Tentang Bossman Mardigu

Orang kaya itu bebas, bisa bebas bersikap hangabehi: paling pinter, paling sukses, paling tahu, paling di depan, dan seribu satu paling lainnya. Tapi semua berhenti pada "paling-paling".

Senin, 25 Mei 2020 | 21:02 WIB
1
5088
Tentang Bossman Mardigu
Bossman Mardigu (Foto: tribunnews.com)

Opini pertama saya tentang tokoh yang lagi ngehits ini (lepas dia sengaja dimunculkan atau tidak) adalah orang kaya itu bebas. Istilah ini sejatinya plesetan dari jargon jalanan orang Jogja "wong edan ki bebas" atau lebih tepatnya "sing bebas ki mung wong edan". Ia muncul sebagai cinderella man, sebuah kerja pansos yang luar biasa.

Dengan sukses story, yang menurut ceritanya dari anak kampung, putu kyai, kemudian jadi anak kolong yang tidak begitu pintar. Tetapi dengan keberuntungan anak dewa, menjadi salah dua dari lima kursi yang disediakan pemerintah untuk sejak lulus SMA bisa sekolah di luar negeri. Amerika lagi, sesuai mimpi-mimpi yang disimpan dalam dompetnya.

Dari situ cerita sukses, mengalir begitu saja. Dia berubah jadi "apa saja", dosen dan ahli di Lemhanas, pebisnis minyak dan gas, main properti, nambang ini itu, dan blabla. Latar belakang ilmunya yang psikologi aplikasi memang memungkinkan dirinya masuk dalam bidang apa saja. Termasuk yang paling muskil dunia intelejen negara.

Ia bisa masuk jeroan banyak bisnis, berikut rahasia-rahasia perusahaan yang sebelumnya tertutup rapat. Apalagi ia punya minat cukup dalam tentang segala berbau "geo-politik" yang sependek yang tahu di PTN hanya diajarkan atau berumah di Jurusan Hubungan Internasional. Klop cocok dan sempurna!

Opini kedua saya ia model tokoh yang Hangabehi, meminjam istilah Helmi Yahya "ucapannya ilmu semua". Ia menjangkau cara berpikir dan berperilaku hulu hingga hilir. Apa yang belakangan secara terlambat saya pahami sebagai cara berbisnis ala "Kadrun". Tolong digarisbawahi kadrun disini dengan K besar dan tanda petik, singkatnya kadrun sisi baik (atau malah terbaik).

Ia tampak sempurna sekali mengelola bisnis non-profit seperti Rumah Yatim. Ini menegaskan pemeo kalau ingin bisnis-mu besar kelolalah rumah yatim, bangun rumah ibadah, pesantren, atau apa saja. Selalu ada pamrih besar duniawi dari sebuah perbuatan baik.

Ok, siapa bisa mengingkari! Artinya, ia memang secara serius mempersiapkan diri untuk menjadi "sangat besar" sejak dini. Bahwa ia berakhir seperti apa di hari ini, itu urusan lain!

Apa yang ia sebut secara melankolis sebagai "singa tua yang terluka". Hanya karena dirugikan oleh sebuah BUMN yang bermain curang. Aneh, emang ada BUMN yang gak curang! Dan kemudian ia menjadi salah satu garda terdepan untuk menjadi komprador "pembenci Cina", saya pikir alasannya sangat logis. Di luar ideologis, jelas ia bisa saja memang kalah efisien.

Efisien disini bisa dibaca sebagai kalah modal, kalah tega, kalah koneksi, kalah kotor. Intinya kalah dan orang kalah harus berbicara, sekeras mungkin kalau perlu!

Opini Ketiga dan terakhir saya (sementara), ia pebisnis gimmick. Apa yang diucapkan kadang kala melenceng jauh dari harapan. Ia tidak akan pernah mengakui penganut teori konspirasi. Tapi dalam setiap paparannya berisi teori konspirasi semua. Kenapa? Ia tahu teori konspirasi itu ujungnya, kalau istilah jaman dulu tak lebih kerjaan atau gaya tukang obat. Menakjubkan di awal, jualan pada akhirnya.

Di depan ia akan tampak sangat bermoral, apa yang dia anggap bukan sisi saya, tidak sisi kamu, tapi sisi kebenaran. Semua teori konspirasi akan selalu duduk di sisi kebenaran, seabu-abu apa pun, bahkan sehitam putih apa pun. Dalam ilmu sosial, tak ada teori seseksi ilmu konspirasi.

Ia tampak memberi ilmu canggih, tapi bagi sebagian yang pernah belajar secara akademis di ilmu terkait. Itu hanya ilmu dasar pada bagian paling kulit. Dan sisi paling lemahnya, ia naif dan sok misterius. Ia sangat senang dianggap sebagai "shadow power", kekuatan tak terlihat dan misterius. Ingin selalu di balik panggung, tapi criwis terus di banyak media.

Dan sisi paling buruk malah bersedia hadir dimana-mana, ikut di panggung banyak orang. Dari Podcast Deddy Coubuzier, lapaknya Helmy Yahya, bahkan Maiyahan-nya Cak Nun. Dan selalu dengan kata kunci "kalau bukan...." atau "ini yang terakhir...." Sayangnya publik tahu itu diulang bahkan berulang kali. menegaskan ia tak lebih lebih murid Hitler, dengan praktek ilmu bohong yang sama.

Secara pribadi hal seperti itu baik-baik saja dan sesuai dengan semangat jamannya. Publik diuntungkan kok dengan banyak ilmu konspirasi ini-itu yang ia rajin kemukakan. Yang selama ini tidak pernah didedah secara kontekstual. Saya hanya risi, tatkala ia bersikap semua hal yang dilakukan pemerintah saat ini salah semua. Bagi saya seorang bila sudah jadi Salawi, istilahnya batal semua wudhu-nya. Semua sepak terjang China tidak ada sisi baiknya. Sehingga semua yang bahkan sekedar pernah bercakap dengannya, sudah dianggap sebagai anteknya.

Dan bagian paling saya risi: suka tidak suka, dunia toh akan bertekuk lutut di tangan Globalis. Loh emang selama ini kita ada dimana, lalu ngapain saja. Bukankah kehidupan, selama azasnya kemajuan, maka harus mengikut siapa saja yang ada di depan? Dan tawaran solusinya adalah Akselerasi UKM dan NKRI Garis Lurus. Itu semakin lucu, karena bukankah semua pejabat juga mengatakan hal yang sama? Dan hasilnya: sami mawon, mawut!

Sekali lagi orang kaya itu bebas, ia bisa bebas bersikap hangabehi: paling pinter, paling sukses, paling tahu, paling di depan, dan seribu satu paling lainnya. Tapi bagi saya toh semua berhenti pada "paling-paling". Paling-paling ya mung ujunge pengin ikut masuk di dalam, pengen kue yang lebih besar, dan yang paling sudah nyata: jualan produknya sendiri. Ya buku, ya training, ya konsultan, apa saja yang bisa dijual....

Menguji ketulusan seorang pebisnis hebat dan berpengaruh itu sesungguhnya sederhana: seberapa sering ia main medsosan. Medsos itu lahan criwis wong cilik kayak saya.

Begitu saja!

***