Ide-ide yang Mendahului Zaman

Awalnya Peter seringkali menolak disebut sebagai entrepreneur. Dia lebih suka memposisikan dirinya sebagai professional.

Selasa, 5 Mei 2020 | 07:06 WIB
0
666
Ide-ide yang Mendahului Zaman
Peter F. Gontha (Foto: Wordpress.com)

Peter F. Gontha adalah salah satu dari sekian profesional hebat Indonesia di bidang bisnis yang saya kagumi. Seingat saya, dua kali saya mewawancarai Peter F. Gontha secara ekslusif dan agak panjang. Pertama, awal tahun 1995 ketika saya menajdi reporter di harian Bisnis Indonesia. Waktu itu di sela acara peresmian kantor baru Media Indonesia, khusus tentang Chandra Asri. Kedua, tahun 2008 di kantornya, Simpruk, ketika saya bekerja di majalah Globe Asia tahun 2008.

Ide-ide bisnis Peter Gontha seringkali mendahului perkembangan pada masanya, meski kadang menimbulkan kontroversi. Ia melompat dari satu sektor ke sektor lain. Dia membangun stasiun televisi swasta pertama dan kedua di Indonesia, RCTI dan SCTV, kemudian mendirikan Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), lalu mendirikan perusahaan jasa satelit dan telekomunikasi PT Satelindo, yang satelit pertamanya ia tangkap dari luar angkasa. Ia tak segan menghadapi hujan kritik ketika membangun pabrik petrokimia Chandra Asri.

Tapi jangan pernah berpikir bahwa perjalanan hidup Peter itu mulus, serba enak. Demikian juga dengan sebelum menjadi professional. Saat kuliah di Praehap Institute, Belanda ia juga pernah merasakan pahit getir hidupnya.

Untuk mendapatkan uang tambahan, Peter pernah bekerja sebagai sopir taksi, pelayan restoran, pekerja kasar, sampai menjadi kelasi di kapal barang. Kini, setiap kali mengunjungi negeri Belanda, Peter mengenang masa-masa pahit itu sebagai phase hidup yang memberinya banyak pelajaran berharga.

Menangkap Satelit

Mengingat sosok Peter Gontha, sangat mudah disambungkan dengan putra mantan Presiden Soeharto almarhum, Bambang Trihatmodjo dengan mesin bisnisnya Bimantara. Sebelumnya, Peter Gontha adalah professional di perusahaan multinasional, seperti Shell, Citibank dan Amex. Tahun 1983 ia ditarik Rossano Barack untuk bergabung ke Bimantara.

“Saya waktu itu minta beberapa syarat, terutama menyangkut bayaran saya. Ternyata mereka setuju dan mulailah saya bekerja. Saya bekerja dengan ide-ide yang saat itu orang belum pikirkan. Saya mau kerja keras asal bayarannya bagus,” kenang lelaki kelahiran Semarang, 4 Mei 1948 ini.

Di Bimantara, Peter menunjukkan talenta bisnisnya yang luar biasa dengan mendirikan banyak perusahaan besar, antara lain Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), Surya Citra Televisi (SCTV), PT Chandra Asri Petrochemical Center, PT Tri Polyta Indonesia, PT Satelindo, Plaza Indonesia Realty (The Grand Hyatt Jakarta), Bali Intercontinental Resort, Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), serta saluran televisi berbayar Indovision.

Ada satu kisah menarik diceritakan Peter pada awal mendirikan PT Satelindo. Suatu hari di tahun 1986, datanglah Ronald Korompis (seorang kontraktor rekanan Telkom) dan Azis ke kantor Peter Gontha. Mereka memberi tahu, Bambang Tri meminta Peter saat itu juga harus berangkat ke New York, Amerika Serikat untuk membeli satelit. “Saya kaget, beli satelit apaan?” tanya Peter.

Ronald dan Azis menjelaskan, Satelit Palapa B2 yang baru diluncurkan, ternyata salah orbit dan dinyatakan hilang oleh NASA. Karena perusahaan asuransi itu sudah membayar ke pemerintah RI $90 juta, satelit yang salah orbit itu menjadi milik asuransi, American Insurance Group (AIG).

“Nah, saya diminta untuk membeli satelit yang hilang itu. Pemerintah, sih sudah dapat uang asuransi, pesan lagi satelit baru.”

Jadilah ia berangkat. Sampai bandara Soekarno-Hatta, Peter baru tahu kalau tiket pesawat untuknya adalah kelas bisnis. Saat itu juga ia minta diganti menjadi kelas utama.

“Kalau tidak first class, saya gak mau berangkat…!!” tegasnya.
Karena tidak mau terlambat, dengan cepat staf Bimantara mengganti tiket untuk Peter menjadi first class. Sesampainya di New York, Peter mendatangi kantor AIG. Petinggi perusahaan asuransi itu mengatakan, satelit itu bisa dibeli, tapi anda harus cepat setor down payment US$1,7 juta atau 10% dari harga yang ditetapkannya US$17 juta.

Karena tidak mempersiapkan uang dalam jumlah besar, dilakukanlah negosiasi. Mereka setuju dibayar dulu dengan letter of credit 10% dari DP, sekitar US$170 ribu. Untuk menutupi L/C pun Peter harus bernegosiasi dengan pejabat Bank Dagang Negara cabang New York, sebelum akhirnya disetujui. Langkah kemudian adalah membuat kontrak dengan NASA untuk mengambil kembali satelit yang salah orbit tersebut.

“Kebetulan tidak lama setelah itu, ada peluncuran pesawat ulang-alik. Dasar nasib sedang baik, satelit itu bisa diambil. Jadi satelit seharga US$90 juta, diambil dengan biaya US$170 ribu,” kenang Peter.

Begitu satelit itu sudah sampai di bumi, banyak perusahaan telekomunikasi yang siap membayarnya US$17 juta. Mujurnya, setelah diteliti, ternyata satelit itu tidak rusak sedikitpun. Cuma fuel sistemnya ada yang salah, sehingga arah geraknya melenceng dan salah masuk orbit. Sukses ‘menangkap satelit dari luar angkasa’ itu menjadi bagian penting dari perjalanan PT Satelindo. Perusahaan itu sudah diakuisisi oleh PT Indosat.

Karena kiprahnya bersama Bimantara, publik mempersepsikan Peter Gontha sebagai kroni Cendana. Itu tidak dapat dibantahnya. Tapi menurut dia, sebagai profesional yang bekerja untuk Bambang Tri, ya tentu saja jadi kroninya Bambang.

“Tapi, apakah saya kroninya Pak Harto (secara politik)? Harus dibicarakan dulu. Selama hidup, saya mungkin hanya sekitar lima atau enam kali ketemu Pak Harto dalam arti berbicara langsung. Stigma sebagai kroni Cendana dalam pengertian berbagai konteks sulit dihilangkan,” ia menjelaskan.

Mengenai kedekatannya dengan keluarga Soeharto, Peter menceritakan, rumah orangtuanya berdekatan dengan rumah Jendral Soeharto. Jadi sejak kecil Peter kenal dengan keluarga Soeharto. Ia juga berteman dan bermain dengan anak-anaknya Soeharto. Dan tentu saja Peter sangat menghormati Soeharto sebagai orangtua. Tapi, putra pasangan V. Willem Gontha dan Alice ini mengaku, selama Pak Harto berkuasa, ia tidak pernah mau berurusan dengan pemerintah.

Chandra Asri

Kontroversi muncul saat Peter membangun pabrik olefin PT Chandra Asri Petrochemical Centre di Cilegon, Banten tahun 1994. Saat itu Peter minta kepada pemerintah untuk memproteksi industri petrochemical dimana CAPC sebagai salah satu pemainnya, dengan menerapkan bea masuk untuk produk-produk turunan olefin sebesar 40%. Saat itu, Peter seolah-olah menjadi tokoh antagonis dalam lembaran-lembaran media selama berminggu-minggu.

