Pertaruhan Amien Rais

Selasa, 8 Januari 2019 | 17:01 WIB
1
537
Pertaruhan Amien Rais
Koleksi majalah dan buku tentang Amien Rais (Foto: Tarli Nugroho)

Amien Rais bukanlah politisi atau intelektual kemarin sore. Ia sudah terkenal sejak masih mahasiswa. Esai-esainya padat dan tajam. Ceramah-ceramahnya enak dikunyah.

Ia memang bisa menulis dan berbicara sama baiknya. Itulah yang membedakannya dengan Cak Nur, Dawam, atau Kunto. Meski tulisannya bagus, ketiga rekan Amien tadi bukanlah tipikal pembicara yang bisa menyihir pendengarnya. Sementara Amien bisa. Kelemahan putera Solo ini barangkali hanyalah ia tak punya nafas panjang. Sebagian besar tulisannya memang hanya berupa esai-esai pendek.

Sebagai aktivis, pendakwah, sekaligus ilmuwan politik, telah lama Amien bertaruh dengan risiko karena harus bergesekan dengan kekuasaan. Risiko yang dihadapinya tidaklah kecil, karena sejak dulu ia concern dengan isu-isu ekonomi politik.

Ya, ia bukan hanya berdakwah tentang keimanan dan ketakwaan, tapi juga tentang kemiskinan, ketimpangan, dan isu-isu struktural lainnya. Ia tak hanya berkutat di soal-soal normatif dan estetika sosial, tapi juga terjun ke soal-soal politik yang sensitif.

Kritiknya verbal, tak bersifat pasemon dan karikatural sebagaimana sejumlah intelektual atau pemimpin ummat segenerasinya. Tak heran, di ujung kekuasaan Orde Baru, ia mudah sekali menjadi ikon perubahan, menjadi idola di ambang pergantian alaf. Ia memang pantas mendapatkan panggung besar itu.

Di ujung kekuasaan Orde Baru, oleh media Amien digunakan sebagai juru bicara untuk melawan Soeharto. Namun, sesudah Soeharto tumbang, ia mengalami proses "demonisasi". Sepertinya, ada pihak-pihak yang tak menyukai jika karir politik Amien terus moncer.

Dan, mereka mulai mengorbitkan matahari-matahari lain, matahari-matahari yang tiba-tiba saja menjadi raksasa di halaman-halaman dan layar media sesudah pergantian milenium. Mereka dikesankan sebagai brahmana yang lebih suci daripada Amien Rais yang sudah terlalu politis.

Masalahnya, para brahmana tadi tak pernah bertaruh apapun. Atau, paling tidak tak pernah bertaruh banyak. Mereka tak pernah mempertaruhkan jabatannya karena menyinggung pusat kekuasaan. Tak pernah mempertaruhkan nyawanya karena berani menyentuh tabu-tabu politik yang mengusik penguasa.

Rumah mereka tak pernah menjadi incaran peluru nyasar. Mereka, tanpa mengurangi hormat, paling banter juga hanya bisa berjualan isu-isu "kosmetika sosial" belaka.

Amien bukanlah orang suci. Dan ia memang tak perlu dibela untuk alasan-alasan utopis semacam itu. Namun ia pernah bertaruh banyak. Ia sangat pantas diberi kehormatan untuk itu.

***