Kompas Inside [8] Joseph Widodo

Saya berani bertaruh, sayalah karyawan angkatan 1990 yang pertama-tama memiliki rumah saat masa kerja baru 3,5 tahun!

Rabu, 6 November 2019 | 07:21 WIB
0
778
Kompas Inside [8] Joseph Widodo
Josep Widodo diapit Arbain Rambey dan Manuel Kaisiepo (Foto: Arbain Rambey)

Di kalangan koleganya di Harian Kompas, Joseph Widodo yang biasa disapa "Mas Dod", adalah wartawan senior pada awal tahun 1990-an. Dialah sosok pembaharu Pusat Dokumentasi (Pusdok) Kompas menjadi Pusat Informasi Kompas (PIK) yang sangat modern untuk ukuran perusahaan media. Mas Dod memulai suatu tradisi baru dalam hal dokumentasi informasi, yaitu digitalisasi dokumentasi.

Pada tahun 1990, saat saya masuk dan mulai bekerja di Harian Kompas sebagai pustakawan, nama Pusdok Kompas sudah berubah menjadi Pusat Informasi Kompas dengan pembaruan ruangan perpustakaan di lebih separuh luas ruangan lantai 4 Gedung Kompas Gramedia di Palmerah Selatan. Sistem akusisi diperbarui juga penyimpanan serta pemanggilan melalui komputer. 

Hal paling revolusioner yang saya rasakan adalah Mas Dod meniadakan kliping kertas koran berisi informasi, khususnya dari berita yang sudah termuat di Harian Kompas, yang sewaktu-waktu diperlukan wartawan dalam menulis dan melengkapi tulisannya. Misalnya kapan Presiden Soeharto berkata keras mengancam "Akan Saya Gebuk!" kepada lawan-lawan politiknya. Informasi tentang Soeharto ini harus dicari dalam satu file berupa guntingan koran yang tercampur dengan kegiatan Presiden Soeharto serupa di tahun yang sama. Bisa dibayangkan, betapa rumitnya pencarian.

Dengan menerapkan digitalisasi informasi, yakni kliping elektronik, semua informasi tentang berita dimaksud ditulis ulang atau diambil soft copy-nya dari redaksi, kemudian tim akusisi pustakawan PIK memberi sejumlah kata kunci atas berita Presiden Soeharto yang mengatakan "Akan Saya Gebuk!" itu.

Kata kunci yang dimasukkan tentu saja nama "Presiden Soeharto", kaitan apa dia berbicara (politik), di mana dia berbicara hal semacam itu (Lampung), dan seterusnya. Dengan kliping elektronik, wartawan bisa mencari informasi sendiri tanpa memerlukan lagi bantuan pustakawan.

Karena kliping elektronik sudah bisa disimpan di database dan seiring dengan lahirnya internet di tahun yang sama, yakni ketika Timothy Berners-Lee menemukan WWW tahun 1990, maka kliping elektronik bisa diakses via internet sehingga wartawan Kompas bisa membukanya/mengaksesnya dari mana pun.

Itulah sistem revolusioner PIK yang mengubah wajah Pusdok Kompas menjadi PIK yang saat itu penanganannya dipercayakan kepada Joseph Widodo. Boleh dibilang, Mas Dod-lah Direktur Litbang dan PIK saat itu, saat saya mulai bekerja. Mas Dod saat itu sudah menjadi wartawan senior dengan tugas khusus membenahi Pusdok menjadi PIK yang modern. Ia dikenal sebagai wartawan luar negeri yang paling berpengaruh pada masanya dengan analisisnya yang tajam dan standar jurnalistik tinggi.

Saat saya menjalani pendidikan wartawan Kompas di pertengahan tahun 1990, saya berkesempatan membedah tulisan-tulisan wartawan senior Kompas seperti Parakitri T Simbolon, Pollycarpus Swantoro, AF Dwiyanta, Robby Sugiantoro, August Parengkuan, Jakob Oetama, termasuk karya jurnalistik Joseph Widodo. Saya menjadi paham karakter dan gaya para sesepuh jurnalistik itu dalam menulis.

Secara pribadi, saya memiliki kenangan tersendiri dengan Mas Dod yang saya anggap sikapnya sangat kebapakan dan rela menolong bawahannya itu. Oleh dialah saya dites diterima atau tidaknya menjadi karyawan Kompas setelah melewat enam tahap testing.

Tetapi bukan itu kenangan yang saya ingat dari kebaikan seorang Joseph Widodo, melainkan saat saya mengajukan pinjaman perumahan. Begini ceritanya....

Di Harian Kompas pada tahun 1990-an, setiap karyawan sudah dapat mengajukan kredit untuk membeli rumah pribadi saat si karyawan memasuki 4 tahun kerja atau setelah menempuh 48 bulan bekerja, tidak boleh kurang. Persoalannya, saat itu boss saya di bagian layanan PIK, Herman Meming, memperlihatkan iklan penjualan perumahan dari PT Kentanix yang menjual unit rumah baru di Vila Bintaro Indah (VBI) di Tangerang Selatan.

"Lokasinya sangat bagus, dekat dengan Stasiun Sudimara. Jadi, kamu tinggal naik kereta saja ke kantor dan turun di stasiun Palmerah," kata Mas Meming, orang Flores yang sopan ini.

Hati saya bergejolak memandang iklan yang terpampang di Harian Kompas itu. Tapi apa daya, saya kurang enam bulan lagi untuk sampai 4 tahun masa kerja alias masih 3,5 tahun! Tetapi Mas Meming berbisik, "Coba saja kamu ajukan permintaan percepatan pinjaman ke Mas Dod, siapa tahu bisa."

Saya yang saat itu sudah dua tahun jadi "kontraktor" alias mengontrak rumah di kawasan padat Kemandoran, tertantang juga untuk mengukiti saran atasan saya itu. Singkat cerita, saya mengonsep permohonan dan meminta Mbak Widya, sekretarisnya, agar bisa bertemu Mas Dod. Pada hari yang dijanjikan, saya masuk ke ruangannya dan proposal saya sudah ada di tangannya.

"Wah, you masih kurang enam bulan lagi," katanya. Ya, sudahlah, pikir saya dengan kecewa. Tetapi Mas Dod melanjutkan, "Saya akan berkonsultasi dengan bagian keuangan. You tunggu saja keputusannya dalam minggu-minggu ini, ya!"

Saya berterima kasih kepada Mas Dod sebab bagaimana pun dia sudah mendengar permintaan bawahannya. Perkara dikabalulkan-tidaknya, namanya juga usaha. Tetapi yang mengejutkan, tidak sampai seminggu menunggu, saya ditelepon bagian keuangan bahwa saya sudah berhak mendapat pinjaman perumahan yang belum waktunya saya dapatkan sebesar Rp13 juta!

Sebuah jumlah yang tidak mencukupi uang muka yang sebesar Rp23 juta. Namun dengan membongkar semua tabungan plus masih mengajukan pinjaman cepat ke Bank Niaga sebesar Rp5 juta, jadilah rumah dengan harga jual Rp32,5 juta itu milik saya, rumah yang sampai sekarang saya tempati.

Tidak bisa saya menyangkal bahwa Mas Dod memiliki andil besar dalam kepemilikan rumah. Saya berani bertaruh, sayalah karyawan angkatan 1990 yang pertama-tama memiliki rumah saat masa kerja baru 3,5 tahun!

Saya teringat momen saat saya kembali menemui Mas Dod di tempat duduknya yang tepat berhadapan dengan rekan seangkatan diangkat, Ria Purwiati, dan menyatakan terima kasih tak terhingga karena saya sudah resmi memiliki rumah. Mas Dod memiliki radio canggih untuk mendengarkan berita dari luar negeri dengan suara jernih. Ia mengecilkan radionya saat saya menghampirinya spontan tanpa membuat janji terlebih dahulu.

"Oh, jadi you sudah punya rumah sekarang, selamat, ya!" kata Mas Dod mengajak saya salaman. 

Saya menyambut tangan Mas Dod dengan suka-cita yang tiada tara.

***

Tulisan sebelumnya: Kompas Inside [7 ] Selamat Jalan, Pak August Parengkuan...