Jika Hiroko Lahir di Indonesia: Bagaimanakah Nasibnya?

Senin, 2 Juni 2025 | 10:55 WIB
0
9
Jika Hiroko Lahir di Indonesia: Bagaimanakah Nasibnya?
(Cover Buku Namaku Hiroko, Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Dalam novel Namaku Hiroko karya NH. Dini, kita diajak mengikuti kehidupan seorang perempuan Jepang bernama Hiroko yang mengalami banyak perubahan dalam hidupnya. Dari pedesaan menuju kota, dari hidup sederhana ke lingkungan orang berada, dan akhirnya kembali ke realitas yang lebih keras. Saat membaca kisahnya, saya bertanya-tanya: bagaimana jika Hiroko lahir di Indonesia? Apakah hidupnya akan sama?

Adat Jepang

Salah satu hal yang menonjol dari novel ini adalah penggambaran kebiasaan dan adat masyarakat Jepang. Dalam kalimat,

Sebagaimana adatnya, nyonya berjanji akan mengabari bilamana ada pekerjaan untukku,” 

terselip nilai-nilai budaya yang halus namun kuat. Adat di Jepang begitu teratur dan penuh sopan santun, meskipun di baliknya kadang tak menjanjikan kepastian. Hiroko terbiasa hidup dengan rapi, penuh etika, dan disiplin, bahkan ketika hidupnya sulit. 

Suprapto

Dalam novel Namaku Hiroko, ada tokoh Suprapto, pria Indonesia yang sempat menjalin hubungan dengan Hiroko. Dikatakan bahwa hubungan mereka tidak bisa lanjut karena “perbedaan wilayah.” Namun bagi saya, pernyataan ini bisa dibaca lebih dalam. Mungkin bukan soal jarak geografis, tapi perbedaan cara pandang hidup. Hiroko adalah perempuan mandiri yang sudah mengalami banyak hal, sedangkan Suprapto tampak membawa nilai-nilai patriarki yang mengharapkan perempuan “ideal” dalam kerangka tradisional. Ia, seperti banyak laki-laki Indonesia, mungkin merasa tidak siap menghadapi perempuan yang sudah “pernah mengalami sesuatu.”

Sama halnya, di Indonesia, perempuan seperti Hiroko bisa jadi akan dipinggirkan: dianggap “tidak pantas,” terlalu bebas, atau bahkan tidak layak untuk dicintai. Sering kali masih membatasi perempuan lewat standar tertentu.

Apakah Ini Kritik NH. Dini terhadap Budaya Kita?

Sebagai pembaca, saya menangkap bahwa NH. Dini seolah menyampaikan kritik terhadap budaya Indonesia, khususnya cara masyarakat memandang perempuan. Di Indonesia, perempuan seperti Hiroko bisa jadi akan dipinggirkan: dianggap “tidak pantas,” terlalu bebas, atau bahkan tidak layak untuk dicintai. Padahal, seperti Hiroko, mereka hanya ingin hidup sebagai manusia yang utuh, dengan pengalaman, luka, dan pilihannya sendiri.