Pak Djatun 80 Tahun, "Mafia Berkeley"?

Berbeda pandangan saat itu, bisa berarti anda menentang "pembangunan", menentang rezim yang berkuasa, yang oleh Herbert Feith disebut "repressive- developmentalist regime".

Senin, 25 November 2019 | 14:01 WIB
0
711
Pak Djatun 80 Tahun, "Mafia Berkeley"?
Saya dan Dorodjatun (Foto: dok. pribadi)

Hari ini, 25 November 2019, pemikir ekonomi-politik Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, genap berusia 80 tahun! Guru Besar ilmu ekonomi Universitas Indonesia (UI) ini adalah juga salah satu pendiri dan Ketua Dewan Pembina LP3ES (penerbit Jurnal Prisma) tahun 1970-an.

Pak Djatun -panggilan akrabnya- pernah menjadi Dekan Fakultas Ekonomi UI (1994 -1998), Duta Besar RI untuk Amerika Serikat (1998-2001), dan Menteri Kordinator (Menko) Perekonomian Kabinet Gotong Royong (2001 - 2004).

Lulusan University of California, Berkeley, karena itu sering dituding bagian dari 'Mafia Berkeley', suatu istilah yang dikenalkan David Ransom tahun 1970 untuk menyebut tim ekonomi Orde Baru produk Berkeley yang bercorak neoliberalism dan berorientasi ke Amerika.

Tapi Dorodjatun -walau dalam paradigma liberalisme yang sama- justru sering berbeda pandangan dengan kolega dan seniornya para ekonom-teknokrat yang menjadi tim inti ekonomi Presiden Soeharto pada fase awal Orde Baru.

Dan berbeda pandangan saat itu, bisa berarti anda menentang "pembangunan", menentang rezim yang berkuasa, yang oleh Herbert Feith disebut "repressive- developmentalist regime".

Maka tak heran karena perbedaan itu pula, Dorodjatun bersama Prof. Sarbini Sumawinata dari FE-UI (dan juga beberapa tokoh yang dianggap berhaluan 'Sosialis'), pernah ditahan tanpa diadili oleh rezim Orde Baru, karena dianggap terlibat dalam "Peristiwa Malari" 15 Januari 1974.

Perbedaan pemikiran Pak Djatun dengan para kolega "Mafia Berkekey" di kabinet bisa dilihat dari analisis ekonominya pada berbagai jurnal ekonomi, termasuk beberapa tulisannya di Jurnal Prisma sejak awal tahun 1970-an.

Berbeda dengan mainstream pemikiran (dan policy) ekonomi awal Orde Baru yang melihat pertumbuhan ekonomi dalam logika linear dan deterministik yang akan menghasilkan 'quantum jump", Djatun sejak awal meyakini pentingnya faktor-faktor nonekonomi dalam perencanaan pembangunan di Indonesia yang saat itu tergolong "Dunia Ketiga".

Ada sektor dan kelompok masyarakat yang mampu bergerak cepat, tapi banyak pula yang bergerak bertahap, "gradual changes". Apalagi Indonesia adalah negara majemuk dalam berbagai hal (budaya, sosial, geografis), dengan sejarah social formation yang khas, dan mewarisi berbagai kepincangan sosial-ekonomi sebagai 'post-colonial state'.

Pemikiran Pak Djatun tentang pentingnya faktor-faktor nonekonomi, menyebabkan dia menghargai pendapat para pakar nonekonomi dan sering memanfaatkan kajian sosial, politik, sejarah, sosiologi dan antropologi dalam analisis ekonominya.

Dengan posisi keilmuan seperti itu, Pak Djatun telah menulis Kata Pengantar yang bagus untuk buku antropolog terkemuka Clifford Geertz, PEDDLERS AND PRINCES: SOCIAL CHANGE and ECONOMIC MODERNIZATION in TWO INDONESIAN TOWNS (1963, edisi Indonesia 1973, LP3ES).

Demikian juga Kata Pengantar Pak Djatun untuk buku sosiolog terkemuka Peter L. Berger, REVOLUSI KAPITALIS (LP3ES, 1990), terjemahan dari THE CAPITALIST REVOLUTION: Fifty Propositions about Prosperity, Equality & Liberty (1986).

Tulisan Pak Djatun di Prisma tahun 1976 menjelaskan dengan bagus posisi keilmuan ekonominya sekaligus otokritik terhadap para ilmuwan dan cendekiawan dalam kaitannya dengan pembangunan nasional. Tulisannya berjudul: "CENDEKIAWAN DUNIA KETIGA: Orang "BARAT" di Dunia "TIMUR" (#Prisma, No. 11, November 1976; dimuat lagi dalam buku Dick Hartoko, ed., GOLONGAN CENDEKIAWAN: Mereka yang Berumah di Angin, 1980).

"....ketika Dunia Ketiga betul-betul memerlukan alternatif yang merdeka, yang terlepas dari model Barat, para cendekiawannya justru menoleh ke Barat dan mengimpor begitu banyak pikiran-pikiran Barat, yang oleh cendekiawan Barat sendiri mulai ditinggalkan kalau tidak diragukan kebenarannya, ataupun relevansinya.....", tulis Pak Djatun dalam Prisma edisi itu.

Dalam Kata Pengantarnya untuk buku Peter Berger, Dorodjatun menggarisbawahi pendapat Berger bahwa kapitalisme, seperti juga sosialisme, hanyalah konsep ideal type para teoretisi. Wujudnya yang sempurna tidak pernah bisa dijumpai pada masyarakat dan negara mana pun, dan pada kurun waktu mana pun!

Lalu "Mafia Berkeley...... ??!"

Ah, itu hanya dramatisasi seorang David Ransom lewat tulisannya, "The Mafia Berkeley and the Indonesian Massacre" dalam jurnal RAMPART, edisi Oktober 1970. Jurnal ini pun sudah lama mati, sejak 1975, sama seperti istilah itu sendiri yang sudah lapuk, dan tak lagi bergema.

Dalam banyak kajian ekonomi-politik dan ulasan kritis di media, termasuk sejenis ulasan Ransom, sering diabaikan bahwa dalam policy making negara, apapun orientasi ideologisnya, di dalamnya selalu ada pergulatan, tolak-tarik kiblat pemikiran dan kepentingan. Tapi juga selalu ada kubu "nasionalis" yang pada akhirnya lebih menentukan.

Setelah pensiun resminya, Pak Djatun tetap aktif mengajar, membimbing mahasiswa S3, memberikan ceramah, menjadi dosen tamu di beberapa universitas di luar negeri.

Endapan pergulatan pemikiran yang intens selama di kampus dan pengalaman sebagai policy maker sekaligus eksekutor di pemerintahan, telah menjadi basis kuat bagi Pak Djatun saat dia mendirikan lembaga kajian KONSORSIUM 2030 (terima kasih telah mengundang saya menjadi anggota).

Melalui think-tank ini (Konsorsium 2030), Pak Djatun telah menerbitkan bukunya berisi kajian multidisplin, komprehensif, dan mendalam: "MENERAWANG INDONESIA PADA DASAWARSA KETIGA ABAD KE-21". Sebuah studi yang menantang!

Selamat Ulang Tahun ke-80 Pak Djatun !

Tetap sehat, terus berolahraga Kendo, semangat, dan terus berkarya.....

***