Kompas Inside [7 ] Selamat Jalan, Pak August Parengkuan...

August Parengkuan menjadi duta besar berkuasa penuh untuk Italia, Cyprus dan Malta sejak 2012. Pria kelahiran 1943 ini sudah hampir tiga tahun lebih berada di Indonesia. Hari ini dia berpulanng.

Kamis, 17 Oktober 2019 | 17:57 WIB
0
650
Kompas Inside [7 ] Selamat Jalan, Pak August Parengkuan...
August Parengkuan (Foto: Beritasatu.com)

Lewat pesan WA grup tadi, tersiar kabar, August Parengkuan --kami biasa menyebutnya Pak AG-- berpulang Kamis, 17 Oktober 2019 tadi pagi, tepatnya pukul 05.30 WIB.

August Parengkuan adalah satu "Ikon" Harian Kompas yang pernah menjadi Duta Besar untuk Italia. Meski memiliki garis wajah keras dengan kumis tebal, Pak AG, pria kelahiran 1 Agustus 76 tahun silam itu berprilaku sangat sopan, rendah hati, dan mau mendengar.

Periode 1993-2000 saat menjabat wakil pemimpin redaksi, dialah yang diam-diam memanggil wartawan Kompas yang dianggap berprestasi satu persatu datang ke ruangannya. Mewakili institusi,  Pak AG memberikan cek kepada awak media. Siapapun wartawan yang pernah menerima cek langsung darinya, pasti akan mengenangnya sebagai kebaikan.

Soal pemberian cek kepada wartawan sebagai penghargaan atas kerja keras ini mungkin tidak akan ada yang berani mengungkapkannya, setidak-tidaknya belum "bocor" keluar dan hanya menjadi "rahasia umum" di lingkungan kerja. Tidak ada yang berani menggugat dan jika bocor ke publik bisa menimbulkan rasa cemburu jurnalis lainnya. Sebab, tidak semua jurnalis menerimanya. Tetapi karena bagi saya ini suatu kebaikan, tidak ada salahnya saya ceritakan, bukan?

Nah, berkat kebaikan Pak AG ini pulalah cek demi cek yang diberikan atas prestasi kerja itu saya kumpulkan dan hasilnya sungguh di luar yang saya bayangkan; saya bisa membeli mobil Kijang bekas pada tahun 1997. Itulah mobil pertama yang saya punya, Kijang keluaran 1990! Sebagai anak kampung, bermimpi pun saya tidak berani bisa punya mobil sendiri.

Itu dulu. Pada tahun 2000 ketika manajemen dibenahi secara lebih moderen dan lebih terukur oleh CEO Kompas-Gramedia Agung Adiprasetyo, pemberian cek yang sangat diidam-idamkan itu dihapuskan (atau jangan-jangan saya yang sudah tidak menerimanya lagi). Karena beberapa kali berinteraksi dengan Pak AG itulah saya mengenalnya.

Lagi pula, ruang kerjanya yang kemudian pindah ke Lantai V di mana saya kemudian bertugas di Kompas.com sejak 2008, saya sering bertemu dan saling sapa di koridor.

August Parengkuan adalah wartawan Kompas angkatan pertama karena masuk saat harian itu pertama kali terbit 28 Juni 1965. Dari beberapa catatan riwayat hidupnya yang saya baca, August dari Ujungpandang sengaja ke Jakarta untuk mencari pamannya yang bekerja di Departemen Luar Negeri. Namun akhirnya ia tertarik bergabung dengan Harian Kompas yang akan berdiri karena bakatnya menulis semasa bersekolah di SMA di Sulawesi Selatan. Kerap ia mengirimkan tulisannya ke beberapa media yang terbit di Kota Anging Mammiri itu.

Sebagai orang pertama-tama yang bergabung dengan Kompas meski tidak pernah disebut founder, karier August termasuk cemerlang dengan berbagai ragam liputan konflik, mulai konflik Cekoslowakia, perang US-Afghanistan, pergolakan Papua Nugini, sampai mendahului aneksasi militer Indonesia ke Timor-Timur.

Beberapa jabatan penting pernah digenggamnya. August dikenal juga sebagai "Wartawan Istana" karena harus selalu meliput kegiatan Presiden Soeharto.

Di lingkup "isu lokal" Kompas sendiri, nama August sering disandingkan dengan juniornya, Ninok Leksono, untuk suatu jalan menuju puncak karier di media yang didirikan PK Ojong dan Jakob Oetama itu. Mungkin ini istilah saya saja dalam memandang "perpolitikan" lokal Kompas dan sebagai orang yang nonblok (tidak memihak mana pun), saya cenderung laissez-faire saja atau nafsi-nafsi.

Sebagai jurnalis, saya tahunya kerja, meliput di lapangan dan menulis berita untuk koran, tidak terlalu peduli dengan intrik semacam perebutan kursi (baca Pemimpin Redaksi). Hanya saja ketika sesosok wajah baru muncul sebagai "new star" yaitu Suryopratomo yang menjadi Pemred jelang tahun 2000, maka para kolega di lingkup kerja menjadi mafhum, itulah cara Jakob Oetama menyelesaikan "masalah" atau kasarnya menyudahi "kemelut" itu.

Mas Tom, demikian kami memanggil Suryopratomo (kini bekerja di MetroTV) tergolong muda saat memegang jabatan Pemred Kompas di mana saat itu orang memperkirakan kalau tidak dipegang August ya dipegang Mas Ninok, begitu saya biasa memanggilnya. Toh keduanya diberi tugas yang tidak kalah menantangnya oleh Pak Jakob; August menjadi Direktur TV7 yang baru didirikan Kompas dan Ninok menjadi Pemred Kompas Cyber Media pada saat media online itu baru didirikan.

August Parengkuan menjadi duta besar berkuasa penuh untuk Italia, Cyprus dan Malta sejak 2012. Pria kelahiran 1943 ini sudah hampir tiga tahun lebih berada di Indonesia setelah selesai bertugas di Italia.

Saat saya mengadakan lawatan ke 8 negara Eropa bersama keluarga Maret 2016 lalu dan bermalam dua hari di Milan, Italia, saya mencoba mengirimkan SMS dan WA ke nomor ponselnya. Saya mendapat jawaban, Pak AG ternyata bersedia menampung saya dan keluarga bersama dua keluarga lainnya (total delapan orang).

"Wah, saya senang you dan keluarga berada di Italia. Silakan datang bersama teman-teman lainnya, kasih tahu kami kalau sudah mendekat ke Roma biar kami jemput. Tidak usah menginap di hotel, ada penginapan. Sampai bertemu...." demikian jawaban August Parengkuan atas pemberitahuan tentang keberadaan saya.

Sayangnya, lawatan saya hanya sampai Milan dan Pisa, sehingga tidak sempat berkunjung ke Roma, tempat di mana Pak AG mukim.

Saat tulisan ini saya tayangkan, saya belum sempat bertemu lagi dengan Pak AG. Namun demikian, saya akan selalu mengenang kebaikan August Parengkuan, khususnya soal cek berharga itu, juga kesediaannya menampung saya di rumah dinasnya di kota Roma, Italia, meski belum "berjodoh".

Sampailah kemudian berita duka itu tadi pagi.

Selamat jalan, Pak August Parengkuan...

***

Tulisan sebelumnya: Kompas Inside [6] Menyadap Ilmu Pengetahuan dari Perpustakaan