Tri Handoko Seto, Pawang Hujan BPPT

Berbekal gelar master dan doktor, tak lama setelah kembali ke tanah air BPPT memberinya promosi sebagai Ketua Kelompok Fisika Awan. Posisi itu diembannya pada 2010 – 2012.

Rabu, 15 Januari 2020 | 14:42 WIB
0
318
Tri Handoko Seto, Pawang Hujan BPPT
Tri Handoko Seto (Foto: Indopolitika.com)

Ramalan cuaca meleset, melesetnya itu banyak bangetttt..  cerah ceria, terang benderang di kota Hujan Bogor.. kumaha ieu teh nyaa.. Klo di luar negeri.. ramalan itu selalu benar.. jadi orang kemana mana tepat bawa bajunya..

Demikian seorang netizen menulis di wall facebooknya, Minggu (12/1/2020). Sejumlah foto yang menggambarkan birunya langit di Kota Hujan – Bogor siang itu ia sertakan.

Netizen lain yang tinggal di Bekasi juga melaporkan suasana senada. “Alhamdulillah semua cucian hari ini dah kering selepas duhur,” tulisnya.

Benarkah prakiraan cuaca oleh BMKG meleset?

Beberapa hari sebelum banjir besar menggenangi wilayah Jabodetabek dan daerah lain di Jawa Barat, BMKG secara rutin mengirimkan peringatan tentang potensi hujan ekstrem. Tapi sepertinya banyak para pengambil kebijakan meresponsnya sambil lalu. Tak membuat berbagai antisipasi yang sepatutnya.

Toh begitu BMKG tetap menyampaikan peringatan dini seputar cuaca ekstrem. Lalu, ada update lagi pada 7 Januari 2020 bahwa pada tanggal 9 dan 10 akan ada peningkatan curah hujan tinggi. Respons masyarakat tetap cool. Tapi ketika Kedubes AS yang menyampaikan peringatan perhatian yang diberikan sangat besar. Viral!

Dua hari setelah banjir menerjang Jabodetabek, para ahli cuaca BPPT dengan sokongan penuh dari BNPB, bekerja sama dengan BMKG, LAPAN, dan TNI-AU menggelar operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk mengurangi curah hujan di Jabodetabek.
Awan-awan di Selat Sunda dan Laut Jawa dijatuhkan sebelum sampai di Jabodetabek.

"Jabodetabek tetap ada hujan. Terutama dari awan-awan yang tumbuhnya memang di daratan. Awan-awan ini tidak kami semai,” kata Tri Handoko Seto.

Bagaimana pun, kata Kepala Balai Besar TMC-BPPT itu, tanah di Jabodetabek tetap punya hak atas air hujan. “Dan TMC juga memang tidak mampu menghilangkan hujan sama sekali setiap hari. Cuma 30-40 persen," kata Seto.

TMC dilaksanakan dengan menyemai garam NaCl di awan aktif dari kabin pesawat CN-295 dan C-212 Cassa yang sudah dimodifikasi dengan konsul khusus. Sekali terbang, CN-295 mampu membawa 2,4 ton garam dan C-212 berkapasitas 800 kg. Rata-rata dalam sehari, pesawat TNI AU mampu melaksanakan tiga kali sorti penerbangan, disesuaikan kondisi di lapangan.

Menurut Seto, saat banjir melanda ibukota pada 2013, TMC juga digunakan untuk membantu memecah hujan. Tak cuma itu, saat terjadi kebakaran hutan di Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan Barat tahun lalu, TMC-BPPT pun ikut berperan. Tapi tentu saja bukan dengan memecah hujan, melainkan mengkondisikan agar hujan lebih cepat turun.

Ketika Jakarta diselimuti kabut polusi beberapa bulan lalu, Tri Handoko Seto pun sempat menawarkan teknologi serupa. Sayang, Gubernur Pemprov DKI Anies Baswedan tak memberi respons simpatik atas tawaran tersebut.

Dengan rekam jejaknya seperti itu, beberapa teman dan wartawan yang biasa meliput di BPPT menjuluki Tri Handoko Seto sebagai ‘Pawang Hujan’. Tapi ahli cuaca lulusan Jepang itu merendah. “Ini takdir saya untuk menekuni soal hujan buatan.”

Suami dari Dewi Wulandari itu lantas berkisah soal awal-mulanya dia menekuni ilmu tentang awan dan hujan. Lelaki kelahiran Banyuwangi, 21 Januari 1972 itu meraih gelar sarjana fisika dari Universitas Brawijaya, Malang. Lulus dengan nilai cum laude membuat dia percaya diri melamar ke BPPT. Alhamdulillah diterima. Dia ditempatkan di unit hujan buatan pada 1996. Di situlah ia ditempa bersama para sarjana ilmu alam dari berbagai perguruan tinggi.

“Saya tak mau jadi PNS, kecuali di situ ada Pak Habibie. Saya sangat mengidolakan beliau,” ujarnya kepada Tim Blak-blakan detik.com, Jumat (3/1/2020).

Kecerdasan dan ketekunannya bekerja membuat dia diganjar dua beasiswa yakni Science and Technology for Industrial Development 2001-2004. Dengan beasiswa itu dia mengambil gelar master bidang meteorologi dan geofisika di University Kyoto, 2002 – 2004. Untuk tingkat doktoral di bidang dan universitas yang sama, dia mendapat beasiswa Japan Society for the Promotion of Science.

Berbekal gelar master dan doktor, tak lama setelah kembali ke tanah air BPPT memberinya promosi sebagai Ketua Kelompok Fisika Awan. Posisi itu diembannya pada 2010 – 2012. Pada kurun waktu yang sama dia juga menjadi Ketua Tim Marketing d Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan.

Dari situ di kembali dipromosi menjadi Kepala Bidang Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pembuatan Hujan hingga 2016. Sejak 2016 hingga sekarang, Tri Handoko Seto dipercaya sebagai Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca.

“Sekarang di BPPT ada 3-4 staf saya yang juga berminat untuk menekuni bidang cuaca. Saya senang sekali supaya ada regenerasi dengan kemampuan yang lebih mumpuni,” ujar Tri Handoko Seto.

***