Prabowo Harusnya Pilih Sjafrie untuk Bakal Calon DKI-1

Senin, 1 Agustus 2016 | 00:24 WIB
0
228
Prabowo Harusnya Pilih Sjafrie untuk Bakal Calon DKI-1

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto seharusnya memilih mantan Wakil Menteri Pertahanan RI Sjafrie Sjamsoeddin sebagai bakal calon gubernur DKI Jakarta, bukan mengajukan Sandiaga Uno.

Survei Opinion Leader oleh Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia terkait Pilkada DKI Jakarta 2017 yang dirilis Senin, 1 Agustus 2016 di Jakarta setidaknya membuktikan, peringkat Sjafrie untuk direkomendasikan sebagai bakal calon DKI-1 mengungguli Yusril Ihza Mahendra dan bahkan Sandiaga Uno.

Sebagaimana diberitakan, Prabowo telah menunjuk secara resmi Sandiaga Uno sebagai bakal calon gubernur DKI, sedangkan Sjafrie dan Yusril tersisih.

Di antara ketiga nama yang digodok Partai Gerindra, nama Yusril merupakan tokoh paling tidak direkomendasikan dengan 43,8 persen, disusul Sandiaga Uno 29,78 persen dan Sjafrie Sjamsoeddin 17,3 persen.

Karena muncul sebagai "the best among the worst" di antara bakal calon dari Gerindra, Sjafrie-lah yang seharusnya dipilih Prabowo sebagai bakal calon gubernur DKI.

Dari sisi "kerajinan" ketiga bakal calon dari Gerindra itu turun ke masyarakat, harus diakui Sandiaga Uno-lah yang paling rajin. Sandiaga, misalnya, terlihat duduk sendiri di metromini atau ngotot ingin terus berdiri menggelantung di atas busway Transjakarta meski tempat duduk banyak yang kosong.

Sementara Yusril sempat terlihat di pasar modern mengenakan kaus Mickey Mouse dan naik kereta CL ke kampus UI. Sedangkan Sjafrie sesekali bergaul dengan para ulama DKI Jakarta alias mendekati kelompok Muslim.

Survei itu juga menunjukkan, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi sosok paling direkomendasikan untuk menjadi gubernur DKI Jakarta.

Ahok dipilih 79,74 persen pakar sebagai tokoh paling direkomendasikan. Perolehan Ahok mengungguli Wali Kota Bandung Ridwan Kamil 38,8 persen dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini 38,67 persen.

Namun demikian, nama Yusril dengan hasil paling tidak direkomendasikan itu ditentukan oleh partisan survei yang sebagian besar berlatar belakang profesor dan doktor, bukan rakyat biasa.

Timbul dugaan, jangan-jangan ada rivalitas di antara para doktor dan profesor di Universitas Indonesia, sehingga para koleganya sendiri di UI tidak menyukai sosok Yusril dan terbawa-bawa saat menjawab kuesioner survei.

Hal serupa bisa terjadi pada Ahok sebagai sosok yang paling direkomendasikan. Pasalnya, yang merekomendasikan adalah para profesor dan doktor di UI, yang sebagian boleh jadi tidak punya hak pilih karena tidak ber-KTP Jakarta. Jangan lupa pula, pemilih DKI Jakarta adalah rakyat kebanyakan, bukan profesor atau doktor.

Alhasil, hasil Survei Opinion Leader oleh Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia itu tidak menunjukkan pertarungan para kandidat yang sesungguhnya di Pilkada DKI 2017. Terlebih lagi, pelaksanaan Pilkada itu sendiri masih berbilang waktu, yang bisa mengikis elektabilitas atau sebaliknya bisa menaikkan elektabilitas seseorang.

***