Dua Legenda; Rahman Tolleng dan "Mahasiswa Indonesia"

Saya selalu ingat salah satu "ciri khas" Bang Tolleng: kepulan asap rokok Dunhill merah dari pipa gading kecil yang selalu menyertainya di mana pun dia berada.

Sabtu, 29 Juni 2019 | 13:00 WIB
0
487
Dua Legenda; Rahman Tolleng dan "Mahasiswa Indonesia"
Rahman Tolleng (Foto: Kastara.id)

Barangkali tidak ada koran di Indonesia yang paling banyak dikaji keberadaan, peran, 'content', dan orientasi ideologisnya seperti halnya koran "Mahasiswa Indonesia" yang terbit awal Orde Baru.
Sebutlah nama-nama Bill Liddle, Ken Ward, Roger K. Paget, Arief Budiman, Rex Mortimer, Harold Crouch, dan entah siapa lagi.

Padahal koran ini berumur pendek, hanya delapan tahun (1966 - 1974)!

Pertama kali terbit di Bandung, 19 Juni 1966, koran ini didirikan trio intelektual dan aktivis: Ryandi S., Awan Karmawan Burhan, dan Iwan Ramelan.

Yang terakhir ini adalah nama samaran dari arsitek dan "otak" dari koran ini:  A. Rahman Tolleng, pria Bugis kelahiran Sinjai, Sulawesi Selatan, 5 Juli 1937.

Peneliti Prancis, Francois Raillon yang menyusun disertasi tentang politik dan ideologi mahasiswa awal Orde Baru menyebut: "Mahasiswa Indonesia adalah Rahman Tolleng; dan Rahman Tolleng adalah Mahasiswa Indonesia".

Tapi jejaknya bukan hanya di koran "Mahasiswa Indonesia"; jejak dan peran Rahman Tolleng bisa dilacak pada bidang lain. Khususnya bagaimana memahami ideologi, cita-cita politik, dan perjuangan mahasiswa dan kaum muda pada fase transisi dari Soekarno ke Soeharto.

Mereka yang semula ikut berjuang menumbangkan rezim lama, bergabung dengan rezim baru, namun belakangan kecewa. Rezim baru itu ternyata bukan saja mengingkari cita-cita bersama mereka, lebih dari itu dia muncul jadi monster.

Rahman Tolleng kecewa.....

Seperti keluhan salah satu tokoh dalam novel Borris Pasternak, DOCTOR ZHIVAGO: "...... this has happened several times in the course of history. A things which has been conceived in a lofty, ideal manner becomes coarse and material......").

Rahman Tolleng dan sebagian kaum muda intelektual kritis pada fase transisi itu jelas di kemudian hari kecewa, mungkin menyesal. Tapi biarlah itu menjadi bagian dari sejarah, yang akan selalu dieksplor, tentu dengan tafsir-tafsir baru.

Bang Tolleng meninggalkan banyak kenangan buat kami di Redaksi Prismadan LP3ES tahun 1980an. Dia ikut dalam 'brainstorming' redaksi, menjadi narasumber, sekaligus penerjemah andal untuk buku-buku ilmu sosial. 

Salah satu buku terjemahannya adalah karya Peter L. Berger, PIRAMIDA KURBAN MANUSIA (LP3ES, 1982,) dari judul asli The Pyramids of Sacrifice.

Saya selalu ingat salah satu "ciri khas" Bang Tolleng: kepulan asap rokok Dunhill merah dari pipa gading kecil yang selalu menyertainya di mana pun dia berada. 

Untuk mengenang sang legenda, saya unggah cover buku Francois Raillon (dari disertasinya), yang membahas siapa Rahman Tolleng dan perannya di balik corak pemberitaan dan konten ideologis Koran "Mahasiswa Indonesia" .

"Selamat jalan senior, legenda, sang Suhu" 

***