“Kini orang baru sadar, betapa pentingnya pabrik petrokimia seperti Chandra Asri bagi bangsa ini,” ujar Peter.

Sebenarnya, ide pembangunan Chandra Asri sendiri muncul saat Peter bekerja untuk perusahaan minyak Belanda, Shell tahun 1969-1974 di bagian otomatisasi dan komputer. Nah, di awal dekade 1970an Peter sudah akrab dengan komputer.
Ketika bekerja di perusahaan minyak Belanda itu, tahun 1973 saat berlangsung perang Yom Kifur antara Israel melawan negara-negara Arab, selama empat hari empat malam, Peter bersama enam orang temannya tinggal di kantor, di Hong Kong.

Mereka menghitung semua persediaan minyak di dunia, berkaitan dengan dihentikannya pasok minyak (ke negara-negara barat) oleh negara-negara Arab. Penghentian pasok minyak itu sebagai salah satu upaya Arab menekan Amerika dan Eropa Barat yang mendukung Israel. Akibat kebijakan itu, harga minyak dunia melambung tinggi.

“Dari situ saya jadi tahu hitung-hitungan menyangkut perminyakan. Serta apa saja yang bisa dibuat dari residu minyak bumi. Dari sanalah dasar pemikiran saya untuk membangun pabrik petrokimia terpadu, Chandra Asri,” cerita Peter.
Tapi tidak sepanjang perjalanan karier Peter, diwarnai kesuksesan. Indovision adalah perusahaan yang disebutnya gagal total.

Krisis Global 2008-2009

Jauh sebelum krisis keuangan global berimbas ke Indonesia pada 2008-2009, Peter Gontha sudah mengingatkan bahwa dampak krisis yang bermula di Amerika Serikat itu, pasti akan sampai ke Indonesia.

Dalam pengamatan Peter, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat sangat bertumpu pada sektor property. Karena pesat berkembang, setiap orang mau beli rumah. Tapi permintaan pasar akan rumah jauh lebih cepat dibanding kemampuan pelaku industri properti di sana membangunan perumahan.

Dengan kondisi seperti itu, harga rumah meningkat dengan pesat. Artinya, sektor properti menjadi lahan investasi yang sangat menjanjikan. Sehingga, banyak debitur KPR di Amerika Serikat yang mengambil second credit, untuk rumah yang kedua atau ketiga. Sementara di sisi lain, pendapatan tetap para debitur itu belum meningkat. Akibatnya macet, sudah bisa ditebak: gagal bayar.

Kredit-kredit itu, oleh para kreditor, dijual dengan harga murah, dan kemacetan kredit sektor properti yang angkanya sangat signifikan itu mempengaruhi sector-sektor lainnya yang terkait, domino effect. Maka ekonomi Amerika Serikat terancam ambruk.

“Salah satu akibatnya adalah, volume impor Amerika Serikat merosot tajam. Salah satu negara yang mengandalkan pasar Amerika Serikat itu adalah Indonesia. Maka secara langsung akan terjadi penurunan ekonomi di berbagai belahan dunia, khususnya Asia termasuk Indonesia.”

Bukan hanya menganalisis fenomena global, Peter juga mengingatkan, Indonesia memiliki potensi terjadinya sub-prime mortgage. Bukan dari macetnya kredit sektor properti, tapi dari kredit kendaraan bermotor. Total kredit perbankan nasional untuk kendaraan bermotor tahun 2008 mencapai Rp210 triliun.

Nah, jika terjadi kenaikan biaya hidup, kredit itu dipastikan macet. Karena masyarakat pasti mendahulukan pemenuhan kebutuhan primer. Macetnya kredit sebesar Rp210 triliun di Indonesia, sudah cukup merusak ekonomi secara nasional.

Sementara di belahan lain dunia, perubahan terjadi karena dipengaruhi faktor pertumbuhan ekonomi China dan India yang sangat pesat. Akibatnya, permintaan akan komoditas konsumtif meningkat tajam di kedua negera itu. Hampir semua hasil bumi, khususnya mineral, oil and gas, diserap China dan India. Hal itu juga yang memicu naiknya harga minyak dalam dua tahun terakhir, 2008-2009.

