RITUAL UPACARA ADAT TAHUNAN SEDEKAH LAUT " LABUH KAPAT " DIPANTAI BARON JOGJA

Rabu, 23 Juni 2021 | 15:40 WIB
0
240
RITUAL UPACARA ADAT TAHUNAN SEDEKAH LAUT " LABUH KAPAT " DIPANTAI BARON JOGJA
Prosesi ritual

Masalah Ritual Labuhan merupakan salah satu upacara yang ada sejak zaman Mataram Islam abad XVII. Labuhan dapat dikatakan sebagai ritual karena dilakukan secara tetap dan di waktu tertentu, waktu yang dilakukan tidak berubah dan terjadi secara turun temurun. Menurut Victor Turner, ritual adalah suatu bentuk perilaku keagamaan yang masih berbentuk dramatis, sehingga ketika dilaksanakan membawa para peserta ke dalam hubungan vital dengan realitas transenden. Secara teratur upacara yang diselenggarakan oleh Raja-raja Keraton Yogyakarta memberikan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat.


Labuhan adalah upacara membuang benda-benda keraton dalam bentuk tertentu ke Laut Selatan, Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan tempat lain yang bersifat khusus. Benda yang dilabuh antara lain:


1) potongan kuku (kenaka) dari Sri Sultan yang dikumpulkan selama satu tahun;


2) potongan rambut (rikma) dari Sri Sultan yang dikumpulkan selama satu tahun;


3) beberapa potong pakaian bekas milik Sri Sultan;


4) benda bekas milik Sri Sultan yang berwujud payung (songsong);


5) layon sekar, yaitu sejumlah bunga yang telah layu dan kering bekas bunga sesaji pusaka-pusaka Keraton yang dikumpulkan selama satu tahun;


6) sejumlah barang yang sebagian besar terdiri dari kain.


Maksud diadakan Ritual Labuhan ini untuk keselamatan pribadi Sri Sultan, Keraton Yogyakarta, dan rakyat Yogyakarta. Hal tersebut sarat akan makna magis yang biasanya oleh masyarakat, dihubungkan dengan legenda-legenda tertentu. Sebagai contoh adalah Ritual Labuhan Parangkusumo yang identik dengan legenda Ratu Pantai Selatan dan Panembahan Senopati.


Asal mula Ritual Labuhan terjadi pada awal masa pemerintahan Panembahan Senopati yang mencoba mencari dukungan moril untuk memperkuat tahta atau kedudukannya. Dukungan tersebut ia peroleh dari Kanjeng Ratu Kidul yaitu makhluk halus penguasa Laut Selatan. Panembahan Senopati membuat perjanjian dengan Kanjeng Ratu Kidul yang pada intinya adalah bahwa Kanjeng Ratu Kidul bersedia membantu segala kesulitan, kesusahan Panembahan Senopati. Tetapi, sebagai imbalannya Penembahan Senopati harus memberikan persembahan yang berwujud dalam bentuk Ritual Labuhan.


Ritual Labuhan dilaksanakan dengan beberapa waktu yang telah ditentukan yaitu, satu hari setelah penobatan raja atau tingalan jumenengan, 8 tahun sekali, dan ketika ada acara Keraton, misalnya putra putri Raja yang menikah.


Ritual Labuhan diselenggarakan oleh Keraton Yogyakarta, namun demikian dalam pelaksanaannya di lapangan, masyarakat yang percaya selalu ikut serta. Dengan demikian masyarakat merasa memiliki adat tersebut, dan menganggap bahwa labuhan sebagai suatu kebutuhan tradisional yang perlu dilestarikan dari masa ke masa. Sebagian masyarakat mempercayai akan keberkahan yang ada dalam ritual tersebut seperti memperpanjang usia, memperbanyak rezeki, mendapatkan keselamatan, dan kesejahteraan. Masyarakat meyakini bahwa barang yang telah dilabuh saat prosesi labuhan memiliki berkah tersendiri apabila masyarakat dapat mengambil dan mengumpulkan barang yang dilabuh. Ritual labuhan menjadi tempat tersendiri bagi masyarakat.


Sisi lain dari Ritual Labuhan yaitu ia memiliki manfaat sebagai potensi wisata budaya. Ritual Labuhan yang diselenggarakan Keraton ini memperlihatkan wibawa yang dimiliki oleh nenek moyang. Dalam pelaksanaannya, labuhan diadakan di alam terbuka yang indah, di tempat-tempat tertentu yang telah ditentukan oleh Keraton Yogyakarta. Sehingga menjadikan peristiwa adat itu memiliki daya tarik tersendiri bagi para wisatawan.


