Hanya tulisannya huruf Arab. Seperti orang Riau: menggunakan huruf Arab tapi bunyinya Melayu. Atau seperti kitab-kitab di pondok pesantren: tulisannya Arab, tapi bunyinya bahasa Jawa.
Ini Las Vegas.
Bukan.
Ini Wyoming.
Bukan.
Ini Idaho.
Bukan.
Ini Xinjiang.
Betul.
Ini Xinjiang bagian utara. Mirip sekali dengan Las Vegas, Wyoming, Idaho, Montana, Nevada dijadikan satu.
Imajinasi awal saya tentang Xinjiang adalah padang pasir. Terpencil. Kering. Berdebu. Sangat terik di musim panas. Bersalju yang menggigil di musim dingin.
Imajinasi saya yang lain: Xinjiang adalah 100 persen suku Uygur. Muslim. Ingin merdeka dari Tiongkok.
Imajinasi lainnya adalah: wanita Xinjiang cantik-cantik. Wajah mereka seperti gabungan antara Tionghoa dan Arab.
Ternyata Xinjiang tidak identik dengan Urumqi --ibu kotanya. Orang sana menyebut nama kota itu Ulumuqi.
Kota ini sudah tidak ada bedanya dengan kota besar lainnya di Tiongkok. Penuh gedung pencakar langit. Tidak bisa dihitung. Lebih banyak dari Jakarta sekali pun.
Kereta bawah tanahnya baru: sepanjang 20 km.
Yang beda: papan namanya. Nama toko, hotel, kantor, resto, nama jalan, dan apa saja didahului huruf Arab.
Baru di bawahnya ditulis dalam huruf Mandarin.
Sebagai lulusan pesantren saya coba baca semua kalimat dalam huruf Arab itu. Saya bisa membacanya. Tapi tidak tahu artinya. Rupanya itu bukan bahasa Arab.
Itu bahasa Uygur.
Hanya tulisannya huruf Arab. Seperti orang Riau: menggunakan huruf Arab tapi bunyinya Melayu. Atau seperti kitab-kitab di pondok pesantren: tulisannya Arab, tapi bunyinya bahasa Jawa.
Waktu ke salah satu desa di pojok dekat perbatasan Afghanistan saya memperkenalkan diri. Saya tulis nama saya di tanah. Dengan alat tulis batu kerikil. Saya tuliskan nama saya dengan huruf Arab.
Mereka tahu nama saya: Dahlan Iskan.
Saya pun minta ia menuliskan namanya. Ia menulis dengan huruf Arab: Umar.
Di mana-mana tulisan Arab mendahului tulisan Mandarin. Termasuk di toilet-toilet di rest area.
Pun di daerah utara. Yang mayoritas bukan muslim. Di Xinjiang utara banyak suku-suku minoritas lainnya. Yang lebih dekat ke suku Monggolia.
Tentu dari Beijing saya mendarat dulu di Urumqi. Bermalam di situ.
Hari kedua saya naik mobil seperti tanpa ujung. Dari Urumqi. Ke arah utara. Delapan jam. Di atas jalan tol yang sangat mulus.
Tidak ada pemandangan lain di kanan-kiri jalan itu. Kecuali tanah kosong gobi. Bukan tanah kosong pasir.
Jalan mulai menanjak. Berliku. Ada gunung di kiri. Sungai di kanan. Saya sudah melewati Nevada-nya Tiongkok. Memasuki Arizona versi Xinjiang.
Ngeri tapi indah. Indah tapi ngeri.
Ini bukan Xinjiang yang hidup di imajinasi saya.
Ini seperti di Montana!
Dahlan Iskan
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews