Cerpen | Senyuman Manggoa

Arkilaus pulang dengan 2 jerigen dan sebuah ember hitam berisi air. Ia sadar: Dengan ada Manggoa, ataupun tanpa Manggoa sekalipun. Hidup harus terus berjalan.

Sabtu, 30 Mei 2020 | 20:58 WIB
0
439
Cerpen | Senyuman Manggoa
Ilustrasi: Senyum Manggoa

Arkilaus termangu. Kini, di teras rumah ia suka menghabiskan waktu. Sepanjang pagi hingga malam ia bersarung, duduk dibungkus sepi. Menanti seseorang dari pohon alpukat didepan rumahnya. Sesekali ada tetangganya yang lewat dan menyapa. Ada yang berniat basa-basi, tapi ia hanya terdiam sambil beberapa kali menggeleng kepala.

Sudah hampir sebulan senyum di wajahnya redup. Pudar dikunyah Manggoa, Istrinya. Semenjak kepergian Manggoa yang entah ke mana, Arkilaus seolah-olah tak bergairah lagi untuk hidup. Ia tak lagi ke kebun untuk mengurus jagung, pisang dan ubi kayu.

Kini ia menarik sebatang rokok kretek sambil melihat kearah setapak. Pikirannya terus bertanya, di manakah gerangan Manggoa berada. Tatap matanya kosong, melanglang lepas melewati deretan bonsai dihalaman, beberapa batang ubi kayu, pucuk daun alpukat, membubung di atap rumah tetangga, lalu jauh ke ufuk senja tak bertepi. Sungguh, kasihan Arkilaus. Raut mukanya semakin pucat. Ia kelihatan semakin kurus. Kulitnya menghitam. Kumis dan jenggotnya memutih tak terawat.

“Kenapa dia tega sekali kasih tinggal saya?” batinnya membuncah.

Dulu, Arkilaus pekerja keras. Pagi-pagi sekali ia sudah berangkat ke kebun dan akan pulang saat senja mulai menampakan diri. Ia selalu pulang dengan membawa sebuh karung berisi ubi kayu, pisang,  bunga pepaya dan juga daun ubi. Ia juga sering membawa setumpuk makanan untuk hewan peliharaannya. Ia memang suka memelihara hewan.

Setiap hari selalu seperti itu. Ia selalu pulang dengan perasaan senang, apalagi saat disapa oleh Manggoa.

“Ini saya ada bawa bunga pepaya dan daun ubi kayu, Sayang.”

“Wuih, banyak sekali. Ambil dimana?”

"Saya pencuri."

Manggoa terkejut sambil menatapnya.

"Saya ambil dikebun lah. Masa saya pencuri?" Ia tertawa sambil berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan badan.

Ia teringat istrinya. Sontak dia matikan rokok, lalu berjalan meninggalkan teras. Bayang-bayang Manggoa sering menyergapnya. Tak kenal lelah.

Semua bermula saat ia pulang dari kebun sore itu. Entah angin apa yang berembus. Manggoa mendadak ingin pulang menemui orang tuanya di Amfoang. Ibunya sakit. Arkilaus pun mengizinkan.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, Manggoa tak kunjung pulang. Ia lalu berangkat ke kampung Manggoa. Betapa terkejut saat ia tiba disana.

“Kalau begitu Manggoa pergi kemana? Bulan lalu dia pamit ke saya, bilang mau lihat mama yang sakit.”

Arkilaus terkejut. Panik. Bingung. Dia tak mendapati Manggoa. Keluarga Manggoa pun kalang-kabut.

“Jangan-jangan kau ada masalah dengan dia?” tanya Ibunya Manggoa.

“Saya tidak ada masalah apa-apa dengan Manggoa, Mama."

“Trus dia ke mana?”

Seketika air mata ibu mertuanya pecah. Merintih. Arkilaus tak bisa menjawab. Ia hanya terdiam. Bingung. Kenapa bisa sial begini? Sejak menikah lima tahun lalu, tak pernah ada masalah luar biasa antara dia dan Manggoa. Mereka hidup rukun sentosa. Beribu tanda tanya berkecamuk dalam benaknya. Tak mungkin Manggoa setega itu? Tak mungkin ia lari dengan laki-laki lain? Jangan-jangan ia pergi bekerja ke luar negeri? Beragam pertanyaan yang tak tentu arah menyerang hati dan pikirannya.

Orang-orang kampung penasaran dengan kepergian istrinya yang tak pernah kembali. Kalau ada yang bertanya, ia hanya menjawab kalau istrinya sedang pulang kampung. Tapi lama-kelamaan mereka pun tahu kalau ia berbohong.

