Dua Tahun yang Seru [1] Kehidupan Setelah Lulus Malah Lebih Susah

Masih ada seminggu. Lebih dari cukup untuk menyiapkan berbagai keperluan, dan mempelajari kembali materi fisika tingkat SMA. Yang jelas, akhirnya ada kerjaan yang berfaedah!

Jumat, 12 Juni 2020 | 07:08 WIB
0
356
Dua Tahun yang Seru [1] Kehidupan Setelah Lulus Malah Lebih Susah
Ilustrasi lulus kuliah (Foto: Republika.co.id)

Benar juga kata orang, lulus kuliah itu susah, namun kehidupan setelah lulusnya itu yang lebih susah. Tahun 2012 aku lulus kuliah dari sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang. Sayangnya, lulus kuliah tidak seindah bayanganku.

Namaku Abdul Hamid. Aku lulus dari jurusan fisika murni, dengan peminatan fisika radiasi dan medis. Masalahnya aku itu antara terlalu goblok atau terlalu malas, aku lulus terlambat, enam tahun dari normal empat tahun. Itu saja sudah terancam drop-out. IPK-ku juga cuma 2,8, jelas pilihan karirku terbatas.

Mau melanjutkan S2 dan jadi dosen juga tidak bisa, apalagi di kampus dosen-dosen sudah hafal sama tampangku sebagai mahasiswa madesu (masa depan suram). Cari kerja jadi budak korporat pun, selalu tersingkir karena IPK yang kurang dan peminatan yang tidak sesuai. Mau jadi PNS juga sulit karena jarang ada formasi yang pas dengan pendidikanku.

Akhirnya aku pulang ke kampungku di Batang. Pagi bantu bapak di ladang, lanjut jadi tukang ojek, sorenya mengajar Madin dan TPQ di masjid yang hanya berjarak dua puluh langkah dari rumahku. Malu juga sebenarnya, bocah yang dulu di kampung dianggap paling pintar karena bisa kuliah di Semarang, di jurusan yang dianggap super, ujung-ujungnya balik menjalani kehidupan layaknya warga desa biasanya. Sebenarnya Pak Kades sempat berniat menjadikan aku Kaur, namun gara-gara intrik politik, aku tersingkir.

Setelah setahun, ada teman sejawat di pangkalan ojek yang mengajakku buka bengkel. Kebetulan ini teman hobi utak-atik motor dan punya koneksi ke luar negeri untuk penyediaan suku cadang. Ya, setidaknya cocok sedikit dengan fisika, dan lebih baik secara finansial. Jadi sekarang tiap pagi aku ke kecamatan 6 km dari kampung, tempat bengkel itu berada, lalu balik sore untuk mengajar di Madin dan TPQ. Namun tetap saja aku merasa ini bukan pekerjaan yang ideal.

Sampai kemudian awal Januari 2014 ini, ada teman semasa kuliah mengirim BBM, Rojali namanya. Dia bilang, di tempat tinggalnya di Salatiga, ada sekolah yang mencari guru honorer fisika. Rojali tahu kalau aku suka mengajar, dan sedang butuh pekerjaan. Rojali sendiri sudah selesai S2 dan jadi dosen, karena dia memang cerdas sekali.

Kaget juga aku ketika baca BBM dari Rojali. Gajinya terhitung besar untuk ukuran guru honorer, juga disediakan tempat tinggal di sana. Lama kontrak dua tahun ajaran. Aku rasa ini menarik, setidaknya kalau sudah pernah menjalani ini, aku bisa lebih mudah cari kerja lainnya. Terutama di bidang pendidikan, bidang yang sebenarnya sejak kuliah jadi minatku.

Rojali bilang, jika aku berminat, minggu depan aku ditunggu di sekolah itu untuk wawancara. Aku balas, aku berminat sekali. Rojali cuma membalas “Semangat bro. Siapkan mental ya.”

Siapkan mental? Mungkin maksudnya Rojali, karena guru honorer salah satu kasta terendah di kantor guru, jadi harus siap mental jika ‘dikerjai’ oleh guru-guru senior. Tapi, agak mengganjal saja, karena hanya untuk pekerjaan seperti ini, Rojali sampai berpesan “Siapkan mental” begitu? Ya sudahlah, yang penting kalau lancar, jadi ada pekerjaan yang bagus.

Malam itu, pulang dari bengkel, aku bicara ke bapak ibu. Aku kira bapak-ibu bakal senang karena aku dapat kerjaan yang berfaedah. Soalnya aku bersalah juga rasanya, kuliah enam tahun, ujung-ujungnya hanya jadi co-owner bengkel. Setidaknya guru itu pekerjaan yang jelas, apalagi dengan gaji yang lumayan.

Namun, reaksi ibuku agak aneh. Sesaat sebelum aku bicara, ibuku terlihat sumringah karena akhirnya ada lowongan kerja yang mau aku ambil. Setelah aku menjelaskan, tiba-tiba ibuku marah sekali. Beliau terkesan benar-benar tidak mau aku ambil pekerjaan itu. 

Bapakku mungkin tidak sehisteris ibuku. Hanya saja ekspresi beliau jadi aneh. “Mungkin maksudnya Ibu, kamu itu kan sarjana fisika, kok cuma jadi guru honorer gitu lho. Tapi kalau memang kamu mau, ya dicoba saja,” begitu kata bapakku. 

Masih ada seminggu. Lebih dari cukup untuk menyiapkan berbagai keperluan, dan mempelajari kembali materi fisika tingkat SMA. Yang jelas, akhirnya ada kerjaan yang berfaedah!

(Bersambung)

***