Kisah Sedih Sutopo Purwo Nugroho

Kepala LIPI memberikan solusi kepada dirinya untuk keluar atau resign dari BNBP dan kembali lagi ke BPPT supaya bisa mendapatkan gelar profesor riset. Tapi Sutopo tidak mau.

Jumat, 12 Juli 2019 | 16:00 WIB
0
320
Kisah Sedih Sutopo Purwo Nugroho
Sutopo Purwo Nugroho (Foto: Tabloid Bintang)

Sutopo Purwo Nugroho sebagai Kepala Pusat Data Informasi dan Humas di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menutup mata untuk selama-lamanya akibat penyakit kanker paru-paru. Loyalitas dan tanggung jawabnya dalam bekerja tidak perlu diragukan. Bahkan perlu menjadi contoh. Wajahnya selalu menghiasi di media televisi setiap ada bencana yang sifatnya nasional.

Sutopo Purwo Nugroho sejak SD,S MP dan SMU selalu berprestasi dan raking satu. Ketika kuliah di Universitas Gadjah Mada Fakultas Geografi, Sutopo lulus tercepat di angkatannya dan menjadi mahasiswa berprestasi untuk tingkat nasional.

Namun begitu, prestasi demi prestasi yang diraihnya dalam pendidikan tidak menjadikan jaminan pembuka atau jalan mulus untuk mendapatkan pekerjaan. Biasanya kalau menjadi mahasiswa dengan lulus cum laude dan menyandang mahasiswa berprestasi akan lebih mudah mendapat pekerjaan. Malah sebelum lulus sudah ada perusahaan atau instansi pemerintah yang sudah siap menampung. Tapi itu tidak berlaku bagi Sutopo Purwo Nugroho.

Menurut Sutopo Purwo Nugroho, setelah lulus kuliah dari UGM tidak langsung mendapat pekerjaan atau tawaran dari instansi pemerintah. Tapi ia mengirimkan lamaran pekerjaan sebanyak 32  ke berbagai instansi pemerintah atau perusahaan. Dari 32 lamaran perkerjaan yang dikirim setengahnya atau 16 lamaran tidak ada respon, 5 ditolak dan 7 mendapat panggilan sampai tahap tes.

Dan, akhirnya diterima menjadi PNS di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Kariernya di BPPT sangat cemerlang. Hampir tiap dua tahun sekali mendapat kenaikan pangkat sebagai PNS. Dan di usia 42 tahun, Sutopo Purwo sudah  mencapai tingkat Golongan PNS VI/e atau pangkat tertinggi sebagai PNS. Pendidikan juga sudah S3.

Dari sinilah cerita sedih atau pahit Sutopo Purwo Nugroho dimulai.

Sebagai PNS karier sudah mentok. Sutopo ingin meraih gelar profesor riset, tapi satu bulan sebelum pembacaan orasi profesor riset, tiba-tiba dibatalkan oleh pihak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tepatnya bulan November 2012. Padahal, semua persyaratan seperti berkas dan adminitrasinya sudah disetujui oleh pihak LIPI dan Surat Keputusan atau SK sebagai peneliti utama sudah ditandatangani oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada waktu itu.

Menurut Sutopo Purwo, anak-anaknya sudah bikin jas, orang tuanya sudah syukuran, gedung dan catering juga sudah dipesan untuk menyambut pengukuhan gelar profesor riset. Sebulan sebelum orasi dibatalkan oleh LIPI hanya karena Sutopo Purwo menjabat sebagai Kepala Pusat Data Informasi dan Humas di BNPB yang menurut LIPI bukan lembaga riset. Padahal, menurut Sutopo Purwo, ia di BNBP sebagai tenaga yang diperbantukan dan statusnya masih sebagai PNS di BPPT.

 "Anak-anak saya sudah bikin jas, bapak saya sudah syukuran, gedung dan katering sudah dipesan. Satu bulan sebelum orasi, acaranya dibatalkan oleh LIPI. Gara-gara saya menjabat Kapusdatinmas di BNPB yang bukan lembaga riset. Padahal status saya saat itu peneliti BPPT yang diperbantukan di BNPB. Hanya gara-gara soal pasal karet ditafsirkan pejabat LIPI akhirnya dibatalkan," kisah Sutopo sebagaimana diberitakan Detik.com.

Sutopo Purwo merasa dipermainkan oleh LIPI hanya karena status dirinya menjadi tenaga yang diperbantukan di BNBP dan mencari-cari kesalahan adminitrasi dirinya.

Sutopo Purwo begitu terpukul atas batalnya dirinya menjadi profesor riset yang dibatalkan oleh pihak LIPI. Akhirnya Sutopo Purwo menghadap Kepala LIPI Lukman Hakim mempertanyakan alasan pembatalan dirinya sebagai profesor riset. Menurut Sutopo Purwo, mengapa tidak diberi tahu dari awal saat penulisan makalah orasi yang bolak-balik ke LIPI. Tapi jawaban LIPI, "Karena waktu itu tidak tahu."

"Saya tanya mengapa saat semua siap tiba-tiba dipermasalahkan status saya. Mengapa tidak dari awal saat saya nulis makalah orasi yang bolak-balik ke LIPI. Kata mereka, karena waktu itu tidak tahu," ujar Sutopo.

Bagaimana bisa sekelas LIPI bisa teledor dan tidak teliti menyangkut masa depan seorang yang ingin menjadi profesor?Jangan-jangan tidak suka ketika yunior ingin menjadi profesor riset ketika usianya masih muda?

Tapi, menurut Sutopo, Kepala LIPI memberikan solusi kepada dirinya untuk keluar atau resign dari BNBP dan kembali lagi ke BPPT supaya bisa mendapatkan gelar profesor riset. Tapi Sutopo tidak mau, setelah berkonsultasi dengan Kepala BNBP Syamsul Maarif waktu itu.

Dan Sutupo merasa diperlakukan tidak adil.

"Mengapa ada pejabat yang mempersulit orang lain. Harusnya bangga ada profesor muda yang banyak prestasi dan bisa menjadi contoh orang lain," ujar Sutopo.

Kalau alasannya riset, di BNPB tidak kalah sebagai bidang riset dibanding peneliti di LIPI dan BPPT.

"Padahal kalau mau jujur, apa yang saya lakukan di BNPB itu melebihi riset daripada sebagian peneliti di LIPI dan BPPT sana. Bayangkan saya memantau tiap hari bencana. Begitu ada bencana saya analisis. Pengetahuan saya, saya curahkan. Langsung saya berikan ke media, masyarakat dan pimpinan,  termasuk Presiden. Teori-teori yang ada kita terapkan langsung di lapangan. Hasilnya saya tulis dalam buku, rilis dan makalah. Apa itu bukan penelitian?" sambungnya mempertanyakan.

Inilah cita-cita Bapak Sutopo Purwo Nugroho yang belum tercapai sampai menutup mata untuk selama-lamanya akibat penyakit kanker paru-paru.

Al-Fateha...

***