Messi, Belenggu Sejarah, dan Pengkhianatan

Indonesia memiliki peluang untuk bisa membentuk tim sepakbola seperti Barca, karena kita memiliki banyak pemain bola yang postur tubuhnya 165 cm – 170 cm, seperti Messi!

Kamis, 2 September 2021 | 09:21 WIB
0
200
Messi, Belenggu Sejarah, dan Pengkhianatan
Lionel Messi (Foto: antaranews.com)


Entah berapa kali Lionel Messi mengatakan, akan menutup karir sepakbolanya di Barcelona, klub tempatnya belajar dan menjadi pesepakbola profesional.

Namun waktu membuktikan lain. Setelah Barcelona dikalahkan Munchen 2-8, Messi memutuskan hengkang dari Camp Nou dan memilih berlabuh di Etihad Stadium. Tapi kemudian batal.

Sejatinya tulisan ini saya mau posting sebelum pertandingan Barcelona vs Chelsea 15 Maret 2018. Artikel ini ditulis tahun 2011.

Salah satu gestur paling indah dari sepakbola adalah gerakan drible Diego Maradona yang meliuk-liuk melewati lima pemain Inggris (Peter Beardsley, Steve Hodge, Peter Reid, Terry Butcher, dan Terry Fenwick) dari tengah lapangan hingga menceploskan bola ke gawang Peter Shilton, di Estadio Azteca pada laga 22 Juni pada Piala Dunia 1986 Mexico.

Aksi itu merupakan ritual pertobatan Maradona atas dosa besar yang ia lakukan lima menit sebelumnya, mendorong bola dengan ‘Tangan Tuhan’ ke gawang yang sama.

Aksi penebusan dosa itu bukan saja ditaburi pujian di halaman media di seluruh jagat waktu itu, tapi juga setumpuk analisis: bagaimana mungkin Maradona yang hanya bertinggi badan 165cm dan berbobot 78 kilogram, bisa melakukan satu aksi yang demikian spektakuler?

Salah satu riset mengenai korelasi antara orang ‘bertubuh pendek’ dengan prestasi dalam olahraga, termasuk sepakbola, dilakukan oleh tim peneliti dari Reventropy Associates San Diego, California. Thomas T. Samaras, Elrick dan Badai melakukan riset itu selama 20 tahun.

Hasilnya sangat mengejutkan! Orang bertubuh pendek memiliki banyak keunggulan fisik berdasarkan hukum-hukum fisika dan anatomi tubuh, dibandingkan mereka yang bertubuh tinggi.

Orang bertubuh pendek memiliki kecepatan reaksi yang lebih tinggi, memiliki kemampuan lebih besar untuk mengakselerasi gerakan, otot-otot dan daya tahan tubuhnya lebih ‘aman’ dari cedera.

Mereka juga memiliki kemampuan untuk mengubah arah gerak tubuh secara tiba-tiba, berbalik badan atau memutar tubuh, lebih cepat dan stabil.

Mereka, potensi risiko (akibat benturan) yang mereka hadapi relatif rendah karena tubuhnya lebih lentur. Sehingga mereka memiliki keunggulan untuk lebih berprestasi dalam olahraga, senam, ski, rodeo, panjat tebing, atletik dan ... sepakbola!

Nah, kajian ilmiah membuktikan bahwa memang aksi seperti yang dilakukan Maradona itu, lebih mungkin dilakukan oleh orang-orang yang bertubuh pendek. Tidak perlu heran, dalam buku besar sepakbola, ada sederet nama pemain hebat bertubuh pendek.

Sebut saja, Bruno Conti, Jose Maria Bakero, Adjat Sudrajat, Vincenzo Montela, Yusuf Bachtiar, Michel Owen, Kun Aguero, Carlos Teves dan…Lionel Messi tentu! Mereka sering membuat para pemain belakang lawan yang umumnya bertubuh tinggi menjulang, seperti ‘penjaga malam yang selalu ketiduran’.

Dan memang, sejarah dunia pun mencatat hal serupa. Julius Caesar, Napoleon Bonaparte, Horatio Nelson, Mohandas Gandhi, Deng Xiao Ping, BJ. Habibie adalah orang-orang bertubuh pendek tapi melakukan sesuatu yang hebat untuk negerinya dan dihormati dunia.

Dalam sepuluh tahun terakhir, dunia selalu disuguhi pertunjukan Orchestra Sepakbola menawan yang dimainkan oleh sekumpulan orang-orang pendek dari semenanjung Iberia, Barcelona.

Andres Iniesta, Xavi Hernandes, Daniel Alves, David Villa, dan Lionel Messi, mereka sepertinya memahami dan merasakan betul apa yang dipaparkan oleh Thomas T. Samaras dan kawan-kawan.

Di sisi lain, spesifikasi bola yang digunakan dalam sepakbola, berdiameter rata-rata 28 cm, sangat ideal dimainkan oleh orang yang bertinggi badan 165 cm – 170 cm.

Mereka, pada taraf professional, lebih mampu melakukan berbagai aksi dengan bola, pada tingkat penguasaan bola yang tinggi dan konsisten.

Seperti halnya orang Perancis, orang Spanyol juga umumnya merasa kurang nyaman bila mendengar kata ‘Inggris’. Bagaimana tidak, beberapa kali Negeri Matador itu dicabik-cabik oleh angkatan laut Inggris. Setidaknya tercatat empat kali mereka menderita kekalahan telak dari angkatan laut Inggris.

