Budaya Kontensius

Budaya kontensius di masyarakat Jawa, membikin mereka ogah berdebat kusir, ogah berselisih paham atau ogah adu mulut, yang ujung-ujungnya bakal berkelahi.

Sabtu, 30 Januari 2021 | 09:34 WIB
0
181
Budaya Kontensius
Stand Bakul Gong (Foto: dok. pribadi)

Sangat beruntung saya kemarin malam diajak diskusi oleh paguyuban pasar malam Bakul Gong di Sragen. Ini adalah semacam aktivitas bazar kuliner pasar malam di Kecamatan Gemolong, Sragen (Jawa Tengah).

Betapa saya malam itu dibikin kaget. Acara rakyat level kecamatan ini sangat semarak dan "well organised". Padahal pelaku langsungnya adalah masyarakat sendiri yang diiktiraf oleh Dinas Perdagangan setempat. Aktivitas pasar malam ini dimata saya, terlihat gak lagi seperti helatan kelas kecamatan. Hebring pisan!

Saya diturut hadir sebagai pengamat malam itu. Tentu diskusi para aktivis paguyuban yang berlangsung nyaris sampai midnite tersebut saya simak baek dan detil.

Di akhir diskusi, pemimpinnya mensilahkan saya memberi masukan. Ide kreatif yang saya sembur malam itu, semoga menjadi pemantik kreativitas pelaku ekonomi "grass-root".

Saya apresiasi juga secara jujur, bahwa bazar level kecamatan ini sungguh mengalahkan helatan festival level internasional yang beberapa kali saya saksikan langsung di Danau Toba. Bukan perihal skalanya, tetapi soal soliditas manusia d ibaliknya.

Jika ditanya, mengapa kontras kualitas aktivitas masyarakat di dua lokus ini bisa sedemikian jumplang?

Saya menengarai, akibat solidnya budaya kontensius di masyarakat Jawa. Itu menjadi katalis. Sehingga, tatanan sosial dan kultural masyarakat selalu siap graaak berkolaborasi dengan apapun program pemerintah (daerah dan pusat).

Budaya kontensius di masyarakat Jawa, membikin mereka ogah berdebat kusir, ogah berselisih paham atau ogah adu mulut, yang ujung-ujungnya bakal marbada (bahasa Batak: berantem).

Itu!

***