Memoirs of Rudy Badil [6]: "Kita ini Heike ataukah Genji?"

Kepergian Rudy Badil kehilangan bagi para pecinta alam, khususnya di lingkungan Universitas Indonesia.

Kamis, 29 Agustus 2019 | 22:01 WIB
0
379
Memoirs of Rudy Badil [6]: "Kita ini Heike ataukah Genji?"
Saya di depan jenazah Rudy Badil (Foto: Dok. pribadi)

Dil, satu pertanyaan yang belum sempat kuajukan ke padamu adalah: "Kita ini Heike atau Genji?"

Jangan kaget, kenapa kok ujug2 aku melemparkan pertanyaan itu. Begini ceritanya.

Pada Abad 11-12 (zaman Heian) di Jepang ada dua klan besar, Heike dan Genji. Mereka berangkat dari kelas warrior, samurai atau semacam kelas ksatria kalau di sini. Keduanya selalu bersaing, berperang untuk menjadi "the ruler". Heike meraih kekuasaan setelah menghabisi hampir semua keturunan Genji, hanya menyisakan dua orang anak kecil.

Setelah menang dan berada di pusaran kekuasaan, lambat laun klan Heike mengikuti gaya hidup kelas nobel, kelas paling atas, kaum imperial. Di puncak kebesarannya, mereka mulai terlena, meniru kaum yg lebih mengedepankan intrik daripada melatih otot dan strategi perang. Pemimpinnya juga telah memotong rambut samurainya. Bahkan kalau perlu, memindahkan alisnya ke jidat demi derajat.

Hingga, suatu hari mereka harus menghadapi kenyataan: hilangnya semangat warrior di klan mereka. Mereka seperti para nobel, yg kocar-kacir mengira sedang diserang, padahal hanya gemuruh suara burung terbang.

Dua anak Genji yg telah tumbuh dewasa dan menghimpun kekuatan, hanya memerlukan satu saja gebrakan mengagetkan burung, untuk membuat kekuasaan Heike runtuh.

Ini yg tampaknya kita hadapi di Indonesia. Rata2 para pelaku media konvensional sudah mengenakan jubah nobel, dan telah menanggalkan baju zirah warrior mereka. Mereka susah bergerak dan terlalu malu terlihat di depan umum. 

Lihatlah sekarang di perempatan2 jalan, nyaris tidak ada penjaja koran. Pun di lapak2 pinggir jalan. Ke mana mereka menghilang? Atau, lihatlah suasana kantor yg senyap. Dalam kesenyapan, strategi perang ataukah ilmu ginkang yg sedang dimainkan? Yang pasti, koran makin tipis.

Apakah kita ini kaum Heike yg kocar-kacir diterjang Genji, kelas warrior yg tumbuh lewat medsos dan media online?

Kemarin aku jalan2 ke kota paling metropolis di Asia, yaitu Hong Kong. Cukup terkesima, karena gerai-gerai koran masih begitu banyak, di pinggir jalan maupun di minimarket. Bahkan, di dalam mall ada ibu tua masih mengasong koran.

Aku juga memotret pemulung koran yg masih bisa hidup dari sampah kertas itu. Para pengelola media konvensional di sana, tampaknya masih menunjukkan kelasnya sebagai kelas warrior, benar2 "the last standing" spirit. Padahal, musuh mereka serupa dengan musuh kita. Bahkan, mungkin lebih besar dari kita.

Lalu, apakah kita ini kelas warrior ataukah kaum nobel yg sedang terbirit-birit?

Sepanjang aku mengenalmu, sampai Allah menghentikan gerakmu kemarin, kamu adalah pribadi yg tak pernah diam. Bahkan di tubuh rentamu, ide2mu terus bergerak, tubuhmu sigap mengikuti ke mana gagasanmu menuju, walau tertatih-tatih.

Terakhir, bbrp bulan lalu kamu telpon aku, lagi bantu bikin buku ttg batik Banyumas. Sebelumnya, kamu menggarap "Soe Hok Gie Sekali Lagi", dan banyak lainnya. Aku tahu, apa yg kamu pegang hampir pasti jadi. Kalau liat kamu, kadang aku berkata, "Gile ni Badil, kagak ade matinye!"

Kurasa, kamu itu satu-satunya Genji yg tersisa, yg hidup di antara sekumpulan nobel. Genji yg lebih keras, karena masih memainkan pedang di atas kertas.
Selamat jalan, samurai.

(Selesai)

BST

***

Tulisan sebelumnya: Memoirs of Rudy Badil [5]: "Mojokuto"