Itu terjadi pada perang Cape St. Vincent, perang Santa Cruz de Tenerife, penyerbuan Inggris ke Cadiz, dan yang paling membekas adalah perang di laut Trafalgar. Dalam perang itu, 33 kapal angkatan laut Spanyol yang dibantu 6 kapal perang Perancis diluluh-lantakkan oleh 26 kapal perang Inggris.

Tidak sampai di situ, setelah perang usai pada tahun 1805, angkatan laut Inggris menduduki Gibraltar, sampai sekarang! Bahkan otoritas yang mengontrol lalulintas laut di Selat Gibraltar yang menghubungkan Laut Tengah dengan Samudra Atlantik, tidak di tangan Spanyol atau Marroco, dua negara yang mengapit selat itu, tapi di tangan The Royal Navy.

Bagi orang Spanyol, Gibraltar seperti belenggu sejarah yang hingga kini menggelayuti harga diri mereka. Sebaliknya, bagi orang Inggris, berbicara tentang Gibraltar seperti ekstasi yang membangkitkan gairah nasionalisme yang menempatkan mereka (seolah) setingkat di atas bangsa-bangsa Eropa Kontinental.

Untuk menggambarkan satu kondisi yang baik, orang Inggris biasa mengatakan, “Seperti berlayar di Selat Gibraltar.”

Tidak hanya orang Perancis dan Spanyol, orang Argentina pun tidak suka mendengar kata Inggris.

Tahun 1982, ketika mereka hendak merebut kembali bagian tanah milik mereka, Malvinas yang kaya mineral, Inggris seolah ingin mengulang kejayaan angkatan lautnya, menggempur Argentina dan memaksa Presiden Leopoldo Galtieri menandatangani surat pengakuan kalah.
Rasa kecewa, malu, dan marah bangsa hispanik ini tidak akan hilang dari ingatan. Mereka selalu menantikan lembaran baru sejarah, dimana ratu kejayaan berpihak pada mereka, bukan pada orang-orang Inggris.

Baca Juga: Kita Pun Ikut Menangis Bersama Lionel Messi

Ketidaksenangan orang-orang Spanyol atas Inggris, mereka tumpahkan tidak di lautan, tapi juga di lapangan hijau.

Lapangan hijau adalah palagan untuk menghapus kegundahan, sekaligus kesempatan bagi orang-orang Spanyol untuk meredakan dendam. Karena untuk menghapusnya, tidak mungkin sama sekali.

Makanya ketika Maradona sukses ngerjain Inggris di Piala Dunia 1986 dan membawa gelar juara, dipuja laksana mesias penebus segala dosa.

Setiap kali klub Spanyol akan bertanding melawan klub Inggris, media Spanyol selalu mengingatkan bahwa mengalahkan klub Inggris bukan sekedar untuk menang atau menjadi juara, tapi satu bentuk pengentasan atas belenggu sejarah.

Menjelang pertandingan Barcelona melawan Arsenal dalam babak 16 besar Liga Champion Eropa musim 2015-2016, media-media Spanyol menyebut Arsenal sebagai ‘klub kesayangan Ratu Elizabeth’.

Mereka seperti ingin menegaskan bahwa klub yang harus dikalahkan ini adalah klubnya Ratu Inggris. “Kalahkan mereka! Permalukan mereka! Seperti yang sering mereka lakukan pada kita.”

Pertandingan itu sendiri menjadi panggungnya Messi, pemain asal Argentina bertinggi badan 169 cm. Ball possession Barcelona mencapai 67%. Dari angka itu, lebih dari 20% bola berada di kaki Messi. Padahal pemain Barcelona ada 11 orang.

Proses gol pertama Barcelona, seperti membuktikan hasil riset Thomas T. Samaras dan kawan-kawan. Sebelum menuntaskan dengan tendangan horizontal, Messi sempat menahan bola agar tidak melaju deras dan ditangkap kiper Almunia. Sehingga, bola melambung membentuk anti-parabola melewati Almunia.

Untuk melakukan aksi seperti itu, waktu yang tersedia kurang dari satu detik. Dan untuk bisa mengukur secara akurat, tenaga untuk mencongkel bola hingga melambung dan tak terjangkau Almunia.

Tapi ketika bola itu turun dapat terjangkau kaki kiri untuk penyelesaiannya, diperlukan bakat, skill dan keterampilan yang sangat tinggi, yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah menasbihkan dirinya untuk sepakbola, dan direstui Tuhan.

Messi sudah berkali-kali menegaskan akan mengakhiri karir sepakbolanya di Barcelona, sebagai loyalitas total pada klub yang membesarkannya. Tapi Messi bukan Julius Caesar yang memilih menyeberangi Sungai Rubicon, untuk meraih kekuasaannya, meski kematian menjadi taruhannya.

Setelah Barcelona dikalahkan Munchen 2-8, Messi memutuskan hengkang dari Camp Nou dan berlabuh di Etihad Stadium. Apakah itu pengkhianatan seorang hispanik Argentina yang memilih bergabung dengan klub Inggris? Mungkin Messi hanya ingin bersama ‘ayahnya’, Pep.

Lalu apa pelajarannya bagi kita? Indonesia belum pernah menjalankan program pembinaan sepakbola seperti yang dilakukan Barcelona, seperti halnya belum pernah ada gerakan kebersihan kota yang sungguh-sungguh, seperti yang dilakukan Singapura.

Artinya, Indonesia memiliki peluang untuk bisa membentuk tim sepakbola seperti Barca, karena kita memiliki banyak pemain bola yang postur tubuhnya 165 cm – 170 cm, seperti Messi!

***