Saban hari ia termenung di teras. Sesekali paras Manggoa hadir kala ia menyeruput secangkir kopi. Cangkir itu dibelikan oleh Manggoa ketika mereka masih berpacaran 6 tahun lalu. Ia membayangkan sosok Manggoa yang menghampirinya, menyodorkan secangkir kopi terbalut senyum, lalu duduk di sampingnya. Dia lalu mencium kening Manggoa dengan lembut.

Jika mengenang-ngenang, Manggoa memang sangat manis dan baik. Selain itu, ia juga pandai memasak. Pokoknya Manggoa adalah perempuan idamannya. Komplet. Tapi ia tak habis pikir, kenapa bisa istrinya yang tak pernah sekalipun ia maki dan pukul itu bisa pergi meninggalkannya. Ia tiba-tiba menangis. Meratapi nasipnya. Tersedu-sedu. Tak mampu lagi ia membendung air mata. Semua tumpah. Susah hati. Kopinya dingin.

***

Sudah genap 5 bulan Manggoa meninggalkan Arkilaus. Hening dan kosong. Arkilaus tampak kurus kering, rambutnya makin lebat. Ia seolah- olah hilang harapan.

“Kenapa kau tinggalkan saya begini? Kalau ada yang salah, silahkan omong atau marah, tapi tolong jangan tinggalkan saya begini. Manggoa ee, kau tega sekali.”

Isi kepalanya berkecamuk.

Setelah beberapa bulan memikir istrinya. Ia akhirnya memberanikan diri keluar rumah. Ia akan ke Kota Kupang untuk mencari Manggoa. Seandainya ia mati di sana, dia ikhlas. Soal Kota Kupang itu sangat luas dan harus mencari disudut mana, ia tidak peduli. Pokoknya harus berangkat.

Dengan tekad kuat, Arkilaus akhirnya berangkat dari Kuanfatu ke menuju Kupang. Ia berangkat dengan bekal harapan dan kerinduannya pada Manggo, serta uang 200ribu yang ia pinjam dari koperasi. Dua kali ia berpindah Bis. Awanya menggunakan bis jurusan Kuanfatu-Soe, lalu Soe-Kupang. Setiba di Kupang, ia bingung harus memulai dari mana mencari belahan jiwanya.

Sudah beberapa hari ia di Kupang, berjalan tak menentu. Putus asa pelan-pelan menghinggapi dirinya. Manggoa tak kunjung ditemui. Dia pegang foto Manggoa kuat-kuat. Dia tunjukkan kepada siapa pun yang dia temui. Tak ada yang tahu. Malah sebagian orang merasa kasiahan kepadanya lalu memberikannya uang.

Sudah hampir seminggu ia mencari, tapi selalu tak ada hasil. Ia pasrah. Hidupnya sudah tak berarti lagi.

"Tuhan ee, saya minta maaf. Tapi jujur, saya mau mati saja. Saya tidak bisa hidup tanpa Manggoa."

Arkilaus mengutuki diri sendiri. Ia takluk menghadapi hantaman badai hidup yang tak menentu. Kakinya tak mampu lagi melangkah mencari Manggoa. Mungkin Manggoa sudah mati. “Tidak ada guna lagi saya cari Manggoa. Lebih baik saya juga ikut mati.” Ia akhirnya pulang ke rumahnya di Kuanfatu dengan tangan hampa. Kosong.

Sekarang dia sudah buntu. Tekadnya sudah bulat. Utuh. Sempurna. Tak bisa tidak. Mati jadi pilihan terakhir. Kepergian Manggoa tidak hanya merenggut senyumnya, tapi juga harus menjemput nyawanya.

Malam itu, dengan memejamkan mata, sebilah pisau dia arahkan perlahan ke perutnya. Mulutnya terkatup. Saat ia hendak mengayun pisau, tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu. Ia cepat-cepat membuka pintu, berharap Manggoa datang sebagai Mesias Penyelamat.

“Kenapa Feki? Kenapa datang malam-malam?”

“Jangan marah, Om. Bapa ada suruh saya datang pinjam kunci ingris.”

“Tunggu!" Ia menghilang sebentar lalu kembali dengan kunci ingris ditangannya.

"Ini", Ia menyodorkan kunci ingris. "Nanti kalau sudah pakai, jangan lupa antar kembali ee", Ia melanjutkan.

"Iya, Om." Feki menjawab lalu menghilang dibalik tiris rumahnya.

