Cing Ming dan Pelajaran Kuburan

Kuburan itu penuh sesak. Dengan orang berpakaian muslim. Berdoa di dekat batu nisan. Lalu makan-makan di situ.

Sabtu, 6 April 2019 | 08:50 WIB
0
384
Cing Ming dan Pelajaran Kuburan
Jembatan tol Sichuan (Foto: Disway.id)

Sepanjang hari kemarin saja hampir 500 km. Saya menyusuri jalan tol. Yang sudah lama ingin saya lalui. Yang videonya banyak beredar di Indonesia. Yang melintas di sela-sela gunung. Atau di sela sungai. Yang disebut "jalan tol di atas awan".

Itulah jalan tol di wilayah pedalaman Tiongkok. Di dekat perbatasan. Antara Sichuan dan Yunnan. Antara Chengdu dan Kunming. Di ketinggian sekitar 1.500 meter.

Jumat kemarin adalah hari libur nasional di sana. Hari leluhur. Cing Ming. Atau, di Indonesia, sering disebut Cing Bing. Hari ke kuburan.

Sudah lima tahun ini Tiongkok menjadikan Cing Ming sebagai hari libur. Rupanya, biar komunis juga harus mulai menghormati leluhur.

Budaya ini ternyata tidak bisa dihapus oleh komunis sekali pun.

"Kita harus berangkat agak pagi," ujar Pak Bei yang mengemudikan mobil kemarin.

"Kenapa," tanya saya. 

"Sangat mungkin jalan macet. Banyak orang ke kampung halaman," katanya.

Benar saja jam 7.30 jalan di kota Chengdu sudah macet. Demikian juga ketika mulai masuk jalan bebas hambatan. 

Dari jauh saya lihat ada gerbang tol. "Oh.. Itu dia. Macet karena antre bayar," kata saya.

"Bukan," jawab pak Bei. "Hari ini tol gratis," tambahnya.

Hah? Tol gratis? Hari ini? Sejauh 500 km?

"Pemerintah menggratiskan jalan tol di setiap hari libur nasional," kata pak Bei. "Di seluruh negara," tambahnya. "Hanya truk dan bus yang bayar."

"Bagaimana kalau liburnya satu minggu? Seperti di sekitar hari kemerdekaan itu?" tanya saya.

"Tolnya juga gratis selama seminggu," jawabnya.

Ups.

Sejak kapan?

“Sudah sejak lima tahun lalu."

Eman.

Eman?

Entahlah.

Yang jelas saya segera minta maaf padanya. Gara-gara mengantar saya ia tidak bisa ke kuburan kemarin.

"Tidak apa-apa. Jangan minta maaf," katanya. "Saya sudah ke kuburan hari Minggu yang lalu," tambahnya.

Saya agak lega. Ternyata bukan hanya ia yang ke kuburan lebih awal. "Banyak juga yang seperti saya. Tidak mau berjejal," katanya.

Seperti Jumat kemarin. Terbukti memang sampai macet. Waktu ke kuburan itu memang pendek. Hanya pagi sampai sebelum jam 12 siang.

Setelah itu dianggap tidak afdol lagi. Justru bisa celaka. Ibarat matahari sudah mulai surut.

Apakah di negara komunis masih ada kuburan?

Tentu saja sudah tidak ada. Yang disebut kuburan itu adalah rumah abu. Semua jenazah harus dibakar. Abunya disimpan di "apartemen abu". Pemerintah menyediakan rumah abu itu. Berikut rak-raknya. Yang jumlahnya ribuan.

Abu itu ditempatkan di guci. Atau apa pun. Diberi nomor. Didaftar. Ditempatkan sesuai dengan nomornya. Keturunannya lah yang  menyimpan baik-baik nomor itu. Setiap Cing Ming di depan nomor itulah mereka sembahyang. Sambil meletakkan makanan-makanan kesukaan almarhum.

Itu dulu.

Sekarang pemerintah melarang peziarah membawa makanan. Terlalu sulit menyediakan tempat makanan itu. Juga sulit membuangnya. Kini peziarah hanya boleh membawa seuntai bunga.

Pun letak bunga itu tidak boleh di tempat masing-masing. Cukup diletakkan di satu altar bersama.

Pemerintah juga melarang peziarah naik mobil pribadi. Macet. Tidak ada tempat parkir. Semua harus naik bus. Dari terminal bus. Yang sudah disiapkan secara khusus. Pemerintah setempat sangat sibuk mengatur mudik Cing Ming ini.

Tentu saja masih tetap ada kuburan. Di Tiongkok. Khusus untuk orang Islam. Saya pernah ke kuburan seperti itu. Kesasar. Tapi justru jadi paham tentang kuburan.

Hari itu adalah Idul Fitri. Saya berada di rumah sakit. Ingin saya: ikut salat Id di masjid terdekat.

Saya pun cari taksi. Minta diantar ke tempat orang Islam berkumpul di hari lebaran seperti ini. Sopir taksi itu mengiyakan dengan penuh semangat. "Saya tahu," katanya.

Saya mulai curiga. Kok jauh banget. Lalu saya tegaskan bahwa saya ingin kumpul dengan orang-orang Islam. Yang akan bersama-sama salat.

"Iya. Saya tahu," katanya.

Akhirnya saya tersenyum. 

Ternyata saya dibawa ke kuburan.

Istri saya tertawa ngakak. Padahal dia sudah pakai mukena.

Sopir itu tidak salah. Kuburan itu penuh sesak. Dengan orang berpakaian muslim. Berdoa di dekat batu nisan. Lalu makan-makan di situ.

Bersama keluarga. Mereka, umumnya, memang membawa makanan.

Ya sudah.

Kami pun membeli makanan. Banyak sekali warung dadakan di dalam makam itu. 

Setelah itu kami kembali ke rumah sakit. Membawa pengalaman baru.

Kuburan pun memberi pelajaran.

Dahlan Iskan

***

Catatan: Judul asli artikel Disway.id ini "Pelajaran Kuburan"