Beda Singapura Beda Pula Indonesia

Herannya, hanya saya sendiri yang aktif menegur anggota yang melanggar dan saya sendiri yang aktif menertibkan peraturan group.

Sabtu, 25 April 2020 | 05:05 WIB
1
420
Beda Singapura Beda Pula Indonesia
Ilustrasi SIngapura (Foto: IDN Times)

Tahun 2010 saya pertama kali menginjakkan kaki di negeri Singa. Singapura.

Saat saya beli es krem di pinggir jalan Orchard Road, tak sengaja terbawa kebiasaan di Jakarta, saya membuang kertas tisu. Uncle yang jualan es krem melihat dan menegur saya dengan tegas dan melarang saya membuang tisu sembarangan.

Di lain waktu, saat jalan kaki menuju Merlion Park, patung Singa yang menyemburkan air, saya berada di perempatan jalan. Saya longok kiri-kanan jalanan sepi. Saya pun menyeberang meskipun lampu merah menyala untuk pejalan kaki.

Tiba-tiba dari arah belakang sebuah mobil sedan melaju kencang, supirnya teriak memaki saya sambil separuh kepalanya menjulur dari pintu mobilnya.

Dua kali saya ditegur dan diteriaki karena saya melanggar aturan. Itu di Singapura. Negeri Singa.

Di negeri tercintaku, Indonesia, saya tidak pernah ditegur siapapun. Bahkan saat saya menerobos jalur busway. Atau saya kadang buru-buru terpaksa menerobos lampu merah yang baru menyala.

Malahan, sayalah yang acapkali menegur orang yang merokok di sebelahku. Karena asap rokoknya mengganggu. Saya juga beberapa kali menegur mobil yang membuang kertas tisu ke jalan tol. Saya kejar dan pepet mobilnya, saya klakson kencang-kencang. Saya juga beberapa kali menegur mobil di depanku yang membuang botol air kemasan ke aspal.

Acapkali, saya menegur bis-bis besar atau truk-truk besar yang berjalan di jalur kanan di jalan tol.

Bahkan pernah saya melapor pada polisi yang sedang parkir di pinggir jalan tol. Dan polisi itupun menyetop bis yang saya laporkan telah melanggar rambu marka jalan.

Di Singapura, orang-orang berani dan tegas menegur orang yang melanggar aturan.

Di Indonesia, orang-orang tidak berani atau tak mau pusing menegur orang yang melanggar aturan lalu lintas, atau membuang sampah sembarangan. Apalagi yang ditegur bisa lebih galak dari yang menegur. Meskipun yang ditegur telah berbuat salah.

Bahkan, di Jakarta, acapkali kita lihat orang-orang yang melanggar peraturan lalu lintas, tak pakai helm, bonceng tiga, melawan arah, parkir sembarangan, seolah-olah dibiarkan. Tidak ada yang menegur.

Baca Juga: Lockdown Singapura

Saya punya pengalaman menjadi admin group WhatsApp. Acapkali ada saja anggota group yang melanggar peraturan Group WhatsApp seperti dengan posting iklan atau tulisan bermateri keagamaan yang memang dilarang group. Padahal sudah sering diumumkan peraturan dan tata tertib group. Bahkan sudah berkali ada anggota yang di-remove karena melanggar. Tapi, tetap masih ada saja yang melanggar.

Dan herannya, hanya saya sendiri yang aktif menegur anggota yang melanggar dan saya sendiri yang aktif menertibkan peraturan group.

Dari sini, saya pun paham dan merasa kasihan pada pak Jokowi. Betapa teramat sangat sulit mengatur 260 juta manusia Indonesia.

Wong, saya yang jadi admin group WhatsApp yang hanya beranggota 150-an orang saja kewalahan mendisiplinkan opara anggota dan menegakkan peraturan dan tata tertib group kok.

Beda di Singapura, beda pula di Indonesia.

Dan seperti yang pernah dikatakan oleh budayawan Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaan bahwa manusia Indonesia berciri-ciri antara lain munafik alias hipokrit dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya.

Barangkali itulah makanya Jokowi pernah bilang bahwa bangsa ini membutuhkan Revolusi mental.

***