Mulai malam itu, ia berulang kali ingin bunuh diri, tapi selalu saja gagal. Dulu dia ingin bunuh diri dengan menggantungkan tubuhnya di pohon Alpukat. Tapi gagal karena ada sarang lebah. Ia lalu lari terbirit-birit. Ia juga pernah ingin melompat dari jembatan, tapi tidak jadi. Ia ditahan oleh beberapa tukang ojek lalu dinasehati oleh seorang pendeta dan beberapa tua adat dikampungnya. Ia pernah juga berniat menenggemkan dirinya ke Cekdam. Batal.

Baru mau melompat, ia melihat seekor buaya di seberang. Dia juga pernah ingin meminum racun. Racun tikus yang ia campur dengan segelas kopi, tapi tetap saja gagal. Saat hendak meneguk, ia melihat wajah Manggoa didalam gelas. Ia juga pernah pergi ke seorang "Tim Doa" di Amanatun, tapi tim doa itu bersikap aneh. Ia meminta uang muka sebelum di doakan. Ia akhirnya putus asa. Ia tak jadi mati. Ia hanya mengutuki dirinya sendiri setiap hari.

Suatu ketika, ia bertemu dengan seorang kakek yang tak pernah ia kenal. Mereka bertemu di sebuah mata air di tepi sungai saat ia hendak menimba air . Ia menyapa Arkilaus terlebih dahulu, lalu mereka berkisah. Arkilaus meluapkan kegundahan hati dan niatnya untuk bunuh diri tapi selalu saja gagal. Ia merasa hidupnya tak berharga. Ia tak layak hidup. Tuhan pilih-pilih kasih. Tuhan tak punya belas kasihan padanya. 

“Saya mengerti rasanya kalau ditinggalkan oleh istri, Arkilaus, " Kakek itu duduk memandangnya lekat-lekat. Sorot matanya berpaut pada Arkilaus. Suaranya parau. Arkilaus menyeringai datar, lalu tertegun. Diam. Membisu.

“Tapi hidup harus terus berjalan. Tak tahukah kau betapa murkanya Tuhan kalau kau bunuh diri? Neraka akan menjadi tempatmu, Arkilaus. Hidup memang selalu ada masalah, tapi hidup harus terus berjalan. Tak boleh berhenti! ”

Arkilaus menunduk.

“Tahukah kau betapa berharganya dirimu dimata Tuhan?”

Arkilaus mengangkat kepala. Hanya menatap sekilas. Lalu kembali menunduk.

“ Tuhan sayang padamu makanya ia memberimu ujian seperti ini. Trus kau juga harus mengerti kalau kehilangan itu hanya soal waktu saja. Hari ini atau esok, kita pasti akan mengalami kehilangan. Baik itu kehilangan istri, orang tua, sahabat, anak dan lain-lain. Bahkan diri kita sendiri pun suatu saat akan hilang. Kehilangan itu adalah hukum alam, ia bersifat pasti. Tak bisa kau tolak.”

Arkiaus hanya terdiam sambil mengorek tanah dengan sebatang kayu kering. 

"Inti dari hidup ini hanya dua hal, Arkilaus. Hanya perubahan dan perbedaan. Kita harus bisa menerimanya. Kehilangan adalah bagian dari perubahan. Itu juga sekaligus adalah perbedaan itu sendiri."

Arkilaus tergeragap.

Tak lama lelaki tua itu pun pamit. Arkilaus tertegun sembari memandangi punggung kakek itu yang bergerak menjauh. Lamat-lamat, makin jauh, lalu sirna bersama kesiur angin. Arkilaus mencelupkan gayung pada mata air berbentuk cekungan. Ia lalu menuangkannya perlahan-lahan ke dalam jerigen. Saat jerigen hampir penuh, ia tiba-tiba  melihat sesuatu. Seperti ada orang yang melihatnya dari balik mata air. Ia menoleh kekiri dan kanan lalu kembali melihat mata air itu.  Ia terkejut, ada senyum Manggoa mekar di sana. 

Arkilaus pulang dengan 2 jerigen dan sebuah ember hitam berisi air. Ia sadar: Dengan ada Manggoa, ataupun tanpa Manggoa sekalipun. Hidup harus terus berjalan.

Rumah biru, Mey 2020.

***

Honing Alvianto Bana. Lahir di Kota Soe - Nusa Tenggara Timur. Ia suka kopi dan juga sopi. Ia sama seperti banyak orang yang kau temui dipersimpangan jalan.