Ikatan Cinta Antara Jokowi dan Atta Halilintar

Anak-anak muda itu, harus berjuang bersaing berebut perhatian dengan generasi milenial yang tersedot pada sihir Atta Halilintar.

Kamis, 8 April 2021 | 18:47 WIB
0
236
Ikatan Cinta Antara Jokowi dan Atta Halilintar
Presiden Jokowi dan Atta Halilintar (Foto: liputan6.com)

Pertanyaannya, mengapa Jokowi datang ke perkawinan Atta Halilintar? Mengapa tidak ke pernikahan Rocky Gerung? 

Pertama: Saya harus menjawab apa? Jokowi datang ke perkawinan Atta-Aurel, tentu saja karena menjadi saksi. Coba kalau menjadi saksi Rizieq Shihab, mungkin akan datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. 

Lha, kenapa tidak datang ke perkawinan Rocky Gerung, padal sama-sama youtuber? Jumlah subscribernya juga buanyak. Meski Atta jauh lebih buaanyyaaakk lagi. Pertanyaan bodoh, dalam lelucon penyiar radio Rusia, nggak perlu dijawab. Kapan RG nikah!

Tapi jangan nyerang pribadi, meski yang dia serang persoalan pribadi mulu. Hanya istilahnya saja dibikin hebat. Gampanglah. Kuliah 6 bulan di Driyarkara, orang sudah bisa menguasai retorika dan semiotika. Selebihnya, meski logika tetap lemah agak tertolong, mengingat kelas literasi kita di tingkat dunia, paling jongkok nomer dua dari bawah.

Maka yang paling lucu, tentu ketika foto Jokowi sebagai saksi diposting di laman Sekretariat Negara. Benarkah Mensesneg Pratikno ‘orangnya’ JK? Kenapa pula Menteri Perdagangan mesti membela-bela, karena Atta Halilintar mempunyai peran penting, dalam perkembangan ekonomi kreatif dan generasi milenial? 

Waduh. Padal, siapa memanfaatkan siapa? Bagi Airlangga Hartarto, Prabowo, dan mungkin Bambang Soesatyo, yang datang dalam hajatan itu, penting. Karena setidaknya akan ikut dilihat oleh 25 juta followers Atta. Kalau 10 persen saja kelak mereka mendukung jadi capres? Lumayang, daripada lunyinden!

Lagian, berapa sumbangan Atta Halilintar dalam ekonomi kreatif kita? Penghasilannya saja dipotong 40% oleh admin youtube, yang bermarkas dan dipajaki pemerintahan AS. So, dia nyumbang ke Indonesia atau AS? Itu baru soal angka. Bagaimana soal nilai?

Konten kreatif semacam apa, yang membuat Atta Halilintar bernilai? Mengajari generasi milenial nge-prank? Bullying? Pamer kemewahan? Anti-sosial?

Atau seperti Baim Wong, kemiskinan bisa jadi candaannya, karena ia bisa menyelesaikan hanya dengan memotong 5% penghasilannya dari file video yang diposting?

Sebagai orang yang memakai platform youtube, tulisan saya mungkin akan dikategorikan nyinyir. Apalagi jumlah subscriber saya hanya seupil subscribernya Atta. Bukan bandingan.

Tapi dalam teori komunikasi, memang tak ada kaitan antara baik, benar, bagus, jelek, jahat, brengsek dengan banyak atau sedikit.

Hukum algoritma itu cuma pada angka, bukan nilai. Jika sebuah sinetron dibilang berating tinggi, tak ada kaitan dengan kualitas. Pemasang iklan hanya butuh angka, sebagaimana Denny JA tahu itu, bagaimana cara mendongkrak ‘puisi esai’-nya dibilang viral.  

Karena itu ada istilah kuantitas dan kualitas. Ada beda antara angka dan nilai. Dalam adagium Jawa ada ujaran bener iku cem-macem. Benere dhewe, benere wong akeh. Meskipun benere wong akeh belum tentu bener secara bener. Coba saja renungkan kehadiran yang disebut nabi pada awalnya. Kenapa selalu ditolak oleh lingkungannya, hingga perlu hijrah? Mengapa Yesus dulu ditangkap, dan kenapa kini dirayakan? Begitu pula Buddha, juga Muhammad. 

Jika kita percaya pada marwah kebenaran, kemuliaan, dengan apa yang disebut peradaban atau kebudayaan, di situ ada ilmu pengetahuan dan agama. Bukan hanya sekedar teknologi sebagai manifestasi ilmu-pengetahuan. Sebagai pengembangan, teknologi informasi dan komunikasi menjadikan youtube adalah media.

Namun dengan hukum algoritma dan artificial intelegence, dengan kualitas manusia yang tak merata, platform medsos dan aplikasi internet hanya butuh encoding yang persisten, masukan data yang presisi. Tak ada kaitan dengan nilai. Hukum yang berlaku adalah hukum rimba, mau diranah eksploitasi atau eksplorasi?

Baca Juga: Pesta Pernikahan Atta dan Aurel

Jika kita ingatkan soal revolusi mental, Jokowi tampak tak menghargai anak-anak muda, yag berjuang dalam sunyi di pelosok-pelosok Nusantara. Baik mereka yang melakukan pendampingan maupun menjadi pioner bagi pergerakan Indonesia dari pinggiran. Kalau Jokowi tak datang di pernikahan Rocky Gerung, kita bisa mengerti. Tetapi kalau Jokowi juga tak datang ke berbagai perkawinan spiritualitas atau sinergitas anak-anak muda di Indonesia, dalam gerakan perubahan, dan malah asyik-masuk pada sihir milenial Atta Halilintar, ya, wasalam!

Dulu kita membela Jokowi bukan untuk menjadi follower atau memuja artifisial kemewahan.

Anak-anak muda itu, harus berjuang bersaing berebut perhatian dengan generasi milenial yang tersedot pada sihir Atta Halilintar.

Lha tapi gimana, jangankan anak-anak, lha wong yang tua-tua pun sama saja. Bukan yang awam, yang lulusan PT pun, setali tiga wang. Apalagi bisa nyaci-maki tapi dapet duit pula. 

Setidaknya dia bisa bangga bilang bukan buzzer bayaran, melainkan buzzer profesional. Maklumlah, di Indonesia ini seorang ibu yang tidak ikutan menyukai sinetron “Ikatan Cinta”, bisa dibully dan disingkirkan! Asiyaaaapppp! 

@sunardianwirodono