Ritual Labuhan diadakan di Pantai Baeon dimana Pantai Baron merupakan pantai di pesisir selatan yang di Desa Kemadang, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Saat memasuki kompleks Baron, nuansa sakral sangat terasa, kembang setaman yang wangi dan kemenyan yang dibakar di area tersebut. Hal ini karena adanya anggapan dari masyarakat yang percaya, bahwa Pantai Baron merupakan pintu gerbang menuju kerajaan penguasa Laut Selatan.


Pada tahap awal, Ritual Labuhan dilaksanakan di dalam kompleks Keraton, dilakukan oleh kerabat Raja dibantu oleh abdi dalem. Mereka mempersiapkan barang-barang labuhan seperti potongan kuku dan rambut Sultan, baju-baju bekas Sultan dan berbagai perlengkapan pribadi Sultan serta sesajen. Setelah semua siap dan Sultan telah menitahkan untuk segera melarung barang-barang tersebut, dan labuhan pun dimulai. Barang-barang tersebut dibawa ke luar Keraton dan diberangkatkan ke tempat-tempat yang telah ditentukan, seperti Pantai parangtritis Yogyakarta.


Pengaruh Labuhan terhadap Masyarakat Gunungkidul.


Secara subyektif, ditinjau dari sudut pandang masyarakat Gunungkidul sendiri, Labuhan berpengaruh secara signifikan bagi kehidupan masyarakat setempat. Dengan istilah lain, pandangan masyarakat Gunungkidul terhadap Labuhan adalah keseluruhan semua keyakinan. Orang Jawa berpandangan bahwa realitas tidak dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah satu sama lain, melainkan realitas dilihat secara utuh dan menyeluruh. Dari hasil pengamatan penulis, masyarakat yang melakukan labuh di sekitar petilasan Parangkususmo, bisa lebih khusyuk melakukan laku yakni prihatin, tirakat, dan tapa. Suasana yang sepi, menghantarkan para pelaku bisa lebih memusatkan pikir dan rasa. Berikut pengaruh Labuhan bagi masyarakat Gunungkidul :


1. Bidang Keagamaan


Masyarakat semakin percaya bahwa upacara Labuhan yang mereka laksanakan akan mewujudkan segala sesuatu yang mereka inginkan, terutama bagi muslim mencoba menghubungkan labuhan dengan warisan lelehur ketika para wali menyebarkan agama melalui beberapa media, termasuk kesenian berupa wayang. Bagi agama lain, upacara Labuhan selain merupakan kekayaan budaya. Tokoh-tokoh agama juga merasa perlu untuk melestarikan upacaraupacara serupa, tidak hanya murni kebudayaan, tetapi dalam ajaran agamnaya terdapat-unsur-unsur dan misi kegamaan yang saling mendukung.


2. Bidang Ekonomi


Dari sisi positif, masyarakat berkeyakinan bahwa Labuhan yang dilakukan mempengaruhi keuntungan dalam hal pertanian dan penghasilan mereka. Dari sisi negatifnya, masyarakat tidak memperhitungkan masalah materi yang berakibat terjadi pemborosan karena membuang berbagai pakaian dan makanan. Lebih jauh, konsep bidang ekonomi, Labuhan dimaknai sebagai filosofi kesejahteraan Abdul Jalil 111 el Harakah Vol.17 No.1 Tahun 2015 ekonomi melalui pembangunan arah selatan. Pembangunan arah selatan bermakna


perlunya menghidupkan kembali para nelayan agar sadar bahwa laut sumber kehidupan. Menggerakkan ekonomi nelayan juga patut dibarengi dengan teknologi yang canggih agar memaksimalkan penangkapan ikan. Bagi masyarakat sekitar, Labuhan merupakan lahan rezeki karena masyarakat dapat membuka berbagai jenis usaha seperti warung makan, penginapan, dan kamar mandi umum.


3. Bidang Keamanan


Masyarakat Gunungkidul meyakini bahwa selama mereka rutin melakukan upacara Labuhan, maka desa mereka akan dijaga oleh Kanjeng Ratu Kidul. Sedangkan secara obyektif, ditinjau dari sudut pandang masyarakat luar, Labuhan diyakini sangat erat kaitannya dengan unsur kepercayaan yang berkembang di daerah pantai. Terjadi kepercayaan yang bias antara penerapan agama yang tumpang tindih dengan kelestarian budaya animisme (semua benda memiliki roh atau jiwa) dan dinamisme (semua benda memiliki kekuatan ghaib/kesaktian). Labuhan semakin melekat pada keseharian masyarakat Parangtritis pada budaya nenek moyang dengan pola pikir dan bias agama. Hal ini mempengaruhi cara pandang masyarakat Parangtritis, antara lain:


