Saya tidak tahu mengapa begitu saja mengambil nama Jang Kaslan sebagai maskot untuk rubrik itu. Dalam bahasa Sunda, “jang” bisa juga kependekan dari “ujang” yakni sebutan kepada anak laki-laki.
Sejak Mendikbud Daoed Joesef memperpanjang masa belajar kami setengah tahun, maka penulisan tahun ajaran pun berubah. Semula penulisannya menggunakan tahun yang tunggal, lalu berubah menjadi ganda. Maka saya pun tercatat sebagai lulusan SD Angkasa tahun 1978/1979.
SMP negeri di Tasikmalaya saat itu masih terbatas jumlahnya. Di seputar pusat kota Tasik, mungkin tidak lebih dari empat sekolah. Setidaknya ada tiga sekolah negeri yang banyak dipilih untuk melanjutkan sekolah yaitu SMP Negeri 1, SMP Negeri 2 dan SMP Negeri 3. Lokasi ketiga SMP ini berdekatan.
Saya dan sejumlah teman memilih untuk daftar ke SMPN 2. Waktu itu, untuk masuk ke sekolah lebih tinggi harus melalui tes tertulis yang diselenggarakan di berbagai tempat. Setelah guru kami mengirim kelengkapan administrasi ke sekolah bersangkutan, diketahui kemudian tempat untuk tes masuk adalah SDN 3 Sukamanah Kecamatan Cipedes Tasikmalaya.
Saya tidak tahu berapa banyak siswa yang mengikuti tes di SD tersebut. Hanya saja tampak, seluruh ruangan kelas di sekolah yang berada tidak jauh dari Karangresik (perbatasan dengan Ciamis) itu penuh. Seharian siswa yang berasal dari berbagai SD di Tasik tersebut berkutat dengan soal-soal ujian beberapa mata pelajaran.
Alhamdulillah saya lolos. Begitu juga sepupu saya Deni Hendana. Saya kira dari SD Angkasa yang masuk SMPN 2 ketika itu tidak banyak. Teman-teman lainnya ada yang lolos ke SMPN 1 dan 3. Lokasi sekolah berada di samping kanan Pendopo Kabupaten Tasikmalaya. Hanya dipisahkan jalan kecil dengan gedung Studio Radio Daerah (Sturada) Tasikmalaya. Persisnya, SMPN 2 berada di Jl. Alun-alun Kabupaten No. 1 Empangsari Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya.
Bangunan di sudut barat laut alun-alun itu, bagian depannya berhimpitan dengan SMPN 1, hanya dipisahkan tembok benteng. Dahulu cat temboknya putih, sementara kusennya disapu warna abu. Ada lapangan basket di sisi utara dekat dengan musola, kantin dan ruang praktikum. Ruang guru berada di sisi selatan dekat pintu masuk utama. Pintu masuk lainnya berada di sebelah kiri bangunan sekolah.
Sekolah kami memiliki aula yang besar dan ada selasar yang menghubungkannya dengan ruang guru. Di tempat itulah berbagai kegiatan sering dilakukan seperti Pramuka, olahraga, kesenian dan salat berjamaah setiap hari Jumat dan Iduladha. Pergelaran kesenian saat kenaikan kelas pun sering menggunaan aula. Kepala SMPN 2 ketika itu Bapak H. Sambas.
OSIS dan buletin
Ada dua kegiatan eskrakurikuler yang saya masuki, yakni Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan Pramuka. Sejak SD saya senang dengan kegiatan Pramuka. Berbagai kegiatan perkemahan pun diikuti. Pada kepengurusan OSIS yang diketuai Yayan Barlian, saya menjadi Ketua Seksi Publikasi. Inilah awal keterlibatan saya dalam “dunia jurnalistik” yang masih sederhana.
Sebelumnya memang ada penerbitan serupa. Kami kami meneruskannya dengan memberi nama Prima. Kata itu berarti utama, hebat atau unggul. Para pengelola mencetak buletin ini secara sederhana. Seluruh naskah yang masuk, diketik di atas kertas sheet merek Daito. Satu helai kertas sheet dipakai untuk dua halaman.
Tekanan huruf-huruf mesin tik tanpa pita itu menyisakan bolong-bolong pada kertas sheet. Hasil pengetikan itulah yang kemudian dicetak di atas kertas HVS folio ukuran A4, menggunakan tinta dan mesin stensilan yang diputar tangan. Selembar kertas folio untuk empat halaman. Prima terbit sebulan sekali dengan didanai uang OSIS. Ketua OSIS ketika itu Yayan Barlian Bahrum (kini di Departemen Keuangan) dan Sekretaris Ucu Rufaidah (kini di Otoritas Jasa Keuangan).
Istilah kerennya, saya adalah pemimpin redaksi. Beberapa orang lainnya ada yang menjadi awak redaksi –antara lain Deni Hendana (saat ini Kepala Bapenda Kota Bogor) yang mengerjakan ilustrasi. Ada juga Teddy Wardiana (sekarang bekerja di bidang ketenagakerjaan) dan Mochammad Djohan Iqbal.
Sedangkan isi buletin merupakan karya para siswa antara lain berupa puisi, cerpen, cerbung, berita sekolah, sosok siswa, sosok guru dan humor. Di antara yang sering mengisi buletin ini adalah Kang Asep Setiawan (kakak kelas, mantan wartawan Kompas kini pengurus Dewan Pers) dan Nicke Widyawati (kini Dirut Pertamina).
Biasanya naskah-naskah digarap setiap malam Minggu. Pada pekan terakhir semua naskah harus beres lalu dicetak. Prosesnya dari pukul 21.00 hingga 03.00 pagi. Kemudian menyusunnya halaman per halaman dan menjadikannya buletin yang siap edar. Setiap edisi, dicetak paling banyak 100 eksemplar. Harga pengganti ongkos cetaknyar Rp 1.500,00. Setiap kelas membelinya dengan uang kas.
Setidaknya ada dua guru yang terlibat dalam kegiatan penerbitan ini dan intensif memberi bimbingan, yaitu Pak Suherman, guru bahasa Indonesia sekaligus Pembina Pramuka dan Pak Wahya, guru keterampilan ukiran. Keduanya seringkali ikut belepotan terkena tinta hitam. Setelah usai pencetakan, biasanya kami menyantap nasi bungkus yang dibeli dari warung nasi kaki lima “Dua Taks” yang berada di Jln. Sutisna Senjaya dekat lampu merah Citapen.
Ada salah satu rubrik yang menjadi favorit saya, sehingga betah menanganinya. Rubrik itu bernama “Pojok” dengan maskot Jang Kaslan. Di rubrik inilah sindiran dan kritikan menyangkut sekolah, lingkungan dan sejenisnya dilontarkan. Ya kira-kira seperti “Ole-ole”-nya Pikiran Rakyat atau “Pojok”-nya Kompas.
Saya tidak tahu mengapa begitu saja mengambil nama Jang Kaslan sebagai maskot untuk rubrik itu. Dalam bahasa Sunda, “jang” bisa juga kependekan dari “ujang” yakni sebutan kepada anak laki-laki. Sedangkan “Kaslan” ya nama orang tentunya.
***
Tulisan sebelumnya:Catatan Biasa Orang Biasa [10] Legenda Salim dan Bojem
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews