Sains-Teknologi dan Perubahan Budaya, Menjawab Peter F. Gontha

Minggu, 12 Agustus 2018 | 19:53 WIB
0
853
Sains-Teknologi dan Perubahan Budaya, Menjawab Peter F. Gontha

Peter F. Gontha, Duta Besar RI untuk Polandia, menulis artikel dengan judul “Tanpa Sains dan Teknologi, Indonesia ditelan dunia”. Artikel tersebut diterbitkan di Harian Kompas pada 21 Juli 2018 lalu. Ia menyarankan pentingnya Indonesia mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Tujuannya supaya Indonesia bisa bersaing negara lain di tingkat internasional.

Di sisi permukaan, tulisan itu tampak berniat baik dan benar adanya. Namun, seperti pepatah lama, bahwa jalan ke neraka dibuat dengan niat baik (the road to hell is paved with good intentions), tulisan itu mengandung kesalahan berpikir mendasar yang amat berbahaya. Pendekatan Peter Gontha adalah pendekatan teknokratik dan birokratik. Ia lupa, bahwa sains dan teknologi tidak hanya soal pengembangan infrastruktur, guna mengejar ranking internasional semata. Pengembangan sains dan teknologi adalah soal perubahan budaya secara mendasar.

Harus diakui, perkembangan sains dan teknologi modern sudah mengubah wajah dunia. Usia manusia diperpanjang, berkat perkembangan pesat di bidang kedokterandan kesehatan masyarakat. Berbagai sisi kehidupan manusia dipermudah, berkat kelahiran berbagai teknologi, mulai dari telepon, pesawat, mesin cuci sampai dengan komputer. Harga yang harus dibayar pun juga cukup mahal, mulai dari kerusakan alam sampai dengan berkembangnya apatisme dan depresi hidup manusia di tingkat global.

Budaya Sains dan Teknologi

Di dalam sejarahnya, sains dan teknologi modern berkembang dari tradisi Pencerahan Eropa. Di dalam tradisi ini, lima hal menjadi amat penting.

Yang pertama adalah budaya egaliter, atau kesetaraan antar manusia. Manusia memiliki kedudukan setara di hadapan alam dan Tuhan. Budaya egaliter memungkinkan terjadinya aliran diskusi secara bebas dan terbuka, tanpa dihalangi tembok-tembok feodalisme yang melembagakan kasta atau kelas sosial tertentu sebagai yang lebih tinggi daripada yang lain.

Yang kedua adalah pengembangan budaya berpikir kritis. Artinya, pertanyaan harus terus diajukan terhadap tradisi maupun praktek-praktek sosial yang sudah ada. Tradisi dan pola pikir lama bukanlah kebenaran mutlak yang harus disembah. Sebaliknya, ia justru harus dipertanyakan ulang, supaya bisa menjawab perubahan jaman.

Yang ketiga adalah budaya perkembangan budaya berpikir logis. Dalam arti ini, logika adalah seni berpikir lurus. Ia membantu orang mengambil kesimpulan yang lurus dari data-data yang ada. Logika menghindarkan orang dari prasangka dan kesalahan berpikir di dalam pengambilan keputusan.

Yang keempat adalah pengembangan budaya berpikir rasional. Dalam arti ini, berpikir rasional adalah upaya untuk memahami hubungan sebab akibat yang membentuk suatu peristiwa dengan menggunakan penalaran akal sehat. Penjelasan mistik dan teologis dihindari. Rasionalitas adalah kunci dari tradisi Pencerahan Eropa yang melahirkan sains dan teknologi modern.

Yang kelima adalah pengembangan pola berpikir sistemik. Berpikir sistemik berarti melihat dari sudut pandang keseluruhan. Pola pikir ini berkembang setelah perkembangan sains dan teknologi modern. Ia dilihat sebagai upaya untuk mengurangi sisi merusak dari sains dan teknologi. Di dalam pola berpikir sistemik, kepentingan seluruh ekosistem, termasuk hewan dan tumbuhan, juga dilihat sebagai sesuatu yang amat penting.

Perkembangan sains dan teknologi bukan hanya soal konferensi internasional, dana untuk penelitian atau ranking internasional semata.

Ini cara pandang yang sesat dan berbahaya. Perkembangan sains dan teknologi lahir dari perkembangan budaya tertentu yang mendahuluinya. Tanpa perubahan budaya secara mendasar, sains dan teknologi hanya menjadi gincu permukaan yang menutupi borok di belakangnya.

Melampaui Ideologi

Tulisan Peter Gontha bisa terpelintir dengan mudah ke dalam ideologi. Inilah penyakit epistemologis yang kerap dimiliki oleh para ilmuwan dan teknokrat. Sains dan teknologi lalu dilihat sebagai kebenaran tertinggi yang menjadi ukuran bagi segala-galanya. Pada titik ini, seperti ditulis oleh Jürgen Habermas, pemikir asal Jerman, teknologi berubah menjadi ideologi yang menghabisi kebebasan dan sikap hidup alamiah manusia.

Tradisi Pencerahan Eropa, yang melahirkan sains dan teknologi modern, juga tidaklah sempurna. Ia memiliki cacat mendasar yang melahirkan pengrusakan alam secara masif, dan penjajahan di seluruh dunia terhadap bangsa-bangsa non Eropa. Ini tentunya harus menjadi catatan di dalam upaya pengembangan sains dan teknologi di Indonesia. Pola berpikir sistemik, yang amat dekat dengan spiritualitas universal, juga perlu dikembangkan pada konteks ini.

Walaupun berniat baik, tulisan Peter F. Gontha perlu untuk ditanggapi secara kritis. Jangan sampai kita terjatuh pada sikap naif buta terhadap perkembangan sains dan teknologi. Kita juga tidak boleh lupa, bahwa sains dan teknologi modern adalah hasil ciptaan masyarakat dengan budaya tertentu. Niat baik untuk mengembangkan sains dan teknologi, tetapi tidak mau mengubah budaya lama dan korup, tidak hanya tak berguna, tetapi juga berbahaya.

Ini seperti menutup sungai yang bau dengan menggunakan kain. Bodoh, sia-sia dan berbahaya.

***