Dengan selembar uang sepuluhribuan, saya bisa membeli waktu sekitar dua jam untuk sampai ke Stasiun Palmerah, menanti CL yang akan membawa ke rumah di pemberhentian Stasiun Sudimara.
Membeli waktu? Aneh juga judul tulisan ini, lha siapa yang jualan waktu? Waktu kok harus dibeli?
Dulu sewaktu masih bersekolah di sekolah dasar, orangtua berlangganan koran Suara Karya. Tepatnya pemaksaan sih, karena sebagai guru, orangtua wajib berlangganan. Suara Karya dikenal sebagai korannya Golkar zamannya Soeharto. Siapa berani melawan?
Saya ga tertarik baca beritanya, paling berita headline-nya saja yang saya baca sekadar pengetahuan. Atau buat gaya-gayaan debat ala anak-anak. Tapi yang saya suka adalah Suara Karya Minggu-nya. Mereka menamakan diri "SKM" --bukan Susu Kental Manis-- tapi Suara Karya Minggu itu.
Nah, di SKM ini ada rubrik ucapan orang-orang penting atau daftar penemu-penemu macam Buku Pintar-nya Iwan Gayo. Rubrik ini biasa saya kliping, lalu ditempelkan di buku tulis untuk saya hapalkan!
Di SKM ini pula saya baca serial dari Erich von Daniken tentang UFO sampai-sampai saya meyakini kalo alien itu ada.
Teringatlah saya di SKM itu akan satu kutipan sebagai berikut; "alangkah hebatnya jika aku bisa membeli sedetik waktu yang telah berlalu". Wuihhh.... kurang keren apa tuh kutipan, jauh lebih keren tinimbang alien.
Belakangan saya mencerna, maksud kutipan itu adalah bagaimana seharusnya seseorang menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya, jangan buang-buang waktu percuma. Pelajar ya belajar yang bagus bukan main game, mahasiswa ya belajar jangan pacaran mulu, karyawan/pegawai ya bekerja jangan bolos atau hobi demo.
Kemarin saat saya pesan ojek online sehabis bertemu dengan anak-anak muda, mereka kaget saat yang datang itu sepeda motor, "Hah? Ga salah, Kang? Kenapa ga pesen GoCar aja!?" Saya jawab, "Saya biasa pake GoJek kok, bisa lebih cepet."
Sebenarnya bukan saya pelit alias ngirit, mentang-mentang sudah pensiunan jadi serba ngirit. Ga juga. Bedanya "cuma" sepuluh ribu aja kok, sebab GoJek pun ternyata sekarang mahal. Malah kalau lagi untung GoCar lebih murah!
Anak-anak muda itu tahunya saya bermobil dan merasa aneh tatkala harus naik GoJek. Dulu, dulu banget, sekitar 3 tahun lalu, saya ga lepas naik mobil kemanapun pergi. Tetapi sekarang, saya merasa "terbelakang" (maksudnya ga mengikuti kekinian) kalau masih berada di balik kemudi, lalu buang-buang waktu karena macet yang luar biasa.
Kadang waktu tempuh Bintaro-Palmerah kalau lagi sial bisa mencapai dua jam dan bahkan tiga jam untuk jarak sekitar 25 kilometer. Ini kan absurd! Sementara dengan kereta commuter line (CL) jarak yang sama cuma makan waktu 20 menit saja!
Jadi kalau saya masih menggunakan mobil di tengah kemacetan yang mencekik, ya saya menjadi orang "terbelakang", padahal MRT, Transjakarta, dan ojek online ada di mana-mana.
Kamu tahu kenapa saya lebih memilih naik GoJek yang terbuka tinimbang naik Gocar atau GrabCar yang nyaman berpendingin udara itu. Saya takut waktu terbuang percuma!
Memang beda ongkos Rp10.000 sih, tapi naik GoCar/GrabCar bisa memakan waktu satu setengah sampai dua jam karena macetnya sedang menggila di siang yang memanggang itu. Sedangkan pake GoJek, waktu tempuh tidak lebih dari setengah jam. Pilih mana? Jelas pilih yang cepet nyampe dong!
Dengan selembar uang sepuluhribuan, saya bisa membeli waktu sekitar dua jam untuk sampai ke Stasiun Palmerah, menanti CL yang akan membawa ke rumah di pemberhentian Stasiun Sudimara. Memang panas, berdebu dan berangin saat naik GoJek, tapi kompensasinya lebih cepat tiba di tujuan.
Sesampainya di rumah saya mandi biar segar dan waktu dua jam yang saya beli itu saya gunakan untuk tidur siang.
Paham 'kan maksudnya?
#PepihNugraha
***
Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [6] Selepas Bangun Tidur
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews