Gus Dur dan Pemikiran tentang Masa Depan Indonesia

Minggu, 30 Desember 2018 | 09:35 WIB
0
3006
Gus Dur dan Pemikiran tentang Masa Depan Indonesia
Theys dan Gus Dur (Foto: Lakpesdam NU Jateng)

Haul Gus Dur ke- 9 meski diselenggarakan Minggu, 16 Desember 2018 di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur,  gaungnya menggema di berbagai pelosok tanah air. Mengapa tidak, Gus Dur atau nama lengkapnya Dr (HC) KH Abdurrahman Wahid itu, selain mantan Presiden Republik Indonesia, ia adalah juga cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang di dalam politik mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Gus Dur telah lama tiada. Ia meninggal dunia pada 30 Desember 2009 di usia 69 tahun di Jakarta. Tetapi namanya tetap abadi dan selalu dikenang sebagai Sang Guru Bangsa. Bahkan penulis buku "Gus Dur Garis Miring PKB (Surabaya: MataAir, 2008), A. Mustafa Bisri atau sering dipanggil Gus Mus itu di dalam Takdim bukunya setebal 122 halaman menggarisbawahi bahwa Gus Dur itu dianggap wali.

Gus Dur itu ibarat nabi Khaidir, jadi tidak pantas memimpin partai. Soalnya, nabi Musa saja tidak bisa paham sikap nabi Khaidir, apalagi warga PKB.

Buku ini sangat menarik, karena dipaparkan menjelang Gus Dur menjadi Presiden Republik Indonesia ke empat, tentang Cinta Gus Dur, Cinta Umat. Karena Gus Mus memang seorang penulis, maka tidak hanya hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan di dalam negeri, tetapi Gus Mus juga menulis tentang "Gus Dur dan Perdamaian Dunia."

Buat saya, yang sangat dekat dengan Thaha Al-Hamid, waktu itu sebagai Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua (PDP), tetapi ia  pernah pula  menjadi sekretaris saya di Lembaga Hukum Himpunan Mahasiswa Islam (LHMI-HMI Cabang Jayapura, 1978-1979 1979-1980),  ketika ia tidak dapat menahan haru berbicara sosok Gus Dur dapatlah saya pahami.

Waktu itu, ia terbata-bata dan mata memerah seraya  mengambil tisu di atas meja dan menyeka air matanya, ia menganggap Gus Dur sangat paham akan jati diri orang asli Papua.

Pada waktu itu, Thaha menitikkan air mata yang diliput oleh salah satu stasiun televisi nasional. Thaha yang tegar itu larut dalam suasana ketika menceriterakan kunjungan Gusu Dur sebagai seorang Presiden RI. Thaha dan kawan-kawan ditahan. Pada

Gus Dur berkunjung ke Papua tahun 2000, dan sempat mengunjungi para anggota PDP di tahanan yang saat  atas tuduhan makar. Beliau minta ke Kepala Kepolisian Daerah Papua yang waktu itu dijabat Pak Wenas.

Lalu Gus Dur katakan, ia harus bertemu dengan ke lima orang PDP, Theys dan kawan-kawan, ujar Thaha.

Memang hubungan Gus Dur dengan Theys luar biasa sekali. Kemudian pada kunjungan di tahun 2006, Gus Dur juga sempat minta pemerintah Indonesia agar almarhum Ketua PDP, Theys Hiyo Eluay dinobatkan sebagai pahlawan nasional, ujar Thaha.

Theys, nama lengkapnya adalah Theys Hiyo Eluay. Dia tewas saat berumur 64 tahun, tepat pada Hari Pahlawan 10 November 2001, setelah menghadiri upacara Hari Pahlawan yang diselenggarakan Pemerintah Daerah (Pemda) Irian Jaya di Jayapura. Sepulangnya menghadiri Hari Pahlawan itu, ketika menuju rumahnya di Jalan Bestirpos 5, Sentani Kota, yang berjarak sekitar 55 km, Theys tidak pernah lagi pulang ke rumah.

Setelah dicari-cari, akhirnya jenazah Theys ditemukan tertelungkup di jok mobil miliknya, jenis Toyota Kijang bernomor polisi B8997 TO dengan wajah babak belur dan luka dipelipis, dahi dan leher. Posisi mobil nyaris masuk jurang. Mobil yang kaca depannya hancur itu, masih tertahan pada sebatang pohon. Dari kondisi jenazah, muncul dugaan, Theys dibunuh setelah diculik.

Sebagaimana sosok Thaha Al-Hamid yang taat beragama Islam, Theys sebenarnya bukanlah tokoh oposisi. Theys adalah mantan anggota Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Dia sangat berjasa dalam mempertahankan masuknya Irian Jaya ke wilayah Indonesia.

Bahkan pernah juga menjadi anggota DPRD Irian Jaya dari Golkar selama tiga periode. Tetapi entah apa yang melatarbelakanginya, akhirnya Theys menyebut dirinya Pemimpin Besar Dewan Papua Merdeka sekaligus menjadi Ketua Presidium Dewan Papua.

Kembali ke sosok Gus Dur, Thaha menganggap bukan hanya dirinya merasa cukup dekat dengan Gus Dur, juga hampir seluruh orang Papua merasa dekat dengan Gus Dur. Misalnya, Gus Dur juga sangat dekat dengan Ketua Dewan Adat Papua dan tokoh-tokoh adat lainnya di Papua, termasuk Tom Beanal.

"Bahkan beberapa kali jika kami sudah jarang mengunjunginya, Gus Dur akan tanya dan pasti kami datang mengunjungi beliau. Jadi silaturahmi kami dengan beliau tetap jalan, walau sudah tak menjabat presiden," ungkap Thaha.

Makna sosok Gus Dur, kata Thaha, terlalu luar biasa bagi Papua dan orangPapua. Kita tak hanya kehilangan seorang kiai, seorang bekas presiden, dan seorang guru, tapi sebenarnya kita kehilangan kitab hidup. Sebuah kitab yang terus memberikan nasihat, tutur Thaha mengenang sosok Gus Dur.

Ada beberapa alasan masyarakat di Papua tak pernah melupakan sosok Gus Dur. Misalnya, pada 31 Desember 1999, tanpa perlu berpikir panjang, Gus Dur yang saat itu sebagai Presiden Indonesia, mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua.

Kemudian selama hidupnya, Gus Dur beberapa kali mengunjungi Papua, yakni pada 1999, selanjutnya pada 2000 dan terakhir pada 2006. Oleh karena itu, Gus Dur di mata rakyat Papua khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya patut dikenang.

***