Sketsa Harian [31] Langkah dan Suara Misterius Itu

Ajaibnya, sepanjang malam itu saya tidak mendengar suara itu lagi. Tidak ada lagi suara orang ramai bekerja, langkah kaki ke sana ke mari atau mendengar suara misterius gamelan bali dari kejauhan.

Sabtu, 23 November 2019 | 06:03 WIB
0
479
Sketsa Harian [31] Langkah dan Suara Misterius Itu
Ilustrasi setan penggoda manusia (Foto: dream.co.id)

Masih dari Bali selatan. Cerita tentang setan. Malam kedua selepas berbagi ilmu tentang menulis opini kepada pegawai Bank Indonesia alias BI, kami makan malam bersama. Seorang pegawai BI yang duduk semeja bercerita, malam pertama menginap di Padma, hotel yang lumayan ekslusif itu, ia tak tahan dengan suasana malam yang menurutnya sangat mencekam.

"Tengah malam kok saya mendengar orang ramai bekerja, suara langkah kaki yang keras seolah-olah ada kesibukan," ia mulai berkisah. "Saya sampai stress menunggu pagi tiba, tapi pas lihat jam kok masih jam dua jelang dinihari, saya akhirnya menghidupkan televisi dan tak bisa tidur lagi."

Kami menanggapinya sambil menikmati steak kambing berlumur saus jamur. Steak kambing beraroma khas yang baru diangkat dari bara dan bisa diambil berulang-ulang, kalau perut masih muat. Pegawai BI --sebut saja Pak Kumbang-- masih mendeskripsikan posisi kamarnya secara detail.

"Bayangkan, kamar itu letaknya paling ujung. Karena paling ujung, kamar itu ibarat jalan buntu. Ada dinding sebagai penanda bahwa lorong itu buntu," ungkapnya sambil memotong steak kambing. "Pokoknya sepi dan menyeramkan, sialnya saya tidur di sana pada hari pertama sebelum saya minta pindah kamar keesokan harinya."

"Kamar 101, bukan?" tanya saya yang langsung ia iyakan, "Tepat sekali. Kok Akang tahu?" Saya jawab langsung, "Lha itu kamar tempat tidur saya sekarang."

Kami pun tertawa terbahak-bahak. Rupanya kamar yang saya tempati, sebuah kamar dengan harga sewa lumayan semalamnya itu, menyimpan misteri. Kamar mahal-mahal kok berhantu, pikir saya. Itu sebuah kamar yang menghadap langsung ke bibir jurang. Selepas jurang, naik perbukitan lagi dan bertemu dataran tinggi.

Kamar tidur disekat partisi berupa rolling door terbuat dari kayu, menghubungkannya dengan kamar mandi, closet, shower dan bathtube yang berbentuk perahu. Ada lemari dengan sejumlah hanger, setrikaan dan pengering rambut.

Di atas penyimpanan setrika dengan dudukannya, ada bantal cadangan. Tempat tidur double, tapi itu menjadi percuma wong saya tidur sendiri. Kalaupun tidur berdua, satu kasur lagi pasti nganggur hahaha...

Omong-omong, apa yang diceritakan Pak Kumbang pada hari pertama di 101 itu (ia sudah lebih awal menginap) sama persis dengan yang saya alami. Saya juga mendengar hal serupa, persis seperti ceritanya.

Bedanya.... Nah ini bedanya; Pak Kumbang ketakutan sementara saya menganggap suara itu suara orang yang memang sedang bekerja. Bisa saja 'kan ada pekerjaan perbaikan yang dilakukan malam hari. Jadi ga kepikir sama sekali kalau itu setan atau hantu blau.

Sekira tengah malam, pada malam pertama saya menginap, saya memang penasaran dan membuka gorden untuk keluar melihat apa yang terjadi. Kok ya ramai betul orang bekerja malam-malam begini. Ya saya buka saja gorden berlapis dua itu dan mulai membukakan pintu. Tiba-tiba angin gunung menerjang dari depan. Gorden tersingkap ke dalam. Wuih, besar juga anginnya, bergemuruh pula, batin saya.

Suara malam terdengar syahdu. ada alap-alap terbang rendah dengan kecepatan tinggi. Sedang berburu mangsa rupanya. Serangga malam terdengar kencang di lembah sana. Ah, ga ada suara apa-apa... hanya terdengar desau angin malam saja. Oh ya, pegawai BI lainnya mendengar suara gamelan bali sayup-sayup.

Saya tidak mendengar apa-apa selain suara malam, pun suara gamelan yang mistis. Akhirnya saya balik badan, menutup gorden rapat-rapat, mengunci pintu dan kembali merebahkan diri. Subuh baru bangun kembali.

"Jadi Akang juga mendengar suara serupa?" tanya Pak Kumbang.
"Iya, saya dengar."
"Takut, Kang?"
"Biasa aja," kata saya.

Sehabis makan malam, saya pamit untuk istirahat di kamar 101, kamar paling ujung hotel itu. Ini malam kedua sekaligus malam terakhir di Padma. Memang ada perasaan lain setelah Pak Kumbang bercerita tentang kondisi kamar itu. Tetapi, saya langkahkan kaki masuk kamar sekitar jam 10 malam tanpa keraguan sedikit pun.

Ajaibnya, sepanjang malam itu saya tidak mendengar suara apa-apa lagi. Tidak ada lagi suara orang ramai bekerja, suara langkah kaki ke sana ke mari atau mendengar suara misterius gamelan bali dari kejauhan.

Sunyi. Sepi. Sendiri...

#PepihNugraha

***

Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [30] Kasta Bule