku saya menjadi best seller dunia".

Pernyataan Andrea inilah yang kemudian menuntun penulis artikel itu, Damar Juniarto, menelusur makna Internastonal Best Seller.

Saya pribadi tidak terlalu mempersoalkan pernyataan Andrea bahwa dalam kurun waktu 100 tahun tidak ada sastrawan Indonesia yang katakanlah "mencuri" perhatian dunia. Mungkin juga terselip rasa gembira yang berlebihan dari Andrea yang karyanya telah dan akan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dunia sehingga dikesankan yang bersangkutan "menyombongkan" dirinya sendiri.

Saya juga tidak terusik dengan artikel Douglas J. Johnston berjudul "Bestselling novel suffers from lack of small details" di Winnipeg Free Press yang sulit mengakui Andrea sebagai sastrawan karena "hanya" menganggapnya sebagai penulis autobiographical novel mengenai pengalamannya sendiri. Bagi saya, Andrea Hirata tetaplah novelis kebanggaan negeri ini yang karyanya bisa "membuka mata dunia".

Saya menyebut dua sastrawan Indonesia yang novel-novelnya banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, yaitu Pramoedya Ananta Toer dan Ahmad Tohari. Mungkin konteks "seratus tahun" versi Andrea memang terlalu berlebihan, karena Pramoedya dan Ahmad Tohari masih dalam jangkauan hitungan puluhan tahun saja.

Namun demikian, kesalahan kecil ini, kalau itu saya sebut sebagai kesalahan, janganlah sampai mendudukan Andrea dalam posisi "pesakitan" dan objek hinaan. Andrea Hirata tetaplah penulis dan novelis hebat, setidak-tidaknya menurut saya.

***