Dua Tahun yang Seru [2] Wawancara untuk Jadi Guru Honorer

Aku sampaikan kalau aku mau ke Salatiga, dan wawancara kerja untuk jadi guru honorer. Aku sebutkan nama sekolah yang buka lowongan itu.

Selasa, 16 Juni 2020 | 08:46 WIB
0
232
Dua Tahun yang Seru [2] Wawancara untuk Jadi Guru Honorer
Ilustrasi pengendara sepeda motor (Foto: trenasia.com)

Wawancaraku di sekolah itu hari Jumat. Jadi aku akan berangkat hari Kamis pagi. Sorenya, aku sudah di Salatiga, menginap di rumahnya Rojali. Besoknya aku ikut wawancara. Barang yang kubawa hanya map berisi dokumen-dokumen yang kuperlukan, laptop, dan pakaian untuk tiga hari. Aku berpikir, karena tahun ajaran baru mulai lagi bulan Juli, aku bisa pulang dulu ke Batang jika misal aku diterima.

Kamis pagi aku berangkat naik motor. Kurang lebih jam 9 aku sudah siap. Saat berpamitan pada orang tua, aku sadar bahwa ekspresi ibuku agak berbeda dibanding semalam. Yang dominan bukan kemarahan, tapi, apa ya? Pokoknya kayak kalau dulu waktu kecil aku mau ikut study tour, atau mau kemah, gitulah. 

“Hati-hati ya, Mid,” cuma itu pesan bapakku. Aku mengenakan helm, dan berangkat ke Salatiga. Karena kampungku itu di dataran tinggi Batang, aku tidak akan lewat jalur pantura yang berbahaya. Aku akan lewat jalan-jalan kecil ke arah Boja dan Gunungpati, baru masuk jalan besar di Ungaran.

Entah karena aku bawa motornya agak ngebut atau gimana, sekitar pukul 11 siang aku sudah melewati Pasar Gunungpati. Artinya aku sudah tiba di daerah Semarang. Rencanaku sih berhenti dulu untuk makan siang dan istirahat sebentar di daerah Ungaran, baru melanjutkan perjalanan ke Salatiga. 

Sadar diri uangku tidak banyak, aku tidak berani makan di warung-warung besar yang ada di pinggir jalan utama itu. Dulu sewaktu aku kecil pernah diajak bapak ibu ke Pak Kempleng, jadi aku sadar bahwa untuk situasiku sekarang, aku tidak akan kuat makan di sana. Terlebih aku masih butuh uang untuk selama berada di Salatiga, dan perjalanan pulang. Jadi aku membelokkan motorku ke jalan kecil yang menuju sebuah sekolah tinggi kesehatan, karena aku yakin di sana akan banyak warung murah. 

Pas, aku melihat ada warung ramesan kecil. Letaknya tepat di seberang musala kampus. Sebenarnya di sebelahnya, ada warung ayam goreng krispi, cuma aku tidak yakin dengan harganya jadi aku memilih memarkirkan motorku di depan warung ramesan.

Suasana warung lumayan ramai. Sepertinya karena jam makan siang, mahasiswa pada ke sini. Ternyata warung itu menggunakan halaman rumah, dengan terasnya digunakan untuk konter makanannya. Seorang ibu berjilbab, sepertinya pemilik warung juga, sedang memindahkan makanan dari dalam rumah ke konter.

“Bu, saya mau pesan,” ucapku.

“Monggo, ambil sendiri Mas, nanti kalau sudah selesai makan baru bayar,” ucap ibu pemilik warung itu.

Setelah mengambil makanan, aku mencari tempat duduk. Ada satu tempat yang nggak begitu ramai, bareng dengan tiga orang anak muda, kurang lebih lima tahun lebih muda dari aku. Satu laki-laki berkacamata, satu perempuan berambut sebahu dan berkacamata, satu perempuan berambut agak pendek, warna kulitnya sedikit lebih cerah dibanding perempuan satunya.

Ada yang aku perhatikan: kedua cewek itu sama-sama bermata sipit, dan wajahnya mirip dengan ibu pemilik warung. Pakaian mereka pakaian rumahan biasa, kaos dan celana training, tidak seperti si cowok berkacamata yang aku rasa terlalu resmi untuk makan di warung seperti ini.

Siapa yang mau makan di warung ramesan dengan mengenakan kemeja berdasi, celana bahan, dan sepatu pantofel?

“Permisi Mas, Mbak, saya duduk sini nggih,” aku minta izin pada mereka.

“Oh, monggo Mas,” jawab sang laki-laki. 

Baru juga aku duduk, cewek yang berkacamata langsung menebak “Njenengan habis perjalanan jauh ya Mas?” 

“Kok tahu?” tanyaku balik.

“Pertama, aku baru kali ini melihat njenengan di warung ini. Kedua, waktu njenengan sedang ngomong dengan mamaku, aku lihat logat njenengan bukan logat orang yang bertempat tinggal di sini,” jelasnya.

“Masnya juga pakai masker kain, sarung tangan, jaket, dan sepatu. Orang yang naik motor jarak dekat tidak akan pakai barang-barang selengkap itu. Sementara tadi saya lihat Masnya waktu parkir motor, Masnya sedikit melonggarkan selangkangan. Pasti karena Masnya naik motor setidaknya satu setengah jam, jadi mati rasa sebentar di bagian itu,” sahut si cowok. 

Saat dia menjelaskan, terlihat jelas cincin batu akik yang berkilauan di jari manis tangan kirinya. Sepertinya dia sengaja memamerkan cincin batu akik itu, karena memang bagus sekali.

“Dan yang jelas, Masnya bawa tas ukuran standar, dan dari bentuk tasnya kayaknya di dalam ada sesuatu yang berbentuk seperti file atau map. Sepertinya Mas berniat untuk keperluan sebentar saja, mungkin wawancara kerja, lalu balik lagi ke daerah asal,” jelas si cewek berambut pendek.

Aku hanya membalas singkat, “Teliti sekali kalian. Saya tidak akan kaget jika nantinya kalian jadi detektif!”

Sambil makan, aku malah keasyikan ngobrol sama mereka. Ngobrolin Pilpres yang tinggal bentar lagi dengan mereka jadi seru, karena perspektif mereka tidak kacamata kuda. Banyak aspek yang diperhatikan oleh mereka, dan banyak sudut pandang yang menarik. Banyak juga hoaks-hoaks mengenai kandidat-kandidat paslon yang kami bicarakan.

Kemudian aku tahu, yang cewek itu kakak-beradik, sedangkan yang cowok ini pernah jadi adik kelasnya si kakak dan sekarang mereka bertiga bersahabat dekat.

Ibu pemilik warung mengantarkan minuman. Es jerukku, kopi hitamnya si cowok, juga es milo buat para cewek. “Masnya mau ke mana to?” tanya si ibu.

Aku sampaikan kalau aku mau ke Salatiga, dan wawancara kerja untuk jadi guru honorer. Aku sebutkan nama sekolah yang buka lowongan itu.

“Ah, aku alumni sana Mas!” sahut si cowok berkacamata.

(Bersambung)

***

Tulisan sebelumnya: Dua Tahun yang Seru [1] Kehidupan Setelah Lulus Malah Lebih Susah