Mengapa Orang Jawa Suka Teh Manis sementara Orang Sunda Suka Teh Tawar?

Orang Jawa dan orang Sunda mempunyai kebiasaan yang berlawanan bukan soal cara menyajikan minum teh manis dan tawar.

Senin, 16 Desember 2019 | 14:02 WIB
0
1575
Mengapa Orang Jawa Suka Teh Manis sementara Orang Sunda Suka Teh Tawar?
Teh (Foto: suara.com)

"Deso mowo coro, Negoro mowo toto".

Ungkapan filosofis Jawa ini mempunyai arti atau tafsir kurang lebih: setiap desa atau daerah mempunyai cara, kebiasaan atau tradisi masing-masing dan setiap negara juga punya aturan atau peraturan tersendiri.

Jadi, setiap desa atau daerah mempunyai cara atau kebiasaan yang masing-masing tidak sama dan setiap negara juga punya aturan atau undang-undang yang setiap negara berbeda aturannya.

Begitu juga terkait tradisi atau kebiasaan "minum teh", setiap daerah atau negara berbeda-beda-baik cara membuatnya atau menyajikannya. Seperti di Indonesia, Cina dan Jepang.

Yang ingin dibahas di sini cara atau kebiasaan "minum teh" orang Jawa dan orang Sunda.

Orang Jawa dan Sunda punya kebiasaan "minum teh" yang berbeda atau berlawanan. Bagi orang Jawa-teh itu identik dengan rasa legi (Jawa) atau manis. Makanya kalau bertamu ke rumah orang Jawa, kalau menyuguhi minuman "teh", pasti manis dan kental atau pekat.

Sedangkan bagi orang Sunda, teh itu identik dengan rasa tawar atau tidak manis dan warnanya juga cenderung encer atau tidak pekat seperti "teh nya" orang Jawa. Dan orang Sunda kalau menyuguhkan minuman "teh" pasti tawar atau tanpa gula.

Bagi orang Jawa, minuman tawar itu air putih. Sedangkan bagi orang Sunda minuman tawar itu bisa berarti teh, bukan air putih.

Makanya, kalau makan di rumah makan atau warung pinggir jalan  di tanah Pasundan tanpa diminta pasti diberi minuman teh tawar panas atau anget. Kecuali minta teh manis.

Kalau makan di rumah makan atau warung di Jawa Tengah, Jogjakarta dan Jawa Timur kalau pesen minuman teh pasti manis. Kecuali pesan teh tawar, itupun juga terasa pahit karena cenderung kental. Makanya kalau makan di rumah makan atau warung di Jawa dikasih air putih dan gratis.

Perbedaan atau kebiasaan  soal minum teh manis atau teh tawar ini terkadang menimbulkan persepsi negatif. Misalnya:orang Jawa yang bertamu kepada  orang Sunda dan disuguhi "teh tawar", bagi orang Jawa mungkin timbul persepsi negatif, "kok pelit banget, ngasih gula saja ga mampu."

Padahal kebiasaan orang Sunda minum teh itu tawar atau tidak manis, bukan berarti pelit atau tidak sanggup membeli gula pasir. Begitu juga sebaliknya, ketika orang Sunda bertamu kepada orang Jawa dan disuguhi teh super manis dan kental, pasti akan kaget dan mungkin tidak diminum.

Mengapa orang Jawa cenderung minum teh dengan rasa manis dan kenthel dan mengapa orang Sunda minum teh tawar dan tidak kental?

Apakah karena orang Jawa kurang manis, makanya perlu yang manis-manis, atau karena orang Sunda sudah manis atau geulis makanya tidak perlu minum teh dengan rasa manis?

Apakah karena kebiasaan gaya hidup di atas menyebabkan orang Jawa lebih banyak terkena "diabet" dan orang Sunda jarang terkena "diabet"? Belum ada survey yang membuktikan soal itu. Akan tetapi cara orang Sunda minum teh tawar secara kesehatan lebih benar dan sangat dianjurkan minum teh tanpa gula.

Orang Jawa dan orang Sunda mempunyai kebiasaan yang berlawanan bukan soal cara menyajikan minum teh manis dan tawar.

Seperti di Jawa ada wayang kulit yang terbuat dari kulit kambing, maka di Sunda juga ada wayang Golek yang terbuat dari kayu. Bahkan dalam penggunaan bahasa, baik bahasa Jawa dan Sunda ada tingkatannya dan ada juga bahasa kasar dan halus atau lemes orang Sunda menyebutnya. Orang Jawa suka vokal "O" dan orang Sunda suka vokal "A".

Bibir orang Jawa lebih tebel atau cenderung terbuka karena sering mengucapkan huruf "O", sedangkan urat leher orang Sunda suka ketarik kalau berbicara karena ada penekanan. Semisal: henteuu, kunaouun. Dan orang Sunda menyukai nada-nada tinggi dibanding orang Jawa, semisal dalam seni tarik suara atau pesinden.

Menurut orang Jawa ada kosakata yang menurutnya dianggap bahasa krama atau halus, tetapi menurut bahasa Sunda dianggap bahasa yang kasar. Atau begitu juga sebaliknya, bagi orang Sunda ada kosakata yang dianggap lemes atau halus, bagi bahasa Jawa itu terkasuk kosakata kasar.

Bahkan ada kosakata yang sama tapi punya arti yang berbeda seperti Gedhang dalam bahasa Jawa artinya pisang, tapi dalam bahasa Sunda artinya pepaya. Atau sampeyan dalam bahasa Jawa artinya Anda atau kamu dan ini bahasa halus penuh pernghormatan, tetapi dalam bahasa Sunda artinya kaki. Bagong kalau di Jawa nama tokoh punakawan, kalau di Sunda-Bagong artinya babi.

Ada satu cerita, pengantin baru orang Jawa nikah dengan orang Sunda. Lakinya orang Jawa dan wanitanya orang Sunda. Namanya pengantin baru hari-harinya dipenuhi "indehoi atau bercinta" yang tak kenal waktu dan lelah. Setiap bercinta si wanita sering mendesah atau merintih dengan kata-kata: atos, mas,atoos, mas, atoooss, mas. Mendengar desahan atau rintihan dari sang istri dengan kosakata: atos-sang suami merasa kejantannya dipertanyakan seolah-olah kurang keras atau atos.

Ketika bercinta lagi-sang istri masih mengucapkan kata-kata: atos, mas, atoos , mas, atooos, maas-"masaak kayak gini kurang keras sih neng," jawab suami dengan suara lirih.

"Bukan mas, maksudku, udah ga kuaat, bukan kurang keras," kata istri sambil senyum malu-malu.

"Oalaah gitu tho neng maksudnya,kirain punya mas kurang keras," kata suami dengan wajah plong atau lega.

Ternyata ada miskomunikasi terkait kosakata yang sama tapi punya arti berbeda yaitu "atos". Dalam bahasa Jawa "atos" punya arti keras, sedangkan dalam bahasa Sunda artinya "sudah." Gara-gara kata "atos" urusan ranjang penuh ketegangan.

Semenjak terjadi Perang Bubat 1357 M pada abad ke-14 dan meninggalnya putri Dyah Pitaloka Citraresmi atau putri Kerajaan Pasundan,telah terjadi "perang dingin" antara etnis Jawa dan Sunda. Bahkan sampai beratus-ratus tahun lamanya.

Dan baru rekonsiliasi di era Gubernur Ridwal Kamil dan Gubernur DIY Sri Sultan hampir dua tahun yang lalu dengan menamai jalan di kota Jogjakarta dan di kota Bandung dengan nama Mataram dan Siliwangi. Selama ini, tidak ada nama jalan Siliwangi di Jogjakarta dan tidak ada nama jalam Mataram di Bandung. Itu imbas dari perang dingin kerajaan Jawa dan Sunda.

Begitulah sejarah masa lalu, terkadang tidak mengenakkan untuk dibahas kembali karena takut akan malah menimbulkan friksi-friksi baru.

***