Khususnya China, bukan hanya membeli dari pasar spot, tapi juga membeli untuk forward tiga sampai enam bulan ke depan. Sehingga, harga minyak terus menanjak.

“Anda boleh lihat harga minyak naiknya bagaimana. Itu pasti akan mendongkrak harga-harga yang lain. Dalam kondisi seperti itu, dipastikan juga pendapatan per kapita tiap orang tidak akan naik. Artinya, gejala-gejala itu sudah sangat jelas. Hal inilah yang tidak disadari oleh negara-negara seperti Indonesia. Orang Indonesia terlalu sibuk dengan hal-hal yang tidak perlu,” Peter mengingatkan.

Jangan lupa, krisis ekonomi Amerika Serikat mengakibatkan depresiasi UD$, tapi bukan terhadap Rupiah. Cadangan devisa Indonesia semuanya dalam denominasi US$ sekitar US$60 miliar (2008). Sementara utang-utang luar negeri, tidak hanya dalam denominasi US$. Tapi juga dalam Euro, Deutch Mark, Yen dan lain-lain. Sehingga kewajiban membayar cicilan dan bunga utang luar negeri menjadi lebih tinggi.

Tentu saja, salah satu langkah efektif mengatasi keterpurukan ekonomi yang disebabkan faktor eksternal adalah menggalakan investasi dan mengoptimalkan pemanfaatan pasar domestik. Di Indonesia, di mana investasi tertentu tidak bisa dilakukan oleh pemerintah, seharusnya pemerintah menstimulasi swasta untuk menanamkan modalnya.

Modelnya, menurut Peter, bisa mengadopsi model yang dipakai di awal pembangunan Amerika Serikat abad 18. Swasta diberi tanah untuk dijadikan kawasan siap bangun atau kawasan industri. Lahan itu kemudian boleh dijual. Tapi di sekitar lahan itu, perusahaan-perusahaan swasta yang mendapatkan kepercayaan itu harus membangun infrastruktur, seperti jalan raya, rel kereta api atau pelabuhan. Dana untuk pembangunannya, diambil dari hasil penjualan tanah-tanah tersebut.

“Perusahaan swasta yang diberi kepercayaan harus yang memiliki track record bagus, minimal selama 10 tahun. Tapi coba kalau model itu kita terapkan di Indonesia, pasti diprotes orang. Jadi yang juga harus berubah adalah pola pikir bangsa ini. Tapi kenapa tanah-tanah di Kalimantan yang dibagi-bagikan dalam bentuk konsesi hutan, orang tidak protes?” sergahnya.

Padahal, kalau swasta-swasta pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) itu selain diwajibkan membayar dana reboisasi, juga diharuskan membangun infrastruktur transportasi. Mungkin Kalimantan sudah bisa lebih maju daripada sekarang.

Baca Juga: Sains-Teknologi dan Perubahan Budaya, Menjawab Peter F. Gontha

Jalan raya atau jalan kereta api tersambung dari Pontianak sampai Balikpapan, dari Banjarmasin sampai Tarakan. Itu juga yang dilakukan Singapura dengan membangun pulau Bukom untuk dijadikan pusat refinery minyak. Pemerintah Singapura menyediakan infrastrukturnya, listrik, telekomunikasi, jalan, saluran air, dll. Tidak perlu waktu lama bagi Singapura menunggu datangnya para investor.

Guna menghindari dampak lebih buruk dari krisis keuangan global, Peter juga menyarankan kepada pemerintah, agar lebih meningkatkan kebijakan fiskal, serta mulai menerapkan kontrol atas lalulintas devisa seperti yang dilakukan Singapore dan Malaysia.

Jazzy Business

Sejak tahun 2005 lelaki berkepala plontos ini lebih memfokuskan diri mengelola event jazz tahunan Java Jazz Festival, yang ia katakan sebagai hobby sekaligus lahan bisnisnya.
Peter memperkirakan, dalam lima tahun mendatang (2013), jumlah stasiun televisi di dunia akan berjumlah sekitar 15.000 buah. Di mata Peter, itu adalah pasar yang memberikan banyak peluang bisnis.

“Ini pasar yang bisa saya penetrasi dengan produk-produk video clip saya. Saya optimistis, kalau produk saya dibeli oleh 500 stasiun televisi saja, turn over dari produk tayangan bisa mencapai US$50 juta per tahun,” kata Peter Gontha.

Hitung-hitungannya sederhana, setiap tahun dari Java Jazz Festival dihasilkan sekitar 100 item video clip. Setiap video clip dijual ke stasiun televisi dengan harga US$1,000 per copy. Bagi Peter, bisnis seperti itu adalah bisnis yang menyenangkan, dan menyenangkan orang lain. Namun, selain di Indonesia, Peter juga masih memiliki usaha di Amerika Serikat. Hanya saja ia tidak bersedia berbicara tentang bisnisnya di negara Paman Sam tersebut.

Peter mengaku, saat ini lebih konsentrasi ke Java Jazz Festival yang selalu digelar setiap bulan Maret. Dalam mendatangkan artis-artis jazz kelas dunia, seperti James Ingram, Lee Ritenour, Sergio Mendes, David Bennoit dan lain-lain, seringkali ia mendapat kesulitan. Para artis itu, takut datang ke Indonesia karena banyak berita tentang terror bom di Indonesia. Menghadapi mereka, Peter Gontha cukup hati-hati dan cerdik. Ia berusaha meyakinkan bahwa Indonesia cukup aman untuk dikunjungi.

“Anda benar. Sebaiknya jangan datang ke Indonesia, karena banyak terror bom. Tapi kalau boleh saya sarankan, anda juga jangan pergi ke Spanyol, karena di sana ada bom di kereta api. Anda jangan pergi ke London, di sana ada bom di stasiun subway, juga jangan ke Jepang, di sana orang menyebarkan gas sharine di stasiun subway. Jangan juga datang ke India, Presidennya saja mati dibom. Tempat yang juga harus anda hindari adalah Amerika Serikat. Di Virgiana Tech University, orang bisa menembak membabi buta. Para artis jazz itu mikir, pikirannya terbuka. Akhirnya mereka mau datang juga ke sini,” papar Peter.

“Tapi kalau ngomongin terror, warga sipil di Irak dibantai begitu saja. Jadi yang seharusnya masuk ke Mahkamah International itu President Bush,” ujar Peter menambahkan.

Pada Java Jazz Festival beberapa tahun terakhir (sampai 2008), menurut Peter, tidak kurang dari 60.000 orang datang menikmati sajian musik jazz yang ditampilkan. Bukan hanya dari Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia, tapi juga ada yang datang dari Singapura, Malaysia dan Australia. Demikian juga dengan peliputan media, sekitar 100 media, baik cetak maupun elektronik yang berasal dari 20 negara datang meliput pagelaran jazz yang biasa berlangsung selama tiga hari tersebut.

Itulah Peter Gontha, tangannya seperti memegang 'tongkat bisnis' ajaib. Setiap lahan bisnis yang disentuhnya berbunga dan mekar, termasuk Indovision yang disebutnya gagal total.

Awalnya Peter seringkali menolak disebut sebagai entrepreneur. Dia lebih suka memposisikan dirinya sebagai professional. Meskipun pada akhirnya, ia mengaku kegiatan bisnisnya saat ini, baik yang ia lakoni di Indonesia maupun di Amerika, bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk sendiri.

“Saya bukan pengusaha, tapi saya suka memikirkan ide-ide baru, orang lain yang mendanai. Saya digaji gede sama Bambang (Trihatmodjo), sama Prajogo (Pangestu). You pay me well, I do well. Sekarang… ya seperti yang anda lihat lah,” Peter menutup obrolan.

Disclaimer: Tulisan ini dimuat dalam versi Bahasa Inggris di majalah Globe Asia edisi Maret 2008. Salam takzim, selamat ulang tahun, Pak Peter F. Gontha.

***