Jurang antara Kata dan Perbuatan

Jurang ini memang selalu ada, tapi dalam dan luasnya jurang tersebut menentukan seberapa besarnya kemunafikan kita.

Jumat, 17 April 2020 | 20:48 WIB
0
481
Jurang antara Kata dan Perbuatan
Munafik (Foto: kiblat.net)

Tak bisa kita pungkiri bahwa kita hidup di dunia yang penuh dengan kemunafikan. Sudah bagaikan udara, kemunafikan terasa di setiap nafas yang kita hirup.

Kemunafikan yang kita lakukan, seringkali adalah kemunafikan yang tidak kita disadari. Keberadaannya seringkali kita tolak, meski terus kita lakukan setiap saat. Oleh karena itu, menyangkal bahwa kita adalah mahluk yang tak munafik justru adalah kemunafikan itu sendiri.

Untuk itu, kita perlu menyadari semua kemunafikan yang kita punya, dan mulai “menelanjangi bentuk-bentuk kemunafikan” yang bercokol di dalam diri dan masyarakat kita.

Kemunafikan Pendidikan

Kemunafikan bagaikan kanker yang menjalar ke seluruh tubuh bangsa kita. Di dalam pendidikan, kemunafikan menjadi paradigma yang ditolak, namun diterapkan secara sistematis.

Guru mengajar tentang kejujuran, sementara ia sendiri menyebarkan contekan untuk Ujian Nasional.

Pemerintah seringkali bicara soal sekolah gratis , tapi pungutan liar di sekolah-sekolah tetap berlangsung.  Paradigma mengajar dalam dunia pendidikan pun tetap sama, yakni memaksa untuk menghafal, dan memuntahkan kembali melalui ujian.

Berbagai ujian dibuat, namun tidak menguji apa yang sungguh penting. Kompetisi digalakkan, tetapi hanya berperan sebagai simbol tak berarti yang tak menandakan apapun. Gelar diberikan dan dipampang panjang-panjang, tetapi hanya simbol yang sia-sia belaka.

Pendidikan karakter pun selalu dikumandangkan ,tetapi sebenarnya hanya merupakan proyek pemerintah untuk mengucurkan uang lebih, dan tak jarang hanya menjadi kesempatan untuk dikorupsi.

Kemunafikan dalam Dunia Politik

Politik juga adalah bidang yang digerogoti oleh penyakit kemunafikan. Para pemangku kebijakan selalu tersenyum diberbagai media, sementara korupsi dan penipuan terus dilakukan.

Janji-janji indah digemakan, tapi praktek nyata untuk perbaikan kehidupan bersama tak kunjung tiba.  Pidato dibuat seindah mungkin, hanya untuk menutupi kenyataan sosial yang menyakitkan. Perjalanan dinas menjadi dalih untuk wisata pribadi dengan uang rakyat.

Pemilu dan pilkada, yang merupakan salah satu proses terpenting di dalam demokrasi, menjadi kesempatan untuk menjual diri ke rakyat, guna memperoleh kesempatan untuk korupsi di kemudian hari. Tak heran, politik kita kini semrawut.

Kemunafikan Agama

Agama, bidang kehidupan yang penuh dengan nilai luhur kehidupan pun tak lolos dari cengkraman kemunafikan.

Ajaran moral agama dipelintir untuk menindas kaum perempuan dan orang-orang yang berbeda pandangan.

Ajaran moral agama digunakan untuk membenarkan ketidakadilan dan pembodohan masyarakat.

Para pemuka agama berkhotbah tentang kejujuran, sementara mereka menipu banyak orang dengan ucapan manis. Tak sekali, mereka  berkhotbah tentang pentingnya cinta, namun bertindak menindas kaum perempuan dan kelompok lain yang ada di masyarakat.

Mereka suka berkhotbah soal moral dan kebaikan, namun luntur prinsipnya di hadapan kuasa uang dan seks.

Orang beragama pun senang mengumbar soal nilai-nilai kehidupan, namun bisa saling bunuh, hanya karena beda pandangan tentang satu ayat yang tertulis di dalam kitab tua.

Mereka juga gemar berkhotbah soal amal dan sifat luhur memberi, namun amal hanya untuk orang-orang yang sealiran, dan tidak untuk orang-orang yang berbeda pandangan, apalagi berbeda agama.

Akar Kemunafikan

Melihat hal-hal tersebut, kita lantas bertanya, dari mana akar kemunafikan ini?

Salah satu analisis yang paling masuk akal adalah kemunafikan yang lahir dari proses pendidikan dikeluarga, sebelum sistem-sistem lainnya menyentuh diri manusia.

Orang tua mengeluarkan ajaran yang berbeda, dengan apa yang sesungguhnya mereka lakukan.

Jurang antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan ini ditiru oleh anak, dan setelah sekian lama akhirnya menjadi bagian dari karakter dirinya.

Ayah berbicara tentang kesetian, sementara alat kelaminnya menjangkau banyak perempuan. Ibu berbicara soal kejujuran, sementara setiap bulannya, ia menggunakan uang rumah tangga untuk kepentingan yang tak jelas.

Orang tua berbicara tentang kerajinan, sementara seringkali, mereka sendiri malas bekerja. Orang tua juga tak sekali berkhotbah tentang pentingnya menaati aturan, tapi mereka sendiri sering melanggar aturan dan hukum, serta merugikan orang lain.

Akar dari kemunafikan adalah jurang yang terlalu besar antara kata dan perbuatan, antara ajaran dan tindakan di lapangan, serta antara apa yang “secara teoritis” menjadi tujuan bersama dan apa yang “secara nyata” terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.

Jurang ini memang selalu ada, tapi dalam dan luasnya jurang tersebut menentukan seberapa besarnya kemunafikan kita.

***