1. Keyakinan Bahwa Kanjeng Ratu Kidul hanya sebagai penghubung kepada Tuhan Yang Maha Esa;


2. Masyarakat yang percaya penuh dengan Ratu Kidul menyakini bahwa Ratu Kidul pemberi kedamaian dan ketentraman;


3. Kelepasan tanggung jawab dalam hal keamanan dan peruntungan pendapatan berdasarkan kesuksesan pelaksanaan labuhan.


Berbagai pengaruh Labuhan tersebut di atas, jika diamati secara sepintas dapat membuktikan pendapatan atau ekonomi mereka semakin meningkat, selain keamanan terjaga, namun dalam waktu yang bersamaan juga bisa sebagai wujud manifestasi optimisme masyarakat. Tanpa mereka sadari timbul usaha gigih dan optimal. Misalnya dalam mencari ikan, mereka gigih sehingga secara otomatis ekonomi mereka akan makmur. Selain itu, upacara Labuhan yang mereka laksanakan secara rutin akan menjadikan mereka merasa tentram damai karena masyarakat melakukan upacara dengan bersama-sama.


Tradisi yang telah ada sejak tahun 1982 ini sudah selayaknya untuk tetap dilestrikan, seperti halnya yang dilakukan nelayan Baron pada 11 Oktober 2018 menggelar ritual sedekah laut nelayan (labuhan nelayan) bertempat di Pantai Baron, Desa Kemadang. Acara ini diadakan sebagai bentuk rasa syukur nelayan atas rizki yang diberikan Allah SWT yang begitu berlimpah sekaligus melestarikan adat budaya yang telah ada secara turun temurun. Upacara tahunan nelayan ini secara rutin dilaksanakan tiap tahun, yakni pada labuh papat (moso papat penanggalan jawa kuno), dan diikuti oleh seluruh nelayan Pantai Baron.

Upacara sedekah laut didahului dengan prosesi kenduri yang dipimpin oleh tetua adat Bp Sugito Pramono dan diikuti berbagai kelompok nelayan serta masyarakat untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar tangkapan ikan pada musim panen ikan melimpah dan para nelayan diberi keselamatan.


Selanjutnya gunungan diarak ke pinggir pantai untuk selanjutnya dilabuh (dilarung), gunungan yang dibawa Paguyuban Nelayan Baron berisi puluhan jenis sesaji. Dari mulai kepala kambing, aneka jenis buah, jajan pasar, hingga bentuk panganan dan lauk pauk, sampai sejumlah peralatan dan aksesoris kaum perempuan seperti kain jarit, selendang dan sanggul. Semua jenis sesaji dikemas dalam gunungan berbentuk rumah joglo kecil yang dihias janur dan aksesoris lainnya.


Prosesi pelarungan bebagai macam sesaji ke tengah laut lepas diiringi arak-arakan perahu nelayan dengan berbagai hiasan warna warni yang mengangkut peserta prosesi yang berpakaian adat tradisional jawa dan beberapa tokoh masyarakat maupun tamu undangan.


Selain nilai sakral yang dianut, sebenarnya prosesi Sedekah Laut juga bertujuan untuk melestarikan kebudayaan. Mereka berharap, budaya Sedekah Laut tidak pupus ditelan zaman, sehingga setiap kali perayaan selalu melibatkan semua generasi agar kelak tertanam jiwa seni budaya untuk melestarikannya.

Turut hadir dalam acara labuhan tahun ini perwakilan Bupati Gunungkidul, Dinas perikanan dan Kelautan Provinsi DIY, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Gunungkidul, Bp. Camat Kec. Tanjungsari, dan Perangkat Desa Kemadang.


Menurut Hj Badingah selaku Bupati Gunungkidul melalui perwakilannya menyampaikan bahwa bentuk upacara adat sedekah laut nelayan pantai baron telah sesuai dengan UUD 1945 pasal 32 tentang kebudayaan dan pasal 29 tentang kepercayaan terhadap Tuhan YME. Pemerintah Gunungkidul akan selalu mendukung setiap kegiatan yang berkaitan dengan adat istiadat dan kebudayaan dan berharap kegiatan tersebut dapat menjadi nilai tambah obyek wisata pantai dan nantinya dapat berimbas pada peningkatan perekonomian masyarakat kawasan pisisir pantai.


Acara yang ditunggu-tunggu masyarakat pesisir dan sekitarnya itu diramaikan dengan aneka kesenian tradisional dan pertunjukan electone pada sore harinya. Pada malam harinya akan digelar wayang kulit semalam suntuk dengan dalang Ki Simun. Tapi 2 tahun terakhir labuhan dipantai baron ditiadakan karena terkendala adanya covid19 yang ada diindonesa maupun didunia, oleh karena itu labuhan tidak ditiadakan karena masig dalam masa pandemic mungkon setelah covid19 sudah hilang kemungkinan akan diadakan lagi labuahn, semoga saja covid19 segera hilang dan kita bersama bias melakukan aktifitas seperti dulukala tanpa taku terkena penyakit amin.